Menyoal Anak Masuk Sekolah di Usia Dini
“Aku nggak mau sekolah TK lagi. Semua teman-teman sudah naik kelas ke SD. Aku nggak mau sekolah TK B lagi,” kata anakku merajuk tidak mau sekolah TK lagi. Saat itu dia benar-benar bersikukuh tidak mau untuk kembali ke TK. Ia bahkan tidak mau mencoba seragam baru yang aku belikan karena seragam yang lama sudah kesempitan.
Aku sangat bingung mendengar ucapannya. Umurnya masih terlalu muda untuk sekolah SD. Dia baru berumur 5,5 tahun kala itu. Mungkin dia sudah bosan karena sudah dua tahun sekolah di TK dan satu tahun di play group. Sehingga totalnya sudah tiga tahun dia di sekolah yang sama.
Jika mengikuti permintaannya mendaftar di SD, tentu akan ditolak oleh pihak sekolah. Umurnya yang masih terlalu muda untuk masuk SD. Apalagi aku juga banyak membaca artikel tentang dampak anak yang masuk sekolah terlalu dini. Anak akan banyak menemui kesulitan belajar bahkan bisa menimbulkan kebosanan belajar.
Dalam salah satu artikel digambarkan mengapa sekolah terlalu dini itu akan berdampak buruk pada anak. Pada usia antara nol sampai delapan tahun, selisih umur setahun saja membuat perkembangan dan kematangan anak jauh berbeda. Ketika anak mendapat pendidikan yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya, anak bisa merasa tidak cakap, cemas, dan bingung. Karena tidak bisa memenuhi ekspektasi akademik dan sikap. Akibatnya anak jadi mendapat label ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder), gangguan belajar dan terhambat perkembangannya.
Menurut Ibu Elly Risman, S. Psi, seorang Psikolog anak, dalam suatu acara di televisi mengatakan bahwa pada otak anak usia dini bagian yang sedang berkembang pesat adalah pusat perasaan, bukan pusat berpikir.
“Balita harus menjadi anak yang bahagia, bukan anak yang pintar,” tegas Elly.
Namun mendengar rengekannya tiap hari minta didaftarkan sekolah di SD, mendorongku akhirnya mencoba untuk berkonsultasi dengan kepala sekolah MIT (Madrasah Ibtidaiyah Terpadu) di kotaku. Sekolah ini masih satu yayasan dengan sekolah TK-nya dulu.
Kepala sekolah yang mendengar ceritaku, ikut merasakan kuatnya keinginan putra bungsuku untuk sekolah SD. Akhirnya beliau memberi saran, untuk coba didaftarkan saja dan ikuti seleksi masuknya. Bila nanti tidak lulus akan mudah memberikan pemahaman pada si kecil bahwa dia harus kembali sekolah di TK setahun lagi.
Aku mengikuti saran Bapak Kepala sekolah. Alhamdulillah aku diberi kesempatan untuk bisa mendaftarkan putraku meski jadwal untuk pendaftaran sudah ditutup.
Saat putraku mengikuti tes seleksi masuk Madrasah Ibtidaiyah, aku yang berdebar-debar. Sedangkan dia terlihat sangat bersemangat. Waktu itu tesnya adalah kemampuan pengenalan huruf hijaiyah dan huruf latin serta pengenalan angka dari satu sampai sepuluh. Ditambah lagi dengan hafalan surah pendek.
Ketika selesai tes, aku bertanya apakah dia bisa menjawab pertanyaan bu Guru. Dia mengatakan bisa.
Saat pengumuman tiba, kembali aku berdebar-debar. Bagaimana hasilnya dan bagaimana cara menyampaikan kepadanya nanti bila dia tidak lulus? Aku merasa tidak akan sanggup melihat reaksinya nanti. Karena kuat sekali keinginannya untuk sekolah SD.
Netraku nanar menatap kertas pengumuman di papan pengumuman untuk mencari nama anakku. Ternyata dia lulus dengan nilai di peringkat lima. Aku senang, tapi membawa dilemma. Ketika aku menemui kepala sekolah dan mengatakan putraku lulus. Beliau mengatakan, berarti harus diterima karena dia sudah lulus dan berhak bersekolah di sini.
Anakku sangat senang, dia mengikuti semua tahap persiapan masuk sekolah dengan riang gembira. Seperti pengukuran seragam, menyiapkan buku-buku dan tas sekolahnya. Dia sangat senang karena banyak teman-temannya di TK dulu juga lulus di sekolah yang sama dengannya.
Hari pertama sekolah tiba. Dia sangat bersemangat. Pagi-pagi sekali sudah minta dimandikan. Dia memakai seragam baru dengan gembira.
“Seragamku sudah merah putih Bunda, nggak hijau lagi,” katanya dengan mata berbinar-binar. Duh…, bahagia sekali melihat cahaya semangat di matanya.
“Semoga semangat ini terus berkobar selama dia bersekolah,” harapku dalam doaku.
Alhamdulillah, hari-hari berikutnya berjalan tanpa kendala, dia selalu mempersiapkan peralatan sekolahnya dengan rapi di malam hari. Terlihat rasa tanggung jawabnya akan kewajibannya sebagai murid. Mungkin ini terjadi karena dia sendiri yang meminta untuk sekolah di SD. Aku yang melihat betapa senangnya anakku bersekolah merasa sangat bersyukur, semoga efek bersekolah terlalu dini tidak terjadi padanya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
ulasan yg keren... sukses selalu
Trimakasih atas apresiasinya, Pak.
Keren bunda Ilma. Kasihan juga bila ada anak yang cerdas berbakat tak bisa sekolah karena belum cukup umur. Salam sehat dan bahagia selalu Bunda.
Iya Bunda, perkembangan anak-anak itu berbeda-beda. sehingga kita sebagai pendidik di rumah dan di sekolah harus mau memahami keinginan mereka dan menuntunnya sesuai dengan perkembangannya.