IKHWAN JULISMAN, S.I.KOM

Salam literasi. Salam kenal kepada semuanya. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
ARTI SEBUAH BEKAL

ARTI SEBUAH BEKAL

Tadi siang aku terenyuh dengan pemandangan yang sangat membuat hati sedikit berdesir. Kala itu, aku ingin membeli air minum isi ulang pada sebuah depot air. Seorang pemuda yang juga salah seorang karyawan yang bekerja di situ sedang istirahat, dan sedang asyiknya menikmati santapan makan siang yang mungkin ia bawa dari rumah. Terlebih lagi jikalau itu masakan ibunya. Dengan sedikit tertunduk, ia terus menyuap sendok demi sendok. Sungguh pemandangan yang jarang sekali terapresiasi.

Mungkin, beginilah caraku mengekspresikan kekaguman itu. Perihal rindu Ibu mungkin bisa jadi juga. Karena, pada umumnya jika seorang pemuda makan sebuah bekal, pasti itu masakan ibunya. Pikiranku terbayang ke tahun 2015. Saat itu, aku masih berkuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Indragiri, di Rengat, Indragiri Hulu. Kerap sekali aku mampir dulu ke rumah orangtuaku, hanya ingin dibuatkan bekal untuk makan siang nanti di kampus. Ya, sekalianlah menghemat uang pengeluaran yang saat itu penghasilanku juga belum seberapa. Ibuku selalu mempersiapkan bekal terbaik untuk anak sulungnya ini, yang juga digadang-gadang sukses dalam kuliahnya, yang pada kenyataannya harus terseok-seok. Tapi tak mengapa, hal ini akan menjadi sebuah kenangan manis, yang tak akan dilupakan.

Aku, bersama abang dan temanku, biasanya melipir ke beranda Masjid untuk beristirahat setelah jam kampus pagi. Sembari menunggu adzan zuhur, kami sempatkan untuk meluruskan pinggang dan menghilangkan penat sejenak, sebelum akhirnya kami membuka bekal makanan kami masing-masing. Aroma nasi panas yang sudah tidak panas lagi, serta lauk yang sedehana namun terlihat sangat lezat, cukup membuat kami tergiur untuk segera menyantapnya. Alhasil, setelah membasuh tangan, dan tak lupa membaca Basmalah, kami langsung menyantap masakan orangtua kami masing-masing. Kami juga sering bertukar lauk guna untuk merasakan masakan ibu kami masing-masing. Memang, masakan ibu tiada duanya menurut kami.

Setelah sedikit mengingat dan bernostalgia dengan pikiranku, galon air minumku sudah terisi. Aku segera mengambil galon, dan meletakkannya di motor, lalu berlalu meninggalkan si anak muda yang masih terus fokus dengan bekal makanannya. Meski terlihat sederhana, namun kaya akan kasih sayang orangtua tentunya. Dengan ia mau bekerja, dan mau membawa bekal sendiri, setidaknya itu menandakan tak selamanya kebahagiaan itu bisa dihargai dengan uang. Aku teringat kembali akan pepatah arab saat aku belajar di Pesantren yang berbunyi:

مَنْ عَرَفَ بُعْدَ السَّفَرِ إِسْتَعَدَّ

"Siapa yang tau jauhnya perjalanan, bersiaplah"

Bekal merupakan salah satu persiapan yang harus dipersiapkan. Terlebih kita hidup di dunia ini, tentu akan 'Pulang'. Lalu, bekal apa yang sudah kita persiapkan? Dan seberapa tau kita jauhnya kehidupan kita di dunia ini? Begitu dalam arti dari sebuah bekal tadi, yang berawal hanya dari visual. Semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa kita harus persiapkan bekal kita untuk pulang nanti.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi

14 Jun
Balas

Saya laki-laki pak

14 Jun



search

New Post