Getir (1)
Para pelayat telah lama meninggalkan area pemakaman. Namun Aisyah melihat bundanya masih bergeming. Dengan sudut matanya, dia melirik Bunda yang duduk berjongkok di samping gundukan tanah merah.
“Bunda terlihat begitu berduka ditinggal Ayah, sehingga masih belum mau pulang ke rumah untuk beristirahat,” batinnya dalam hati.
Meskipun terasa berat, tapi mereka harus ikhlas karena semua itu sudah kehendak Allah. Memikirkan itu, Aisyah baru saja akan menggerakkan bibirnya untuk membujuk bunda, tapi dia terkejut melihat ekspresi bundanya.
Bunda nanar menatap nisan dari kayu sederhana di bagian kepala makam almarhum ayahnya. Wajah bunda tidak terlihat terlalu sedih, tapi justru yang terlihat rasa kegetiran dalam sorot mata bunda.
“Ada apa ini? Mengapa bunda menatap makan Ayah dengan raut getir yang mendalam seperti itu?” batin Aisyah dalam hati.
***
Tujuh hari setelah ayah meninggal, mereka memanjatkan doa bersama. Mendoakan semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ayah dan menerima amal ibadahnya. Kuburan ayah diterangi oleh cahaya imannya dan perjalanan Ayah menemui Illahi Rabbi dalam keadaan tenang.
Malam hari, Aisyah meminta izin untuk kembali ke kota besok harinya. Sebenarnya dia juga tidak tega meninggalkan bunda, tapi kewajibannya pada keluarga kecilnya juga tidak mungkin dia lalaikan.
Aisyah mengajak bundanya untuk tinggal bersamanya di kota, tapi bunda menolak karena bunda juga mempunyai tanggungjawab terhadap karyawannya yang membantu usaha aneka kue keringnya. Usaha ini telah lama dilakoni bundanya sejak dia masih kecil dulu. sekarang usahanya sudah berkembang, bahkan beberapa produk usaha bundanya juga mendapat pesanan dari luar negeri.
Ada yang masih menganjal di hati Aisyah, terhadap sikap bundanya saat pemakaman ayahnya minggu lalu. Dengan rasa ingin tahu, dia bertanya sambil mengelus lengan bundanya dengan rasa sayang.
“Bun, apa yang sedang Bunda pikirkan? Aisyah lihat Bunda sangat kesakitan dan getir saat memandang nisan Ayah. Bunda jangan menyimpannya dalam hati sendirian, nanti akan membuat Bunda sakit. Bunda ceritakan dengan Aisyah ya, siapa tahu dapat mengurangi beban yang Bunda rasakan,” pinta Aisyah peduli.
Bundanya menoleh kepada putri semata wayangnya itu. Melihat putrinya yang sudah dewasa bahkan kini sudah berkeluarga, dia seolah baru menyadari bahwa putrinya itu bukan anak kecil lagi. Selama ini di matanya putrinya masih gadis kecil yang manja.
***
Apa yang membuat bunda menatap nanar nisan ayah dengan raut getir di wajahnya?
Ikuti kisah selanjutnya ya...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ceritanya, sukses selalu bu Ilma Wiryanti
Cerpen yg keren... sukses selalu
Keren ceritanya. Ditunggu lanjutannya. Semoga sehat selalu Bunda.