Cinta yang Tak Ditakdirkan Bersama
“Apakah kamu marah aku tidak mengangkat VC kamu tadi saat reuni?” tanyanya diseberang telepon.
Aku hanya diam, namundalam hatiku masih sangat jengkel melihat kesombongannya. Bagaimana dia mengacuhkan kami semua. Dia tidak datang menghadiri reuni yang telah direncanakan sejak lama oleh teman-temannya. Dengan alasan sibuk dan sedang ada kegiatan yang tidak bisa ditinggal. Bahkan video Call pun tidak diangkatnya. Padahal aku meneleponnya di saat jam istirahat.
“Aku memang sengaja tidak menghadiri reuni itu, aku sangat malas mendengar suara Wahyu dan gengnya yang selalu berbicara yang menyakiti hatiku,” sambungnya setelah aku tidak menjawab pertanyaannya.
Alasannya cukup membuat aku kaget, selama ini aku melihat di grup WA tidak ada masalah diantara mereka. Kecuali tanggapan keras Wahyu terhadap tulisanya yang diposting disalah satu media online beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku juga ikut menengahi karena diminta teman-teman mengingat aku dulu Korti saat kami masih menempuh pendidikan dulu.
“Memang hal menyakitkan apa yang dia katakan kepadamu?” tanyaku penasaran.
“Ini sudah terjadi 30 tahun yang lalu, saat kita baru lulus. Saat itu aku lolos seleksi menjadi PNS, si mulut besar itu berkata padaku agar aku jangan mengambil jatah orang di kota kalian. Bahkan dia tanpa ragu menyuruh aku pulang ke luar Jawa. Saat itu sangat emosi mendengar ucapannya sehingga aku tidak melengkapi berkas pengangkatan yang dulu sudah kamu bantu mengurusnya. Aku meninggalkan kota kalian dan bekerja di perusahan Jepang,” urainya panjang lebar.
Metaku terbelalak, itu sudah terjadi begitu lama. Saat itu aku tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba menghilang. Ternyata ini alasannya.
“Astagfirullah, ternyata ini alasan kamu menghilang. Mengapa karena hanya ucapannya saja kamu mempertaruhkan masa depanmu?” tanyaku dengan keheranan.
“Ucapannya sangat menusuk hatiku. Sebenarnya bukan hanya karena itu, tapi juga karena orang yang kuharapkan memintaku tinggal tidak mengucapkan sepata katapun,” jawabnya penuh misteri.
“Seseorang yang diharapkannya untuk meminta dia tinggal di kota kami? Siapa orang yang dimaksudnya?” tanyaku dalam hati sambil memikirkan ucapannya itu.
“Maksudmu apa?” tanyaku setelah dia sejenak namun tak bisa mengerti maksudnya.
“Iya, saat itu aku menunggunya memintaku untuk tinggal. Asalkan dia memintaku tinggal aku tidak akan kemana-mana, akan mengikutinya sepanjang hidupku,” jawabnya dengan nada tenang seperti sedang melamun.
“Siapa orang itu? Aku tak melihat kamu dekat dengan seseorang saat itu?” tanyaku makin penasaran. Tapi dalam hatiku bergemuruh rasa yang membuat perasaanku tidak enak.
“Kamu,” jawabnya pelan, namun di pendenagranku terdengar seperti halintar yang mengemuruh.
Sesaat aku terdiam, tidak tahu apa yang akan aku ucapkan. Aku berusaha menenangkan diriku dari keterkejutan yang sangat besar. Setelah 30 tahun mengapa dia baru mengatakannya?
“Bagaimana mungkin? Aku selalu merasa kamu tidak menanggapi perasaanku,” tanyaku akhirnya.
Dulu di masa sekolah dia sangat dekat denganku. Aku selalu ingin menlindunginya karena aku memang sangat menyayanginya. Tapi dia terlihat tak menanggapi perasaanku selainnya hanya menganggapku sebagai teman dekat. Apalagi banyak kakak tinggakat bahkan guru yang terlihat mendekatinya. Bahkan saat kami mengikuti praktek kerja di luar, seorang peneliti menyukainya. Aku dengar dia memang memiliki hubungan denga peneliti tersebut. Maka aku tak berani mengungkapkan perasaanku secara terus terang.
