Getir (2)
Bunda menoleh kepada putri semata wayangnya. Melihat putrinya yang sudah dewasa bahkan kini sudah berkeluarga, dia seolah baru menyadari bahwa putrinya itu bukan anak kecil lagi. Selama ini di matanya Aisyah masih gadis kecil yang manja.
“Aisyah, kini kita tinggal berdua setelah kepergian Ayahmu. Jadi sekarang hanya kamu tempat Bunda menumpahkan segala perasaan Bunda,” kata Bunda sambil mengusap bahu putrinya dengan kasih sayang.
Aisyah mengangguk dan berkata, “Bunda ceritakan apa yang menganjal dihati Bunda supaya menjadi ringan pikiran Bunda.”
“Kepergian Ayahmu untuk selama-lamanya membawa kita pada kesedihan yang mendalam. Namun kenapa kepergiannya justru karena kecelakaan saat sedang bersama perempuan lain? Ini menjadi pertanyaan yang sangat menyakitkan bagi Bunda. Bagaimana Allah menakdirkan Bunda dalam pernikahan seperti ini?” Raut wajah Bunda menjelaskan kegetiran hatinya yang tak terperi.
“Perginya Ayahmu, membawa pergi juga semua kisah kehidupan kami berumah tangga. Kisah yang bunda juga ingin melupakannya. Semua ini bermula dari saat kami akan menikah. Meski Ayah dan Bunda pada awalnya saling mencintai, tapi orang tuanya tidak pernah ikhlas menerima Bunda sebagai menantunya. Terutama Ibunya. Bahkan saat akan menikah, Ibunya tidak mau menghadiri dan memberi restu pernikahan kami. Meski akhirnya datang juga setelah dipaksa oleh kakekmu,” ujar Bunda dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
Mata Aisyah membulat menatap Bundanya. Ia sangat terkejut dengan apa yang dia dengar. Karena hal ini baru pertama dia ketahui. Selama ini, Bundanya selalu mengatakan hal-hal yang baik tentang kakek dan neneknya.
“Mungkin ini sudah kehendak-Nya. Allah memberi Bunda jodoh seperti Ayahmu. Takdir yang tidak bisa Bunda rubah. Meski bagi Ayahmu, Bunda bukan orang yang ingin dia bahagiakan. Dia lebih memilih membahagiakan wanita lain.” Bunda menjeda ucapannya sejenak, kemudian berkata, “Sinar bahagia di mata Bunda, bukan yang ingin dia lihat. Kebahagiaan Bunda bukanlah kebahagiaannya. Dia tidak pernah mau tahu bagaimana perasaan Bunda. Apakah sedang sedih atau bahagia. Tapi kilauan kebahagian di mata perempuan lain membuatnya begitu senang. Ucapan terimakasih dan pujian perempuan lain atas perhatiannya membuatnya melambung ke awan. Dia tega melakukan hal-hal seperti itu meski di depan mata kepala Bunda sendiri,” lanjut bundanya dengan raut kesedihan yang mendalam.
Beberapa tahun yang lalu, Aisyah ingat bundanya pernah mengeluh tentang kehadiran wanita lain dalam kehidupan Ayahnya. Bunda menceritakan bagaimana perhatian ayahnya kepada wanita itu. Tapi saat itu Aisyah mengira bundanya hanya sedang cemburu. Dia tidak menyangka, bunda begitu tidak bahagia dengan sikap Ayahnya yang sangat baik dan perhatian kepada teman perempuannya yang saat itu belum menikah.
Aisyah memandang Bundanya dengan wajah sedih dan rasa bersalah. Dulu dia menasehati Bundanya agar jangan terlalu banyak berpikir, mungkin mereka hanya berteman baik. Dia tidak mengira kebahagian Bundanya dan perhatian ayahnya telah diambil oleh perempuan yang tidak tahu malu itu.
“Terkadang Bunda berpikir, mungkin Ayahmu tidak merasa Bunda sebagai istrinya. Tidak pernah ingin tahu apa yang sedang bunda pikirkan dan rasakan. Apakah bunda bahagia ataukah bunda bersedih. Juga tidak pernah memperhatikan apa yang sedang bunda butuhkan. Terpaksa Bunda potang panting untuk mencari uang melalui usaha kuliner ini. Alhamdulillah Allah memberi rezeki melalui usaha ini sehingga bisa berkembang hingga sekarang,” cerita Bunda menjelaskan mengapa dia menekuni usaha industri rumah tangga yang telah banyak membantu membuka lapangan kerja bagi ibu-ibu disekitar rumah mereka.
