Ika Kholifatul Mar'ah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
The Legend of Mbah Yo Brengos

The Legend of Mbah Yo Brengos

The Legend of Mbah Yo Brengos.

Nama saya Dasio. Keluarga dan orang-orang disekitar lereng gunung Merbabu ini biasa memanggil saya dengan sebutan Mbah Yo Brengos. Sebutan brengos itu sudah melekat sejak saya masih muda. Brengos berarti kumis. Memang waktu muda dulu perawakan tubuh saya tinggi, tegap, kulit saya hitam, dan berkumis tebal. Otot-otot di lengan saya bisa membuat orang yang bertemu saya ciut nyalinya. Mereka mungkin mengira saya jago pukul. Padahal otot-otot itu terbentuk karena seringnya saya angkat beban berat. Dulu waktu saya masih muda banyak orang yang takut dan menganggap saya orang yang seram dan jahat.Tetapi kalau orang-orang itu sudah kenal saya, mereka tahu sebenarnya saya tidak seseram kumis saya.

Saya hidup di sebuah gubuk kecil bersama seorang istri dan 3 orang anak. Tetapi ke tiga anak saya sekarang sudah tinggal di rumah mereka bersama keluarga kecil meraka masing-masing. Mereka anak-anak yang sekarang sudah mandiri dan bisa saya banggakan. Anak saya yang pertama menjadi pedagang sayuran di Banjarnegara . Boleh dibilang usaha dagangnya sukses. Sedangkan anak ke dua saya perempuan, menikah dengan seorang ustadz dari desa sebelah. Dia mengajar ngaji anak-anak di sekitar rumahnya. Santrinya lumayan banyak. Anak ke dua ini yang paling sering mengunjungi saya dan emaknya karena rumahnya yang paling dekat dari sini. Anak ke tiga saya perempuan juga, sekarang menjadi guru Paud dan tinggal bersama suaminya di Lumajang. Saya hanyalah seorang buruh panggul di pasar.

Hampir separuh hidup saya sehari-hari saya habiskan di pasar. Disana, saya curahkan seluruh tenaga untuk membantu pedagang mengangkat barang-barang dagangannya dari truk atau mobil pick up menuju stan pasar mereka. Dari setiap karung yang saya angkat, mereka memberikan upah yang tidak banyak. Tetapi saya selalu bersyukur berapapun upah yang saya terima. Bagi saya setiap kepingan uang receh yang keluar dari saku para pedagang itu adalah rejeki Allah untuk saya. Dari pekerjaan saya sebagai buruh panggul, saya bisa membiayai sekolah ke dua anak saya sampai perguruan tinggi. Hanya anak saya yang pertama yang bersekolah sampai tingkat SMA. Dia tidak mau kuliah, buru-buru kepingin kerja. Saya turuti saja kemauannya.

Saya sudah di pasar itu sejak masih remaja. Sepeninggal bapak saya, sebagai anak paling tua saya harus menggantikan bapak sebagai tulang punggung keluarga. Saya tidak punya kepintaran dan keterampilan apa-apa karena sekolah SD saja saya tidak sampai tamat. Saya hanya mengandalkan kekuatan fisik untuk bekerja. Awalnya saya hanya coba-coba menawarkan diri jadi buruh panggul tapi ternyata ada pedagang yang meminta jasa saya. Mungkin mereka merasa iba melihat saya waktu itu.

Saya bertemu dan berjodoh sama emaknya anak-anak ya di pasar ini. Dulu dia itu jualan gethuk. Saya sering beli gethuknya untuk sarapan. Gethuk buatan emaknya anak-anak itu enak. Banyak pelanggannya, mulai dari orang biasa sampai orang kaya. Tetapi sejak punya anak, emak memutuskan di rumah saja mengurus anak.

Setiap hari saya harus berangkat lebih awal ke pasar karena jarak pasar dari rumah saya lumayan jauh. Jadi saya harus sudah sampai pasar sebelum kegiatan bongkar muat di pasar dimulai. Kira-kira jam 11 malam saat orang sudah mulai terlelap tidur, saya berangkat ke pasar dengan mengayuh sepeda tua yang sudah 35 tahun menemani kemanapun saya pergi. Tidak peduli terang maupun hujan saya kayuh sepeda menuju pasar, tempat yang menjanjikan rejeki bagi saya. Istri saya selalu membantu menyiapkan peralatan yang biasa saya bawa bekerja. Barang yang tidak boleh lupa saya bawa itu sarung untuk sholat shubuh di pasar. Saya bekerja mulai jam 2 dini hari sampe jam 7 pagi jadi sholat subuhnya ya di pasar.

Malam itu, seperti biasa saya berangkat ke pasar dengan mengayuh sepeda tua. Sesampainya di pasar, tidak seorangpun memanggil nama saya untuk memakai jasa panggul. “Aneh, tidak seperti biasanya,” gumam saya pelan. Hingga fajar menyingsing, saya tidak mendapat pelanggan sama sekali. Akhirnya, saya pulang dengan tangan kosong. Untungnya emak selalu nrimo berapapun uang yang saya bawa pulang. Tidak terkecuali pagi itu, dia tidak marah sama sekali ketika saya pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Kejadian aneh itu terjadi terus menerus hingga beberapa minggu berikutnya. Saya hampir putus asa. Saya berpikir bahwa pasar sudah bukan lagi ladang rejeki yang cocok untuk saya. Tetapi emak dengan sabar selalu menghibur dengan kata-kata teduhnya. Dia selalu mengatakan “Rejeki itu sudah ada yang ngatur pakne. Yang penting kita harus terus berusaha dan jangan lupa sholat.” Dalam hati saya membenarkan perkataan emak. Tetapi rasa heran dan penasaran saya belum terjawab.

