KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3 COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK
KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3
COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK
Ilman Fatuh Rahman A.F, S.Pd
CGP Angkatan-7
SMPN 4 Cisarua Kabupaten Bandung Barat
Kesimpulan dan Refleksi
Kesimpulan pada Modul 2.3 ini berangkat dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Oleh sebab itu keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Objek coaching bisa murid dan teman sejawat, namun saat proses coaching pada teman sejawat pada muaranya tetap untuk kepentingan well being murid. Terlebih jika murid yang secara langsung sebagai objek coaching (coachee).
Secara khusus proses coaching antara guru dan murid merupakan komunikasi pembelajaran, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
Pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching melalui alur TIRTA mendorong coachee berpikir secara kritis dan mendalam yang bermuara pada coachee dapat menemukan kekuatan diri dan potensinya untuk terus dikembangkan secara berkesinambungan atau menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat. Sehingga disini coach menampilkan diri seutuhnya sebagai rekan berfikir yang menuntun coachee menemukan kekuatan dirinya untuk menyelesaikan tantangan pekerjaannya.
Pengembangan kekuatan dan potensi diri inilah yang menjadi tugas seorang coach (pendidik/pamong). Pengembangan diri seorang coachee cepat, perlahan-lahan atau bahkan berhenti ditentukan oleh dirinya sendiri. Namun sangat dipengaruhi juga bagaimana kepiawaian coach menerapkan prinsip-prinsip coaching diantaranya mampu hadir secara penuh, keterampilan mendengarkan aktif, mengajukan pertanyaan berbobot.
Setelah mempelajari modul 2.3 ini saya menemukan peran yang baru dari seorang guru yaitu sebagai coach. Jika sebelumnya saya memahami peran guru sebagai mentor, konseling dan fasilitator, pada kesempatan ini saya rasakan ada suasana kebatinan yang berbeda melalui praktik coaching. Suasana yang egaliter/setara, bahagia, terbuka, nir tekanan membuat komunikasi berlangsung cair, interaktif dan solutif. Solusi yang dituju pun lahir dari kita saat menjadi coachee, hal ini membuatnya diposisikan bukan seperti kertas kosong melainkan kertas yang sudah berisi goresan, tulisan atau gambar yang menjadi dasar baginya mengidentifikasi dan mengonstruksi permasalahanmulai dari akar/sebab masalahnya, peluang, tantangan dan hambatan hingga kemungkinan-kemungkinan solusi. Coachee tidak merasa dirinya dihakimi dan dinilai baik dan buruk secara tegas.
Bagaimana peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi?
Peran saya di sekolah sebagai coach di sekolah secara nyata dilakukan dalam agenda formal maupun non formal. Secara formal dilakukan kepada teman sejawat dalam agenda supervisi akademik atau bahkan kepada kepala sekolah sendiri saat mendiskusikan pengembangan maupun pelaksanaan program-program baru yang akan dilaksanakan di sekolah. Dalam supervise akademik kepada teman sejawat saya berperan sebagai supervisor. Dengan teknik coaching akan medekatkan jarak, menumbuhkan kesetaraan sehingga terbangun chemistry/kesenyawaan yang befokus pada upaya pemenuhan kebutuhan murid dalam pembelajaran. Saat pra observasi, observasi dan pasca observasi fokusnya kepada coachee yang menunjukkan upayanya menjangkau kebutuhan murid dalam belajar. Supervisor sebagai coach bukan fokus pada mencari-cari kesalahanan dan coachee mencari-cari pembelalaan apalagi pembenaran atas kekurangan, kekeliruan atau kegagalannya.
Dari sana saya menemukan benang merah dengan materi sebelumnya yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pendidikan social emosional. Terkait pembelajaran berdiferensiasi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan murid sangat relevan dengan implementasi coaching. Coaching menjadi faktor pendukung ketercapaian tujuan pembelajaran yang dikemas secara berdiferensiasi. Mulai dari pra coaching dimana ada diskusi tentang RPP yang sudah dibuat, disana dituangkan diferensiasi apa yang akan digunakan serta alasannya sehingga dianggap tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran. Sampai dengan tahapan observasi dan dilakukan percakapan pasca observasi coachee diminta menilai sendiri berapa pada level berapa pemebelajarn diferensiasi dan pendidikan social emosional yang telah diterapkan dapat membantu murid mencapai tujuan pembelajaran. Tentu dengan didahului refleksi mandiri oleh coachee tentang keberhasilan, hambatan, serta kekurangan yang dirasakan secara langsung saat menjadi pemimpin pembelajaran di dalam kelas.
Bagaimana keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran?
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, di mana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan definisi kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership) adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud mengembangkan lingkungan kerja yang produktif dan memuaskan bagi guru, serta mengembangkan kondisi dan hasil belajar yang diinginkan siswa (Greenfield, 1987; Gorton and Schneider, 1990).
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa guru harus mampu menjadi coach bagi rekan guru lain bagi pengembangan dirinya di sekolah. Berkembang kapasitasnya mengidentifikasi kesiapan murid, , minat murid dan profil belajarnya sehingga dapat memetakan strategi pembelajaran diferensiasi yang harus diterapkan apakah itu konten, proses maupun produk. Pada akhirnya guru sebagai pemimpin pembelajaran mampu mendeteksi aspek-aspek yang bisa ditingkatkan dari rekan sejawatnya juga mampu merefleksikan hasil pengalamannya sendiri serta guru lain untuk dijadikan referensi perbaikan mutu pembelajaran.
Tidak kalah penting bahwa keterampilan coaching juga membuatnya bisa membantu mewujudkan Kepemimpinan murid. Coaching yang mengadopsi sistem Among (menuntun), Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (memberdayakan), menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid.
Dengan demikian Guru hendaknya mampu menjadi coach bagi murid-muridnya dengan mengajaknya bicara melalui paradigma coaching dalam setiap kesempatan. Menuntun murid menetapkan tujuan pembicaraan, mengidentifikasi persoalan dan menjabarkan rencana aksi hingga menyimpulkan hasil percakapan yang kesemuanya berpusat pada upaya memunculkan kekuatan murid. Memberikan dorongan dalam peningkatan kemandirian dan kepemimpinan murid dimana pun ia berada. Dengan demikian coaching membantu para murid mandiri dalam belajar, mampu memunculkan motivasi peserta didik untuk bekerja keras, juga menumbuhkan budi pekertinya di sekolah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar