MENDIDIK DENGAN HATI NURANI
Baru kali ini saya menemukan sebuah suasana kelas yang super, hiperaktif dan begitu ramai. Suasana kelas tak ubahnya bak seperti pasar, yang didalamnya terdiri dari kumpulan manusia yang berbeda karakter dan latar belakang. Obrolan, teriakan, dan saling lempar kertas serta kumpulan permainan kartu seperti sedang berjudi terjadi di beberapa kelas. Dari beberapa kelas yang pernah saya ajar semuanya tak jauh berbeda selalu ramai. Sehingga tak jarang saya menggelengkan kepala sampai mengerutkan dahi melihat tingkah laku anak- anak Indonesia yang berada di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu Malaysia.
Inilah suasana kelas Sekolah Indonesia kota kinabalu yang berada di negeri tetangga Malaysia. Sekolah ini dibangun untuk akses pendidikan anak – anak yang Indonesia di kota kinabalu. Para siswa sekolah Indoensia kota kinabalu pada umumnya adalah anak – anak TKI yang bekerja di Malaysia sebagai buruh migran. Hanya sebagian kecil dari mereka adalah anak- anak diplomat. Sebagian besar adalah anak- anak para TKI ini adalah dari Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur dan daerah timur Indonseia lainya.
Sambil mengajar saya terus menerus mempelajari latar belakang anak–anak di sekolah ini. Dari mulai latar belakang orangtua, cara bertingkah laku, bertutur kata, serta latar belakang tempat tinggal mereka. Seperti yang diceritakan diawal tadi, saya sering mengerutkan dahi ketika melihat tingkah laku anak- anak ini. Beberapa pengalaman kurang mengenakan sering saya alami. Seperti sering terjadi perkelahian didalam kelas dengan teman sendiri, kejadian itu bukan hanya satu atau dua kali terjadi tetapi berkali – kali terjadi. Setiap kali saya masuk kekelas selalu terjadi perkelahian. Entahlah hal seperti demikian sudah mereupakan sebuah pemandangan biasa didalam kelas. Dari satu kelas ke kelas yang lain suasananya hampir sama.
Suatu hari ketika saya masuk kelas, terjadi sebuah pengalam menarik. Ketika itu saya guru berbicara didepan kelas, mereka seolah tak peduli, acuh tak acuh, cuek seolah tidak punya beban. Meraka terus ramai ngobrol, bergurau dan bercanda dengan asyiknya. Saya pun sempat dibuat bingung oleh tingkah laku anak – anak ini, dalam hati saya berkata, “kok, begini ya, jauh banget perbedaannya dengan anak – anak di Indonesia”. Setelah saya tepuk meja dengan keras barulah mereka diam.
Tak kalah menarik juga ketika saya masuk kelas dengan membawa seperangkat alat praga mulai dari gambar, buku, alat tulis, kartu peraga dan lainnya. Tiba- tiba hampir semua anak berkerumun ke meja saya kemudian dengan tanpa permisi atau malu tanganya mengambil semua perangkat tadi secara berebutan. Bahkan diantara mereka ada yang mengambil pulpen saya untuk dipakainya menulis. Tanpa ada rasa, canggung, sungkan, malu ataupun takut. Itulah beberapa gambaran bagaimana anak – anak Indonesia yang berada di Kota kinabalu khususnya di Sekolah Indonesia kota kinablau.
Saya terus berfikir bagaimana menangani anak – anak seperti itu. Mulai menerapkan aturan yang sangat ketat, menrapakan hukuman dan lain sebagainya. Coba terapkan hukuman jika satu orang melakukan kesalahan maka yang lain akan kena hukuman. Berbagai hukuman atau sanksi telah saya coba. Seperti menulis dua lembar kertas penuh, memungut sampah, berlari, membersihkan toilet dan menghormat bendera. Dari hukuman – hukuman tersebut sepintas akan membuat anak jera dan tak akan bebuat kesalahan – keslahan seperti yang tadi saya sebutkan. Akan tetapi anggapan saya salah ternyata dengan hukuman tersebut malah membuat mereka justru semakin ramai dan membuat keributan didalam kelas. Misalnya ketika ada pertengkaran didalam kelas saya langsung menghukum kedua anak tadi dengan berlari atau memungut sampah. Tetapi apa yang terjadi, anak – anak yang lain pun malah ikut – ikutan melakukan hal yang sama agar mereka mendapat hukuman yang sama. Hahahahha, sungguh sebuah hal yang sangat aneh ynag tak biasa saya dapatkan disekolah Indonesia pada umumnya.
