I Made Wardita

Penikmat sastra, terkadang berbagi dg media puisi.. Penekun artikel populer (Wanagiri, Selemadeg, Tabanan) ...

Selengkapnya
Navigasi Web

TELAGA BENING

Karya: I Made Wardita

“Ayah, besok sore kita main di sawah lagi yuk!” ucap Gede yang sedang rebah di samping kirinya. “Aku ikut! Aku ingin menangkap capung lagi!” I Luh segera menimpali.

“Ya. Besok kan hari minggu. Ayah akan ajak kalian ke sawah semuanya”, janji Bidur.

Bidur, lelaki yang kurus dengan mata cekung itu mengelus-ngelus kedua kepala anak kesayangnya yang rebah di sampingnya malam itu. Sementara itu, Wayan Jinten, istrinya masih sibuk di dapur memasak pepes belut. Belut-belut itu dikumpulkan oleh Wayan Bidur bersama kedua orang anaknya ketika mencangkul di sawah siang tadi.

Gede dan I Luh yang baru kelas III dan IV SD itu, memang sangat gemar bermain di sawah usai pulang sekolah. Sesekali menangkap belut, menangkap capung, belalang, dan jangkrik. Binatang-binatang itu pula yang dijadikan menu sehari-hari.

“Ayah aku dapat capung lebih banyak dari Bli Gede!” Dengan bangga I Luh mempertontonkan dua ikatan capung dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya masih memegang celulukan, alat penangkap capung yang terbuat dari lidi yang diujungnya diikatkan getah kayu nangka.

Gede tidak mau dikalahkan. Dia menangkap capung lebih giat lagi. Tubuhnya melompat dari pematang yang satu ke pematang lainnya, mengejar capung-capung yang menari-nari rendah di atasnya. Sesekali dia terjatuh, terjembab ke dalam lumpur. Tapi, dia bangkit kembali, tersenyum, lalu mengejar capung lagi.

Hari telah beranjak sore. Matahari memancarkan rona kemerahan di ufuk barat. Perlahan-lahan lenyap ditelan bumi. Kegelapan mulai menyelimuti bumi. Bidur mengajak anak-anak dan istrinya mengumpulkan cangkul, sabit, dan perkakas lainnya untuk ditempatkan di dalam pondok. Lalu, dia mengajak anak-anak dan istrinya pulang.

Deru mesin dan klakson kendaraan besar dan berat semakin kencang menusuk-nusuk telinga Bidur malam itu. Dia menatap kedua anaknya tertidur lelap ditemani oleh istrinya Ni Wayan Jinten. Berkali-kali lelaki paruh baya itu merasakan getaran lantai rumahnya manakala setiap kendaraan besar lalu lalang di jalan raya yang melintas di atas rumahnya.

Bidur menatap wajah-wajah bahagia di balik anak-anak dan istrinya yang tertidur lelap. Dada Bidur bagai teriris-iris pisau belati yang tajam menatap anak-anak dan istrinya. Sebagai lelaki dia merasa sangat berdosa karena tidak mampu membahagiakan mereka. Lebih dari 15 tahun mereka harus tinggal di gubuk di atas tanah milik pemerintah kabupaten yang berada di pinggir sungai. Di atasnya melintas jalan raya dan jembatan. Dan, sawah-sawah itu, yang digarapnya setiap hari, yang dianggapnya sebagai belahan jiwa oleh kedua anaknya, dia tidak tahu kapan harus diserahkan kepada pemiliknya. Sebab, di sana telah terpasang papan yang bertuliskan “Lokasi Perumahan Buana Asri”.

Gede Sana dan I Luh Desi tidak tahu kalau sawah tempatnya mencari belut, capung, belalang dan jangkrik hanyalah sebuah pinjaman dari seorang pengembang yang kebetulan berbaik hati. Dan, Bidur sengaja menyimpan rahasia itu sampai tiba pada saatnya nanti.

Suatu malam Bidur mengajak Gede dan I Luh memanah ikan. Menyusuri anak sungai yang melintas di seberang sawah garapannya. Bidur menangkap wajah-wajah ceria pada kedua anaknya setiap menangkap ikan-ikan di bawah air. Bidur merasa terhibur. Semalaman Bidur dapat melepaskan siksa batinnya.

“Ayah, kapan kami diajak memancing ikan di telaga seperti yang sering ayah ceritakan?” Suatu ketika Gede dan I Luh menagih janji ayahnya.

“Pasti! Suatu ketika pasti kalian akan diajak ke sana”, janji Bidur singkat.

“Tapi, kapan Ayah?” desak Gede

“Aku ingin memetik bunga teratai di sana. Lalu, kuperlihatkan kepada teman-teman di sekolah”, I Luh segera menimpali.

“Semua pengalaman di desa akan aku tulis dalam sebuah karangan. Dan, akan aku bacakan di depan teman-teman dan ibu guru. Pasti menjadi karangan terbaik!”, tambah Gede dengan semangat berapi-api.

“Pasti ayah ajak kalian. Tunggu supaya kalian dapat libur dari sekolah!”.

Gede dan I Luh puas dengan jawaban ayahnya. Kedua anak itu banga punya ayah yang berasal dari sebuah desa di bawah Gunung Batukaru. Mereka sangat bangga dengan cerita ayahnya malam-malam perihal sawah dan ladangnya di desa. Mereka lebih bangga lagi dengan cerita tentang telaga bening yang dimiliki ayahnya di desa.

Minibus yang dicarter Bidur mulai menyusuri jalan menuju sebuah desa di bawah pinggang Batukaru. Sudah cukup lama jalan itu tidak pernah diaspal lagi. Batu-batunya berserakan. Lobang-lobang menganga tidak terhitung lagi jumlahnya. Mikrolet tua lajunya melompat-lompat. Berkali-kali raut wajah sopirnya menyiratkan ketegangan manakala menghadapi jalan menanjak dan sempit, yang mengharuskan mobilnya bergerak mundur berkali-kali.