Aisyah memang tidak bisa lama bersama bundanya. Dia tinggal di asrama sejak usianya masih kecil hingga lulus kuliah.setelah bekerja dia langsung menikah dan diboyong oleh suaminya ke kota. Sehingga dia tidak begitu tahu apa yang dialami dan diderita bundanya selama ini.
“Bukan tidak hanya memperhatikan keperluan Bunda, bahkan ketika Bunda membeli sesuatu yang bunda senangi dia melontarkan protes dengan mengatakan Bunda membuang-buang uang. Terkadang bunda juga merasa capek dan jengah dengan omongan kasarnya. Akhirnya Bunda membela diri dengan mengatakan uang yang Bunda gunakan tidak meminta kepadanya,” kata Bunda dengan wajah getir.
Aisyah tidak menyangka Ayahnya begitu pelit kepada Bundanya. Padahal seharusnya tanggung jawab Ayahnya untuk memenuhi kebutuhan Bundanya. Dia lihat selama ini Bundanya juga bukan orang yang banyak permintaan akan sesuatu yang mewah yang mungkin akan menyusahkan Ayahnya. Bunda sangat sederhana namun berpikiran luas. Aisyah selalu menjadikan Bundanya sebagai panutan dalam hidupnya.
“Kamu masih ingat ketika dulu Bunda minta diantarkan ke toko perhiasan? Saat itu Bunda memilih sebuah cincin berlian? Meskipun berliannya kecil tapi cukup membuat hati Bunda bahagia. Sebenarnya itu hanya untuk menghibur hati Bunda yang sedih. Apakah Bunda tidak berharga sehingga suami sendiri tidak mau menyenangkan hati Bunda dengan sesuatu yang bernilai? Tapi justru malah dengan penuh perhatian terhadap kebahagian perempuan lain.” Air mata Bunda sudah tidak mampu dicegah berjatuhan bagai manic-manik mutiara dari kedua netra.
Aisyah sudah tidak tahan lagi, dia usap air mata bundanya dengan tangan lembutnya dan ikut menangis bersama bundanya. Dia ingat ketika itu, dia memperlihatkan cincin berlian di jari manisnya kepada bunda, hadiah pemberian suaminya saat peringatan dua tahun pernikahan mereka. Ia tidak tahu bundanya akan begitu sedih mengingat ayahnya yang tidak pernah perhatian kepada bunda apalagi memberikan hadiah untuk bunda sepanjang usia pernikahan mereka.
“Bukan emas, bukan berlian dan juga bukan uang ratusan juta di tabungan yang Bunda harapkan. Tapi perhatian dan kasih sayang dari orang yang bunda cintai. Meskipun sesuatu yang sederhana tapi diberikan dengan rasa kasih yang tulus itu sudah cukup membuat Bunda bahagia. Namun sinar kebahagiaan di mata bunda bukan itu yang membuat Ayahmu bahagia,” ucap Bunda dengan gemetar di sela-sela tangisnya.
Aisyah merasakan semua yang diucapkan bunda keluar dari relung hatinya yang paling dalam. Kegetiran yang selama ini dia simpan dalam-dalam.
Bundanya tidak meminta yang neko-neko. Sikap itu kembali terlihat dari keinginan Bunda untuk menginfakkan seluruh tabungan Ayah untuk membangun musalah di dekat rumah. Bunda juga mewakafkan beberapa petak sawah yang dibeli ayah untuk tempat membangun panti asuhan.
“Biar semua yang ditabung dan diusahakan Ayahmu menjadi bekal baginya dalam perjalanan menuju Illahi. Kita hanya bisa mendoakan semoga Ayahmu mendapat tempat yang terbaik disisi-Nya,” ucap Bunda tulus saat Aisyah mencegah agar bundanya tidak menginfakkan dan mewakafkan semua peninggalan ayah. Dia ingin Bunda meninggalkan juga untuk keperluan Bunda sehari-hari.
Kini Aisyah berharap agar kegetiran di hati bunda segera menghilang. Dia berdoa semoga bunda ke depan akan bertemu dengan orang yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus. Berharap bunda mendapatkan kebahagian yang tiada akhir dan terlepas dari segala kepedihan dan kepahitan hidup berumah tangga selama ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren bu, sangat tersentuh.....Menunggu lanjutannya..Salam Literasi
Keren ceritanya. Ditunggu lanjutannya Bunda. Salam sehat dan bahagia selalu.