KAMPUNG WAREMBORI NAMANYA
Fajar pagi cerah di kabupaten sarmi menjadi pagi kedua di bumi cendrawasih. Pagi itu kami semua sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Segala keresahan termasuk persiapan untuk meninggalkan sinyal semakin kuat. Mengingat, perjalanan dari Sarmi ini melewati pinggir pantai, kemudian lanjut ke sungai Mamberamo. Namun, keresahan itu terjawab Ketika ada informasi bahwa perjalanan laut tidak dapat dilakukan karena persediaan bahan bakar tidak mencukupi. Mendengar informasi tersebut kami antara senang dan sedih meski lebih banyak senangnya.
Kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk beristirahat di penginapan. Perjalanan yang telah dilaluinya cukup menghabiskan tenaga. Sehingga kami diminta untuk beristirahat, untuk menghindari sakit malaria yang muncul dari daerah tersebut. Hari itu benar-benar kami manfaatkan untuk istirahat, berkomunikasi, dan menikmati pemandangan sekitar yang berbeda dengan keadaan di tempat kelahiran.
Perjalanan direncanakan akan dilanjutkan pada esok harinya yaitu hari minggu. Namun, rencana tersebut harus digagalkan karena masyarakat sekitar yang mayoritas non muslim masih harus melakukan ibadah di Gereja. Disamping itu cuaca angin laut yang tidak mendukung menjadi alasan kedua untuk melakukan perjalanan menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya.
Tepat di hari senin pukul 04.00 WIT itulah kami melanjutkan perjalanan. Waktu pagi dirasa sangat tepat untuk melakukan perjalanan di bibir pantai menuju sungai Mamberamo. Jika matahari sudah naik, maka gelombang ombak pun juga mulai tinggi. Perjalanan menggunakan speedboat ini dibagi menjadi 2 kelompok. Masing-masing membawa tas dan persiapan bahan bakar 100 liter. Pada saat itulah kami sudah harus menyimpan ponsel karena saat perjalanan tidak ada baris sinyal meski saat perjalanan di pinggir pantai masih ada sinyal timbul tenggelam.
Perjalanan saat itu benar-benar didukung oleh cuaca dan keadaan angin laut. Sehingga dari perjalanan laut memasuki muara sungai Mamberamo tidak mengalami kesulitan yang cukup besar. Pengemudi speedboat dengan 2 mesin motor yang dikendalikan mampu dengan baik melawan arus sungai yang turun ke laut. Konon ceritanya, tempat ini memang dinyatakan rawan terjadi musibah jika pengemudi tidak dapat mengemudi dengan baik. Kapal berbalik atau tenggelam sering terjadi di muara tersebut. Saat itulah kami benar-benar mendapatkan pelajaran berharga tentang muara. Selama ini yang kami ketahui hanya pengertiananya saja dari muara.
Ternyata melewai muara ini adalah tantangan pertama yang harus kami lewati dalam perjalanan di sungai Mamberamo. Tantangan yang selanjutnya yaitu melawan arus sungai Mamberamo itu sendiri hingga sampai ke lokasi atas. Namun, setelah melewati muara ini kami bersama-sama berhenti di Kampung Warembori (Teba) untuk beristirahat sejenak melepas lelah. Sekitar pukul 09.00 itu kami bersandar di pelabuhan kecil yang ada di kampung Warembori (Teba). Tak disangka ternyata kedatangan kami secara spontan ini disambut dengan baik oleh masyarakat sekitar. Kami dihidangkan makanan sederhana serta minuman hangat yang harus kami makan untuk menghormati tuan rumah.
Kurang lebih kami beristirahat di kampung ini selama 1,5 jam. Makan dan minum telah lahap habis kami nikmati. Sambil menunggu persiapan pengemudi mengisi bahan bakar, kami dapat menikmati suasana kampung yang hanya terdiri dari kurang lebih 100 kepala keluarga. Keadaan saat itu kampung memang sedang ramai karena sedang berlangsung rapat adat membahas sengketa tanah. Kami tidak bisa mendekat ke lokasi kegiatan, kami hanya menyaksikan dari jauh proses diskusi menggunakan Bahasa daerah khas kampung tersebut.
Ada hal menarik yang saya lihat dan rasakan saat di kampung Warembori (Teba) ini yaitu air minum yang dikonsumsi masyarakat sekitar. Setiap rumah membuat tempat saringan sederhana dari batu krikil untuk menyaring air sungai menjadi air layak konsumsi. Disamping memanfaatkan air hujan, mereka melakukan penyaringan air sungai Mamberamo untuk alternatif air untuk dikonsumsi. Warna air hasil penyaringan tidak seperti air konsumsi pada umumnya. Warna asli air sungai masih menjadi warna dominan meski tidak terlalu pekat seperti warna aslinya. Warnanya menyerupai warna air teh. Sehingga pada awal kami minum dikira itu adalah air teh hangat, namun itu adalah air biasa yang sudah di saring dan dimasak menjadi air minum.
Masyarakat Kampung Warembori (Teba) sudah terbiasa mengkonsumsi air sungai tersebut. Kami banyak belajar dari mereka dalam waktu yang cukup singkat tentang penyaringan air minum yang mereka buat. Mereka sangat paham sekali jika air yang mereka konsumsi jika tidak melewati proses penyaringan yang baik maka akan berbahaya bagi tubuh utamanya ginjal. Meski rasa dan warna air tidak berubah, mereka meyakini bahwa air yang disaring, kemudian dipanaskan sampai mendidih dapat dijadikan minuman yang aman dan sehat. Pelajaran yang sangat berharga ini kami dapatkan dari hasil wawancara dengan tuan rumah yang kami singgahi. Sehingga ilmu yang yang didapat ini menjadi waktu penutup untuk melakukan perjalan menuju Kasonaweja, kabupaten Mamberamo Raya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar