Stop! Mencekoki Bayi dengan Pisang
Suatu hari saat saya baru pulang mengajar, saat itu umur bayi saya baru tiga bulan, dia menangis tanpa henti. Saya segera memeriksa apa yang membuat dia menangis. Ternyata perutnya kembung. Saya segera membawanya ke dokter. Setelah diperiksa oleh dokter, bayi saya dikatakan dokter telah memakan makanan yang berserat kasar yang belum baik untuk usianya yang belum berumur enam bulan.
Kemudian dokter menangani dengan mengompres perut bayi saya dengan haduk hangat dan memberikan obat melalui mulut. Dokter berkata semoga upaya yang dia lakukan tersebut berhasil. Bila tidak, maka bayi saya harus dioperasi karena terjadi kholik di ususnya yang masih sangat muda.
Saya begitu terkejut mendengar penjelasan dokter. Apa yang telah diberikan oleh pengasuhnya sehingga bayi saya seperti ini. Padahal saya sudah menjelaskan bahwa bayi saya hanya boleh diberi ASI saya yang sudah dipompa, kalau masih terlihat lapar diberi sari papaya yang disaring sangat lembut.
Alhamdulillah, upaya dokter dalam menangani bayi saya berhasil dan kami akhirnya bisa pulang ke rumah. Sesampai di rumah saya bertanya pada pengasuhnya, apa yang dia berikan tadi siang pada bayi saya.
“Bik, adek perutnya kram. Makanan apa yang bibik berikan tadi sama adek,” tanya saya sangat ingin tahu.
“Saya beri ASI sama pepaya, Bu. Karena nggak mau tidur dan berak-berak terus tapi sedikit yang keluar saya beri pisang yang diserut,” katanya menjelaskan.
Astagfirullah… batin saya, inilah yang menjadi penyebabnya adek sampai kesakitan seperti itu.
“Bibik, adek belum bisa makan pisang. Saya sudah pernah memberi tahu Bibik bukan? Karena ususnya masih belum kuat. Kenapa masih Bibik beri juga?” tanya saya mulai kesal.
“Tapi anak-anak saya usia segitu sudah saya beri pisang Bu. Mereka nggak kenapa-kenapa. Kalau makan pisang, buang air besarnya bisa bagus, nggak seperti tadi yang keluar hanya seperti butiran-butiran cabe, anaknya jadi anteng dan gampang tidur,” katanya bersikukuh dengan pendapatnya.
Mendengar kekukuhannya menerapkan caranya merawat bayi dan tidak mau menurut apa yang saya minta, saya sudah tidak bisa mentolerir. Apa lagi menyangkut keselamatan bayi saya. Karena itu saya minta dia untuk berhenti menjadi pengasuh bayi saya.
Saya mungkin kelihatan sangat tegas dengan sikap saya. Itu semua karena melihat karakter pengasuh tersebut yang nggak mau diberitahu. Daripada membahayakan nyawa bayi saya maka saya terpaksa bersikap seperti itu.
Saya tidak mau menyesal belakangan karena ini menyangkut keselamatan bayi saya. Dulu saya pernah mendengar cerita bu bidan, tentang bayi yang berusia baru dua bulan meninggal dunia karena diberi pisang oleh neneknya yang menerapkan cara-caranya merawat bayi tempo dulu. Sang menantu tidak berani menentang cara mertua yang akhirnya berujung pada hilangnya nyawa sang bayi. Mendengar cerita itu saya jadikan pelajaran untuk berhati-hati dalam memberikan nutrisi tambahan pada bayi.
Sesungguhnya, bayi di bawah usia enam bulan keadaan sel-sel pada organ pencernaannya masih sangat lunak. Sehingga belum bisa mencerna makanan yang berserat kasar seperti pisang. Itu sebabnya tenaga medis membuat sebuah program penyuluhan “ASI eksklusif” yaitu selama enam bulan pertama usia bayi hanya diberi ASI atau ditambah dengan sari buah yang sangat halus seratnya.
Selama ini orang tua mengganggap dengan makan pisang bayi akan cepat besar dan mudah untuk tidur. Serta fecesnya sudah berbentuk tidak seperti butiran cabe saat hanya minum ASI, sehingga mereka menganggap bayi tidak sembelit bila makan pisang.
Tapi semua anggapan berupa kelebihan tersebut, justru berakibat buruk pada kesehatan bayi, bahkan bisa berakibat kematian. Bayi yang makan pisang terlihat lebih cepat gemuk karena di dalam pisang banyak terkandung glukosa yang akan membuat bobot bayi menjadi naik, tapi kondisi ini justru seharusnya diwaspadai karena bisa berakibat terjadi obesitas pada bayi.
Bayi yang minum ASI, fecesnya seperti butiran cabe yang dikira mereka bayi sedang sembelit, sesungguhnya bukan demikian. ASI yang merupakan sari-sari makanan hampir seluruhnya terserap oleh tubuh bayi, sangat sedikit meninggalkan ampas atau sisa yang menyebabkan terbentuk sedikit feces. Tentu berbeda dengan pisang yang banyak seratnya yang tak bisa diserap menyebabkan banyak yang dikeluarkan sebagai feces. Tapi ini justru berbahaya untuk saluran pencernaan bayi yang belum matang, sehingga bisa terjadi sumbatan di usus yang menyebabkan bayi harus dioperasi.
Lebih membahayakan lagi bayi jika pemberian pisang itu dillakukan dengan mencekoki bayi dengan tangan. Tujuannya mendorong pisang lebih ke dalam kerongkongan agar bayi langsung bisa menelannya. Sebagaimana yang dulu sering dilakukan oleh ibu-ibu di desa saat mencekoki makanan pada bayinya. Pemberian ini sangat berpotensi memasukkan kuman ke dalam tubuh bayi. Di samping itu karena usus bayi belum siap menerima makanan berserat kasar tersebut bisa menimbulkan reaksi alergi pada bayi.
Mengingat semua bahaya itu saya merasa tindakan saya memberhentikan pengasuh tersebut sudah benar. Semua demi keselamatan bayi saya. Dari kejadian ini saya menarik pelajaran yang mungkin juga berguna bagi ibu-ibu bekerja yang lain.
Meskipun kita sudah menitipkan bayi kita pada pengasuh atau orang tua namun kita tetap harus mengawasi bayi kita dengan ketat. Jangan ada rasa sungkan dengan mendiamkan saja apa yang menurut kita tidak tepat, tapi justru bisa berakibat fatal bagi bayi kita. Jangan sampai kita menyesalinya nanti selama hidup kita.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
trims infonya... salam literasi
Terimakasih atas apresiasinya, Pak. salam literasi.