Malam ini saya berniat di rumah saja. Sudah tidak ingin rasanya saya ke pasar lagi. Orang-oarang sudah tidak butuh tenaga saya. Tak lama kemudian emak mendekat dan meminta saya untuk segera berangkat kerja. “Berangkatlah pakne...emak doakan hari ini Allah membuka pintu rejeki kita lagi pak,” tuturnya lembut. Saya turuti permintaan emak. Dengan berat dan malas saya kayuh sepeda ke pasar. Derit suara sepeda tua ini memecah malam yang dingin dan sunyi. Sepanjang jalan saya berpikir tentang apa yang sedang Allah ujikan kepada saya. Tiba-tiba semua pelanggan saya tidak mau memakai jasa panggul saya tanpa saya tahu alasan mereka. Mereka seakan jijik melihat saya.

Sesampainya di pasar, saya langsung duduk di pos karena saya yakin malam ini masih sama dengan kemarin-kemarin, tidak ada pelanggan yang akan memakai jasa saya. Saya duduk malas di sana. Tak berselang lama, saya mendengar ada suara yang memanggil nama saya. Tetapi tidak saya hiraukan. Saya pikir itu hanya suara tukang parkir yang biasa menyapa saya. Saya kembali melamun. Tanpa saya duga ada dua pelanggan yang mendekat dan meminta jasa saya. Saya langsung berdiri dan bersiap mengangkat karung-karung barang pedagang itu.

“Alhamdulillah....Mak, doamu diijabah Allah,” gumamku lirih.

Malam ini ada 2 pedagang yang memakai kembali tenaga saya. Dengan perasaan gembira dan lega, saya pulang. Uang yang tidak seberapa saya dapatkan cukup memberi kekuatan kepada saya untuk mengayuh sepeda menuju rumah yang terus menanjak jalannya. Ya, rumah saya memang di lereng gunung. Pasar tempat saya mencari rezeki ada di dataran yang lebih rendah. Sesampainya di rumah kuceritakan kejadian malam ini kepada emak. Dia pun gembira setelah mendengar cerita dari saya. Hari berganti hari langganan saya mulai banyak yang kembali seperti sedia kala. Saya semakin bersemangat mengangkat setiap karung yang bertumpuk mengantri di luar pasar.

Pagi itu, setelah semua karung saya angkat ke dalam pasar, saya duduk di pos untuk mengeringkan keringat yang membanjiri tubuh tua saya. Kaos dan celana selutut yang saya pakai pun basah oleh keringat. Tiba-tiba Burhan, petugas pasar ikut duduk di sebelah saya.

“Rame mbah pasarnya?” tanyanya membuka percakapan.

“Alhamdulillah...,” jawab saya pelan.

Saya menceritakan keanehan yang saya alami beberapa waktu yang lalu kepada Burhan. Dia mendengarkan tanpa menyela sedikitpun sampai saya selesai bercerita. Kemudian dia mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu beredar kabar kalau mbah Yo itu terjangkit penyakit menular, AIDS.

“Astaghfirullah...,”sontak saya kaget.

“Siapa yang tega memfitnah saya seperti itu, Han?” tanya saya kepada Burhan.

Akan tetapi Burhan tidak tahu dari mana sumber berita itu. Yang pasti semua orang di pasar sudah termakan fitnah yang kejam itu. Saya sedih dan berpikir mengapa ada orang setega itu. Saya terdiam sesaat.

Sengatan sinar matahari yang mengenai punggung saya membuat saya tersadar bahwa hari sudah mulai siang. Burhan pun sudah tidak ada di samping saya. Saya beranjak dan bergegas pulang. Saya ingin segera menceritakan apa yang baru saja saya dengar dari petugas pasar itu kepada emak. Betul saja, emak juga tidak kalah kaget seperti saya.

Alhamdulillah...fitnah itu sudah berlalu. Sekarang langganan saya sudah banyak yang kembali memakai jasa tenaga saya. Ada pelanggan itu dari usaha dagang bapaknya sampai diwariskan ke anaknya juga masih pakai jasa saya. Maklum saya sudah lama bekerja jadi buruh panggul.

Sebelum pulang, kadang masih ada beberapa pedagang yang meminta jasa tenaga saya untuk mengangkatkan sampahnya untuk dibuang di TPA di dekat pasar. Alhamdulillah, dapat tambahan upah untuk dibawa pulang. Semua itu saya lakukan dengan ikhlas. Saya tidak pernah pasang tarif. Berapapun upah yang diberikan, saya terima dengan senang dan bersyukur.

Sebentar lagi bulan Ramadhan datang. Seperti tahun-tahun sebelumnya pasar akan ramai sekali terutama sepuluh hari menjelang lebaran. Banyak sekali barang datang yang harus saya angkat ke stan pasar para pedagang langganan saya. Biasanya yang sering saya pikul itu mulai pakaian, sayuran, buah-buahan, sampai bumbu dapur. Menurut pengalaman saya, barang yang paling berat dipanggul itu cabe. Berat bukan karena bebannya tetapi efek sesudahnya. Setelah memanggul cabe biasanya saya merasa panas-panas di tubuh saya karena terkena cairan cabe yang busuk. Tetapi saya tidak pilih-pilih barang untuk diangkut. Siapa saja yang minta bantuan tenaga saya, sebisa mungkin akan saya bantu. Hanya saja sekarang tenaga saya sudah jauh berkurang dibanding ketika kumis saya masih tebal dulu. Jika Allah mengizinkan saya akan terus mencari rejeki di pasar sampai saya tidak kuat lagi suatu hari nanti.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post