Imam Safe'i

Saya lahir dari keluarga petani. Lahir di Kediri, tanggal 01 Juni 1976. Saat ini saya berprofesi sebagai guru di Kabupaten Lampung barat, Provinsi Lampung. Mela...

Selengkapnya
Navigasi Web

Orang Tuaku Bukan Sarjana (2)

Permainan gobak untuk sementara terhenti. Tidak ada akses jalan yang dapat kami lewati selain lewat halaman madrasah yang sekaligus menjadi arena bermain bagi siswa di madrasah ini.

Kami menuju salah satu ruangan yang terdapat dalam bangunan madrasah, diikuti oleh beberapa anak beserta orang tuanya. Di dalam ruangan tampak sudah ada beberapa orang tua dan anak sebayaku duduk di bangku dan meja yang disediakan. Sesekali para orang tua terlihat berbincang dan kemudian tersenyum.

Di hadapan para orang tua dan anaknya terdapat bangku dan meja yang diduduki oleh tiga orang. Dari penampilannya, mereka berbeda dengan para orang tua yang hadir. Mereka bertiga terlihat berpakaian lebih rapi dan memakai peci.

“As-salamu’alaikum.” Sapa bapak saat akan memasuki ruangan.

“Wa-alaikumsalam.” Jawab yang ada di ruangan secara serentak.

“monggo… monggo… silahkan masuk.” Kata salah seorang yang duduk di depan sambil mengarahkan tangannya mengisyaratkan kepada kami untuk memasuki ruangan dan duduk di tempat yang sudah disediakan.

Bapak berjalan memasuki ruangan diikuti oleh emak. Aku berjalan di samping sambil menggandeng tangan bapak. Kami segera duduk di bangku yang disediakan dengan posisi di tengah. Bapak berada di samping kanan dan emak duduk di sebelah kiri. Kami terdiam sejenak sambil menunggu apa yang akan disampaiakan oleh bapak-Bapak yang ada di depan.

“Itu siapa pak?” tanyaku kepada bapak sambil mengarahkan pandanganku ke depan.

“ Beliau-beliau itu pak guru, yang akan mengajarimu nanti.” Terang bapak.

“Oooooh…. Pak guru.” Sahutku.

“ Mohon maaf. Kita tunggu sebentar lagi ya, bapak ibu.” Kata salah seorang yang ada di depan memberi informasi.

Ada sekitar lima belasan anak yang saat ini sudah ada di ruangan beserta dengan orang tuanya yang mendampingi. Tak ada satupun anak yang aku kenal, karena memang selama ini aku tinggal bersama bapak yang jauh dari tetangga dan pemukiman.

Setelah beberapa saat menunggu ada dua anak tambahan yang hadir beserta orang tuanya, sehingga jumlah anak-anak yang ada menjadi tujuh belas.

“ kita mulai ya, bapak ibu”. Kata pak guru yang duduk di posisi tengah.

“As-salamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.”

“Wa-alaikumsalam.” Jawab kami secara serentak.

“ Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Alloh Subhanahuwata’ala, atas limpahan rahmat hidayah serta taufik-Nya, terutama nikmat sehat yang kita rasakan sehingga kita dapat berkumpul di ruangan ini.”

Begitulah pidato pengantar yang beliau sampaikan.

“ Selamat datang di Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda. Hari ini adalah pendaftaran dan penerimaan murid baru, sekaligus hari pertama sekolah.” Sambung kata dari beliau.

Aku tak seberapa memperhatikan apa yang beliau sampaiakan berikutnya, yang aku ingat bahwa kami para siswa baru disarankan memakai seragam saat sekolah. Tidak harus hari ini, tapi boleh nanti kapan orang tua kami sempat membelikan seragam di pasar. Selain seragam juga diingatkan untuk membeli buku dan alat tulis yang akan digunakan untuk belajar.

Hampir tengah hari pertemuanpun selesai. Kami semua yang ada di ruanganpun membubarkan diri.

“sampai ketemu besok, jangan kesiangan bangunnya.” Kata bapak guru yang memberikan sambutan tadi saat kami berjabat tangan untuk keluar ruangan.

“Iya, pak.” Jawab bapak, karna melihat aku tak menjawab apa yang disampaikan pak guru.

“kami pamit pak.” Sambung bapak.

“Iya, monggo-monggo.” Sahut pak guru.

Kami keluar ruangan bersama dengan anak-anak dan para orang tua lainnya. Beberapa orang tua menyempatkan diri untuk berbincang sejenak dan kemudian saling berjabat tangan untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Kita pulang pak?.” tanyaku kepada bapak.

“tidak, le. Kita minep dulu di rumah mbah.” jawab bapak.

“Oooo… tak kirain pulang.”

“kan besok kamu sekolah.” Kata emak.

“Emang kita bawa salin, mak?”

“Bawa, kita akan minep beberapa hari di rumah mbah. Kamu kan belum dibelikan seragam sekolah.”

“Iya, hari rabu kan pasaran. Bapak sama emak nanti ke pasar untuk beli seragam dan bukumu.” Sambung bapak.

Sekarang hari senin, artinya masih harus menunggu dua hari untuk mendapatkan buku, seragam, dan peralatan sekolah lainnya.

“Besok, gimana?”

“Besok ke sekolah pake baju biasa saja dulu, bukunya nanti minjem bibik dulu.”

“Sepatunya…?”

“Sepatunya nanti bapak belikan hari rabu, besok pakai sandal saja dulu. Tadi bapak sudah bilang sama pak guru kalau kamu belum dibelikan sepatu.”

Ya… begitulah keadaannya. Semua serba maklum adanya, karena memang kami hidup di kampung yang serba terbatas. Semua kebutuhan sehari-hari sampai peralatan sekolah hanya bisa kami dapat di pasar yang buka satu hari dalam satu minggu pada hari rabu saja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post