Sabtu pagi di penghujung Februari. Harum petrichor seakan menyampaikan harapan baru untuk Jatayu. Semua berkas sudah rapi. Satu dasawarsa mengabdi dia mengenal setiap sudut perusahaan ini beserta ruhnya. Sportifitas, optimisme, sikap pesimis hingga tingkah pecundang serta zalim pernah dia temui.  Ruh-ruh yang menyemarakkan kemegahan fisik gedung  yang menjulang. Terkadang entah mengapa keindahan lebih dipentingkan daripada sebuah kebenaran. Layaknya make up  indah namun menutupi kerusakan dan noda pada wajah.

Carut marut dunia beserta godaan mautnya. Melenakan manusia yang terselimuti nafsu berkuasa. Mengejar kejayaan serta puja-puji sesama seakan menjadi prioritas utama. Jangan tanya dimana nurani berada ketika harum pundi emas dan rupiah menjadi candu di aliran nadi. Rasa hormat dan kasih sayang antara generasi menjadi sekilas basa-basi. Ada ruh yang hilang tergerus jaman, membuat kepercayaan dan ketulusan seakan hanya ada pada dongeng semata. Ancaman dan lomba adu domba menjadi senjata pembunuhan karakter yang mematikan. Fitnah layaknya hembusan nafas yang dianggap normal dan wajar.

“Selamat jalan kawan, bersinarkah lebih cemerlang di tempat yang baru” bisik Jatayu pada Santika. Melepas kepergian teman baiknya yang ingin mengenal dunia di luar sana. Jatayu bergeming di mejanya, tersenyum mengingat tawaran dari berbagai perusahan dengan iming-iming banyak hal yang jauh lebih baik dari tempat ini. Jatayu bertahan karena suatu hari dia ingin melihat kebenaran mengalahkan kezaliman