Sandra terpekur di ayunan. Derit besinya mengisi keheningan malam. Air mata meninggalkan jejak di pipi tirusnya yang memucat. Sebongkah sesal meraja, terlambat sudah semuanya, tiada lagi jalan pulang. Masih segar diingatan, raut kecewa Ayah dan Ibu ketika dia kukuh pada pilihannya.

Gemerlap lampu kota menambah semarak suasana. Hati yang membuncah penuh cinta, mereguk manisnya dunia. Melepas rindu dan damba dalam pelukan kekasih seakan dunia hanya milik berdua. Sandra terpaku dengan tatapan memuja pada kekasihnya. Wajahnya terpahat sempurna, senyumnya sungguh memabukkan. Ada satu yang berusaha dia abaikan, kenyataan bahwa sang kekasih kecanduan narkoba dan sering berbuat kasar jika emosi. Hal itu pulalah yang membuat orangtuanya tak merestui. Cinta memang buta, sebuta mata hati Sandra yang tanpa sepengatahuannya sedang berjalan menuju kegelapan.

Gundukan tanah merah berselimut mawar. Sepasang manusia berusia senja menangis tergugu, sungguh nelangsa seakan tercabut separuh jiwa. Kemarin mereka memberanikan diri mendatangi rumah menantunya. Dua tahun pencarian sejak Sandra memutuskan kawin lari dengan kekasihnya itu, jejaknya baru ditemukan. Besar harapan mereka untuk memeluk sang putri kesayangan dan membujuknya pulang. Sayangnya, impian mereka tak sepenuhnya terwujud, karena yang mereka temukan jasad Sandra yang berlumur darah. “Semoga tenang di sana Nak” bisik lirih mereka diantara isak. Di sudut kota Ardi mendekam dalam sel yang dingin untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.