Seiring berjalannya waktu saya terus belajar dari anak- anak tersebut. Saya pelajari latar belakang orangtuanya, lingkungan sosialnya dan kebiasaan di rumahnya. Dari beberapa wawancara dengan orangtua kemudian kunjungan ke rumah – rumah mereka serta tingakah laku mereka. Ternyata memang banyak faktor yang mempengaruhi perilaku mereka. Hampir rata- rata mereka tinggal di area yang tresembunyi dimana tempat tingga mereka memang sangat keras, mereka harus bertahan hidup dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kondisi rumah, lingkungan yang tidak sehat serta kebiasaan harus menghindari dari kejaran polisi Malayisa karena tidak punya kelengkapan dokumen.
Faktor lainnya yaitu minimnya pendidikan orangtua. Karena pendidikan awal itu dibentuk dari pendidikan orang tua. Jika saya perhatikan orang tua murid semuanya sibuk dengan pekerjaannya sehingga mereka kurang memperhatikan pendidikan terhadap anaknya. Mereka cenderung membiarkan anak- anaknya besar tanpa diajari bagaimana, bertatakrama, sopan santun dan menghargai orang lain. Sehingga mereka tumbuh menjadi anak- anak yang keras, liar, kurang dalam bertatakrama dan beretika. Mereka tumbuh seperti itu karena pembentukan faktor – faktor tersebut dan mereka tidak diajarkan akan hal itu. Kehidupan mereka di rumahnya pun penuh dengan kekerasan, sampai saya menemukan ada beberapa anak yang terluka kepalanya akibat dipukul oleh orantuanya sendiri. Mereka biasa diperlakukan kasar oleh orang tuanya tanpa diajari kasih sayang dan kebiasaan baik. Kondisi rumah yang sangat memrihatinkan ditambah kebiasaan – kebiasaan kurang baik sehingga ketika anak masuk sekolah hal – hal baik yang saya ajarkan kepada mereka sangat sulit sekali.
Dengan kondisi tersebut saya baru sadar bahwa selama ini bukan kekerasan yang harus saya ajarkan kepada mereka, karean kekerasan bagi mereka merupakan hal yang biasa dan sudah menjadi bagian dari hidup mereka semenjak mereka lahir. Akhirnya saya coba dekati mereka, saya rangkul mereka satu persatu. Saya memposisikan diri saya sebagai orantua mereka. dimana bukan hukuman atau sanksi yang mereka butuhkan tetapi kasih sayang dan perhatianlah yang mereka butuhkan. Melalui pendekatan- penedekatan intesif kepada mereka dengan berdialog sama mereka mendengar bagaimana keluh kesah mereka serta memeprhatikan kondisi mereka. dan sesekali saya memuji dan memberikan motivasi kepada mereka menyapa terlebih dahulu ketika bertemu dengan mereka. Tak jarang pula saya mengajak mereka ke kantin untuk makan bersama sambil berdialog dan meberi motivasi kepada mereka.
Dengan melalui pendekatan tersebut sedikit demi sedikit terlihat perubahan pada anak- anak tersebut. Mereka lebih sopan, lebih respek dan lebih menghargai guru. Suasana didalam kelas pun sedikit demi sedikit lebih bisa dikendalikan. Itulah ternyata hanya dengan hati nurani kita bisa mendidik anak –anak didik kita bukan dengan kekerasan. Karena kekerasan bagi mereka merupakan hal yang sudah biasa. Mereka hidup dan dibesarkan dengan lingkungan yang keras dan kurang perhatian orang tua. Sehingga ketika saya rangkul mereka dengan penuh rasa sayang dan perhatian, mereka seolah menemukan orang tua kedua di sekolah. Orang tua yang bisa memberikan perlindungan, perhatian, dan kasih sayang. Yang tak hanya memberikan uang dan makan saja. Akhirnya melalui kedekatan inilah akan terjalin komunikasi yang lebih hangat anatara guru dan siswa serta orang tua siswa sekalipun. Ketika kedekatan sudah terjalin maka seorang guru akan lebih muda untuk membuat suasana belajar mengajar yang lebih baik.
Kota Kinabalu 10 April 2017
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terimakasih
Mantab..!!!
Inspiring...
Inspiring...