Kabut perlahan datang menyelimuti. Dingin, gelap dan terasa mencekam. Lastri masih bersandar malas di bawah pohon. Matanya menatap tajam pintu gerbang yang tertutup rapat. Harapannya masih sama, kekasihnya datang dan membawanya pergi. Sudah puluhan malam Lastri setia menanti. Rupanya keberuntungan masih enggan menyapa, bahkan selintas bayangan tak jua menghampiri.

Di sudut desa, Tono masih mengamuk di kamarnya. Bagaikan kapal pecah, semua barang sudah berserakan. Amarahnya pada Ayah dan Bunda sungguh menyesakkan dada. Restu menghalangi keinginannya untuk menikahi Lastri sang kekasih hati. Tidak ada yang mendukungnya, semua orang selalu menjelek-jelekkan Lastri di hadapannya. Sungguh ingin dia sumpal mulut mereka. Rindunya sudah tak tertanggung kan, ingin dia berlari menemui Lastri dan mengajaknya kawin lari. Apalah daya pintu kamarnya dikunci dari luar. Tono juga marah karena tubuhnya sangat panas apalagi saat mendengar orang mengaji.

Lastri bersuka cita mendengar suara gerbang yang terbuka. Senyum manis terkembang ingin menyambut kedatangan kekasih hati. Tersungkur, Lastri mengaduh kesakitan saat rumahnya hancur berantakan. “Pergilah baik-baik, atau engkau akan musnah selamanya” teriak seseorang. Murka Lastri melihat orang-orang menghancurkan rumahnya. Tidak ingin binasa, dia berlari menjauh penuh dendam. Manusia berjubah itu membuatnya kesakitan, Lastri meneteskan air mata. Mengapa dia tak boleh mencintai mahluk yang berbeda alam dengannya. Selalu saja banyak orang beriman yang menghalangi jalannya.