ILA MAYA SUPRAPTI

Perbarui semangat, membuka diri dan selalu menyaring informasi dengan bijak...

Selengkapnya
Navigasi Web

LEMBAR-LEMBAR HARAPAN (2)

Sayup-sayup terdengar suara gamelan ditabuh. Diiringi suara pesinden nan merdu. Lalu lalang orang sepanjang perjalanan begitu ramai. Banyak diantara mereka ibu-ibu yang berjalan bergerombol. Ditangan mereka menenteng berkat sepulang dari rumah Sumiati. Saat ini, keluarga Sumiatilah satu-satunya yang melaksanakan hajatan.

Aku bersama guru-guru berjalan kaki menuju rumah Sumiati yang cukup sekolah kami cukup dekat. Kami juga bisa saling bertegur sapa dengan masyarakat sekitar sepanjang perjalanan. Fatimah dan Abu, yang merupakan teman dekat Sumiati juga turut bersama kami. Mereka membawa kado hasil urunan dengan teman sekelasnya.

Semakin dekat, kakiku terasa semakin berat melangkah. Dadaku semakin sesak dan gundah. Aku bingung harus mengatakan apa pada Sumiati. Aku terus menerus merasa bersalah karena tak pernah membalas suratnya. Surat-surat yang seolah mengintimidasiku. Bahkan dalam mimpi-mimpiku. Tanganku yang juga membawa kado, terasa lemah. Kado yang selama ini diinginkan Sumiati. Yang ia ungkapkan melalui surat-suratnya. Kado sebagai pemuas rasa penasarannya.

Bapak dan Mak Sumiati menyambut kami dirumahnya. Mereka menebar senyum. Bapaknya menjabat tangaku lebih lama.

“Terima kasih, Bu. Kalau bukan karena Ibu, mungkin Sumiati tak akan menikah hari ini”, ucapnya dengan suara cukup keras. Aku tersenyum lemah. Antara takut bertemu Sumiati dan menghargai ucapan Bapaknya. Maknya mengantar kami ke ruang tamu.

Sumiati masih dikamarnya. Masih didandani, kata Maknya. Lalu berbisik padaku.

“Bu, Sumiati minta kalo ibu datang disuruh antar kekamar”, pinta Mak. Aku yang nyaris duduk, mengurungkan niat. Dan menegakkan kembali tubuhku mengikuti Mak yang menarik tangakku menuju ke kamar Sumiati.

“Sum...Sum”, panggil Mak sambal mengetuk pintu.

“Iya, Mak. Masuk saja”, jawab Sumiati. Mak mendorong daun pintu dengan perlahan. Wangi bunga melati dan mawar menyerang hidungku. Aku mengambil napas dalam-dalam. Seolah aku akan menghadapi pengadilan. Ngeri.

“Sum. Bu Guru sudah datang”. Sumiati menoleh, ia cantik. Wajahnya sudah dihias make up. Sumiati tersenyum dan merangkulku yang tepat berada dihadapannya. Mak dan periasnya keluar kamar.

“Maafkan Ibu, Sum”.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

cerpennya mantab. alurnya lancar dan lunyu. Keren

13 Aug
Balas

Makasih, Pak. Mohon saran dan kritiknya.

19 Aug
Balas



search

New Post