Sepasang kupu-kupu bercengkerama di taman. Berpindah dari satu bunga ke bunga yang lain. Taman yang indah semarak warna. Di sudut nampak rumput liar yang berdiri tegak sendirian. Mungkin tak akan lama lagi dia akan hilang. Direnggut paksa oleh tangan yang tak mengijinkannya tumbuh dengan layak. Bagi mereka rumput liar hanyalah pengganggu yang merusak tatanan keindahan

Ruang rapat itu kembali hening, puluhan pasang mata melihatnya. Berbagai macam ekspresi terlihat, dan Rengganis tidak peduli. Biar saja seisi dunia menghujatnya, baginya hanya sang Pencipta yang mutlak benar penilaiannya. Rengganis bukan gadis anggun dengan tutur kata halus nan mempesona. Sikapnya yang apa adanya dan gaya bicaranya yang spontan sering membuat karyawan senior maupun pimpinannya resah. Mereka ingin Rengganis diam, menerima apapun yang terjadi. Termasuk jika ada sesuatu yang salah, meski menciderai nurani. Rengganis menolak tunduk pada perintah-perintah yang tak jelas. Loyalitasnya pada pimpinan di ragukan, dia terasing dikeramaian. Kebenaran yang mereka agungkan nyatanya hanya keegoisan penuh tipu daya.

“Jangan pernah takut menjunjung kebenaran walau kau hanya berjuang sendirian” tegas nasehat Ayah. Rengganis tersenyum mengingat momen itu. Walau puluhan tahun berlalu, tidak merubah keyakinan Rengganis sedikitpun. Cacian, fitnah dan ujaran kebencian kenyang menjadi makanan sehari-hari yang tak menyurutkan semangatnya. Hidup hanya sebentar, Rengganis hanya ingin kelak ketika kematian datang menjemput, jiwa ini terjaga kehormatannya.