Bidur menatap wajah istrinya sangat tegang. Tapi, tidak untuk Gede dan I Luh. Mereka tampak tetap bersemangat walaupun berkali-kali kepalanya berbenturan dengan badan mikrolet tua itu. Setiap mikrolet mendaki tanjakan, Ni Wayan Jinten tegang, menahan nafas. Bibirnya komat-kamit memohon keselamatan kepada Hyang Jagat Bhatara.

Minibus tua sudah menyusuri jalan rusak lebih dari satu jam. Desa yang dituju tinggal satu setengah kilo meter lagi. Semakin kencang laju mikrolet, Bidur semakin tegang. Semakin dekat desa yang dituju, hati Bidur semakin kecut. Bidur mengalami pergulatan batin yang meledak-ledak, antara melanjutkan perjalanan atau menyuruh sopir mikrolet untuk memutar balik kendaraannya. Semakin dekat dengan desa semakin kuat keinginannya untuk membatalkan perjalanan. Tetapi, manakala melihat kedua anaknya yang tambah bersemangat, Bidur hanya bisa pasrah.

“Hore... kita telah sampai!” teriak Gede dan I Luh kegirangan. Mereka tidak peduli dengan mukanya yang diselimuti debu dan rambutnya yang telah bercerai berai.

“Mana rumah ayah?”

“Mana telaga beningnya, ayah?”

“Kenapa kita harus beristirahat di sini?”

“Ayo, ayah lanjutkan perjalanan kita!

Bidur pura-pura tidak mendengar pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkan Gede dan I Luh. Dia merebahkah tubuhnya di atas rerumputan di sebuah tegalan di ujung desa. Siang itu, untuk pertama kalinya Bidur menginjakkan kaki kembali di desa kelahirannya. Rasa miris, gundah, kancau, dan takut berbaur menjadi satu. Tidak terlalu jauh dari tempatnya rebah, sekitar dua puluh tahun yang lalu, ketika dirinya baru kelas III SMP, dia mengalami peristiwa yang sangat menakutkan. Kentongan banjar dipukul oleh warga bertalu-talu. Warga banjar sorak-sorai mendatangi rumahnya dengan beragam senjata. Rumahnya dilempari dengan batu-batu kali. Mereka kompak ingin membunuh ayahnya dan mengusir semua anggota keluarganya.

Bidur kecil tidak paham perihal diusirnya mereka dari tanah kelahirannya. Belakangan dia mendengar informasi karena ayahnya terkenal memiliki cetik, racun yang dapat dipakai untuk membunuh siapa saja. Setiap orang yang berselisih dengan ayahnya, selalu mati dengan perut membusuk karena diracun dengan cetik.

“Ayah, mana rumah kita?”

“Ayah, mana telaga bening itu?”

“Sabar Nak sebentar lagi akan ayah antar.”

Bidur sengaja menahan anak-anaknya untuk tidak melanjutkan perjalanan. Dia tidak mau menanggung risiko yang dapat menimpa anak-anaknya.

Pada saat yang bersamaan warga banjar melintas di depannya. Rupanya mereka usai melakukan kerja bakti. Bidur menarik tangan anak-anaknya untuk mengajaknya bersembunyi. Tapi, kelian banjar mengatahuinya, lalu memanggilnya. Warga pun ikut datang dan mengerumuninya. Bidur menggigil, cemas dan ketakutan.

“Wayan, kapan pulang?” tanya seorang warga.

“Ajaklah anak-anak dan istrimu tinggal kembali di sini!” ucap yang lain.

Lidah Bidur terasa kaku. Dia tidak percaya dengan keramahan semua warga.

“Masa lalu biarlah berlalu. Tataplah masa depan. Jangan warisi anak-anak kita dengan darah, pedang dan kekerasan”, kata lelaki muda bertampang gagah yang ternyata kelian banjar.

Bidur tidak dapat berkata-kata. Lidahnya terasa kaku dan kelu. Butiran-butiran air mengalir dari kedua kelopak matanya lalu menyusuri kerut-kerut wajahnya. Dia melepaskan anak-anak dan istrinya untuk berlari riang gembira menginjak tanah kelahirannya.

“Hore.... lihatlah telaga milik ayah. Airnya bening. Ikannnya berwarna-warni. Mereka menari-nari saling tersenyum!” teriak Gede dan I Luh kegirangan dari pinggir kolam.

Bidur akhirnya tersenyum. Baru kali ini dia memberikan kebahagiaan kepada anak-anaknya untuk bermain-main di telaga yang bening. Dia pun menatap tanah kelahirannya dengan sorot mata bahagia dan penuh harapan. Di depannya dia melihat sederet telaga yang bening dengan ikan berwarna-warni. Dulu kolam-kolam itu selalu keruh dan memancarkan bau busuk. Tapi, sekarang benar-benar bening dan bau harum terpancar dari bunga-bunga di sekelilingnya. (**).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ceritanya menarik keren Pak sukses selalu ya Pak

28 Oct
Balas

Terima kasih Buk

28 Oct

cerpen yangg keren pak, salam sukses

27 Oct
Balas

Terima kasih mbak amalia

28 Oct

Cerpen yg keren, diksi dan pesan moralnya apik seapik pemandangan di sekitar telaga bening & tanah kelahiran Bidur. Mantap mas

27 Oct
Balas

Terima kasih mbak.. Salam dari bli made

27 Oct

Kebahagiaan buat anak adlh harapan orang tua... Sukses Pak Made...

27 Oct
Balas

Terima kasih pak ketut

27 Oct



search

New Post