“Aku menunggumu, tapi tak pernah kamu menyatakan perasaanmu kepadaku. Yang aku tahu saat itu kamu sedang tertarik kepada adik tingkat kita. Meski aku selalu berusaha dekat denganmu, tapi kalau kamu memang tidak ada perasaan padaku tentu aku juga tidak bisa terus mengaharapkanmu. Kamu ingat aku selalu selalu berusaha mampir ke rumahmu saat baru turun dari kereta api dari kampungku. Atau saat akan berangkat aku akan minta kamu yang mengantarku ke stasiun? Saat itu masih berharap kamu akan mengerti perasaanku,” katanya meyakinkanku dengan menceritakan kejadian puluhan tahun yang lalu.
Saat itu aku memang sangat bahagia karena bisa sering dekat dengannya. Dia terlihat sangat bergantung kepadaku. Selalu meminta aku yang menjemput dan mengantarnya ke stasiun setiap dia mau pulang kampung. Terkadang karena dia datang terlalu pagi sebelum mengantarka n ke asrama aku mengajaknya pulang ke rumahku untuk sarapan dan beristirahat sebentar. Orang tuaku juga sangat menyayanginya.
Sekelebat terbanyang saat indah itu dipikiranku. Saat itu kami masih menunggu kereta, aku duduk disampingnya. Sekilas aku terpesona melihat wajahnya yang putih bersih dengan mata yang berbinar. Saat aku lihat rambutnya menutupi sebagian pipinya. Aku mengulurkan tangan dan merapikan rambutnya dengan menyelipkannya ke telinganya. Dia tersipu dan sekejap pipinya merona merah. Aku melihatnya betapa cantiknya dia, wajah polosnya tanpa make up, rambut yang lurus halus dengan poni yang terlihat sangat imut.
Ahhh, kenangn itu kembali bergelayut di pikiranku. Perasaanku kepadanya masih sama seperti yang dulu.
“Aku menyesal saat itu kenapa tidak punya keberanian mengungkapkannya. Aku takut kamu tidak mempunyai sedikitpun perasaan kepadaku. Tapi seharusnya meskipun ditolak aku harus berani untuk menghadapinya. Saat itu aku tidak memiliki keberanian. Akhirnya kamu diambil orang,” ungkapku dengan rasa penyesalan yang mendalam.
Dia hanya diam tidak menanggapi ucapanku. Tapi untuk apa juga dia tanggapi semuanya sudah berlalu.
“Apakah sekarang kita bisa untuk bersam?” tanyaku tanpa sadar, aku sendiripun terkejut dengan ucapanku yang tiba-tiba. Sebenarnya ini memang yang selalu ada di dalam bawah sadarku, aku masih terus mengharapkannya.
Lama tak ada tanggapan darinya. Aku sesak menyadari kesalahan ucapanku. Aku baru saja ingin memperbaiki ucapanku, tiba-tiba terdengar ucapan yang tenang dari ujung sana.
“itu sudah tidak mungkin lagi. Kita sudah menjalani kehidupan dengan pasangan dan keluarga masing-masing. Bila kita egois akan banyak hati yang menderita. Cinta kita memang tidak ditakdirkan bersama. Tapi paling tidak kita telah mengungkapkan perasaan masing-masing yang tidak lagi mengganjal seumur hidup kita. Kini kita hanya bisa saling mendoakan untuk kebahagian keluarga kita masing-masing dan saling mendukung selamanya sebagai saudara. Bukankah dari dulu kamu juga selalu menjagaku sebagai saudara perempuanmu,” ucapnya tegas.
“ Ya benar. Cinta kita memang tak ditakdirkan untuk bersama. Semoga kamu selalu bahagia dengan keluargamu,” ucapku tulus.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar