Iman Budiman

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MEMBANGUN SEKOLAH YANG LITERAT

MEMBANGUN SEKOLAH YANG LITERAT

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

(Q.S. Al Alaq: 1-5)

Perintah membaca kepada manusia agar menjadi insan yang literat sebenarnya sudah diturunkan oleh Allah SWT 15 abad yang lalu kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat pembawa wahyu, yaitu Malaikat Jibril. Ayat pertama yang diturunkan Allah ke bumi adalah "Iqra'" yang berarti, "Bacalah". Allah menyebutkan kata Iqra' secara berulang kali dalam Surat Al-Alaq tersebut. Satu kata saja dalam Alquran itu pasti mempunyai makna yang sangat mendalam.

Makna Iqra' pertama dalam Surat tersebut adalah how to read, yaitu bagaimana cara kita membaca Alquran dengan baik dan benar, serta dapat mengkhatamkannya. Meskipun tidak tahu artinya, tapi dapat pahala, insyaallah. Kemudian, Iqra' yang kedua adalah how to learn, yang berarti tentang bagaimana mendalami Alquran dengan mengetahui artinya, tafsirnya, bahkan takwilnya. Selanjutnya, iqra' yang ketiga adalah how to understand, yaitu bagaimana kita menghayati kitab Allah tersebut. Jadi yang ketiga ini adalah secara emosional, spiritual. Mungkin bukan hanya dia yang mampu menafsirkan Alquran, tapi Alquran juga mampu menafsirkan dirinya. Makna Iqra' yang keempat atau yang terakhir, yaitu bagaimana memukasyafahkan atau menyingkap tabir-tabir di dalam Alquran. Jadi, Iqra' Alquran itu sudah disempurnakan oleh Iqra' yang keempat tersebut.

Makna membaca yang terdapat pada ayat tersebut sangatlah luas, bukan sekadar dapat membaca Alquran tapi bagaimana manusia menjadi insan yang literat yang mampu menerjemahkan dan menafsirkan hidup dan kehidupannya baik dunia maupun akhiratnya. Manusia harus mampu memahami hakikat penciptaannya sebagai seorang makhluk dan harus sadar dengan tujuan yang harus dicapai dalam kehidupannya.

Jika dikaitkan dengan gerakan literasi sekolah yang saat ini begitu santer banyak dibicarakan di hampir seluruh sekolah di Indonesia, maka keterkaitan dengan ayat tersebut sangatlah erat. Literasi dapat menjadi gerakan yang merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (siswa, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua/wali siswa), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat mempresentasikan keteladanan, dunia usaha, dan lain sebagainya) serta pemangku kepentingan.

Literasi tidak hanya sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini dinamakan literasi informasi.

Menurut Clay, setidaknya ada 6 komponen literasi informasi yang perlu kita ketahui dan pahami jika ingin membangun sekolah literat.

Literasi Dini merupakan kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berliterasi dengan lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi literasi dasar.

Literasi Dasar (Basic Literacy), merupakan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan, mempersiapkan informasi, mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

Literasi Perpustakaan (Library Literacy), di antaranya, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

Literasi Media (Media Literacy), merupakan kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti, media cetak, media elektronik (radio, televisi), media digital (internet), serta memahami tujuan penggunaannya.

Literasi Teknologi (Technology Literacy), merupakan kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.

Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan harus mau dan mampu membangun dan mengembangkan kegiatan literasi. Untuk membangun sekolah yang literat, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tidak cukup dengan mengucapkan “simsalabim”. Perlu niat dan usaha yang kuat, konsistensi, dan kontinuitas.

Gerakan literasi bukan sebatas program. Direncanakan, dilaksanakan, dilaporkan, dan setelah itu hilang tak berbekas. Gerakan literasi harus mampu menumbuhkan minat setiap komponen di sekolah agar mau dan mampu menjadi insan-insan yang literat.

Setidaknya, ada 3 hal yang harus dipersiapkan oleh sebuah sekolah untuk menjadi sekolah yang literat, yaitu: 1) menyediakan sarana dan prasarana khususnya tempat yang nyaman, kondusif, dan representatif untuk melakukan kegiatan literasi; 2) menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa; dan 3) menyusun program pembiasaan dalam rangka meningkatkan minat berliterasi bagi seluruh warga sekolah.

Penyediaan sarana dan prasarana, khususnya yang berhubungan dengan tempat yang nyaman, harus diupayakan oleh sebuah sekolah dalam rangka meningkatkan minat warga sekolah untuk melakukan kegiatan literasi. Tempat baca yang nyaman, tempat diskusi yang kondusif, dan tempat untuk melakukan kegiatan literasi yang representatif harus disiapkan oleh sebuah sekolah.

Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan minat membaca. Jadikan sekolah menjadi tempat yang ramah untuk para siswa, guru, dan semua komponen sekolah untuk melakukan kegiatan literasi. Dengan kondisi yang nyaman, kondusif, dan representatif untuk melaksakan kegiatan literasi, akan berdampak kepada hasil kegiatan literasi tersebut untuk semua warga sekolah yang terlibat.

Yang kedua, sediakan bahan bacaan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan warga sekolah. Setiap warga sekolah memiliki minat dan kebutuhan yang berbeda dalam membaca atau melakukan kegiatan literasi. Sekolah harus mampu memetakan minat dan kebutuhan warga sekolah sehingga tidak terjadi penumpukan bahan bacaan yang sama sekali tidak pernah disentuh oleh warga sekolah.

Penyediaan bahan bacaan yang disesuaikan dengan minat dan kebutuhan warga sekolah akan terasa lebih efektif dan bermanfaat untuk menggelorakan kegiatan literasi di sekolah.

Yang terakhir, menyusun dan melaksanakan program pembiasaan dalam rangka meningkatkan minat berliterasi bagi seluruh warga sekolah. Sekolah harus membuat dan melaksanakan program pembiasaan bagi seluruh warga sekolah untuk melakukan kegiatan literasi. Guru sebagai ujung tombak dalam program ini, harus dapat menjadi teladan bagi siswa dalam melakukan kegiatan literasi.

Hal terpenting yaitu keteladanan kita sebagai guru. Jangan berharap siswa kita memiliki minat yang tinggi dalam membaca, jikalau gurunya saja belum memiliki minat membaca yang tinggi. Jangan harap gerakan literasi akan berhasil, jika gurunya juga tidak suka berliterasi. Jangan harap bisa membangun sekolah yang literat jika warga sekolahnya tidak memiliki keinginan untuk berliterasi.

Sebelum kita menanamkan kegiatan literasi pada siswa, kegiatan berliterasi tersebut harus sudah melekat dalam diri kita. Siswa akan meneladani setiap sikap dan perilaku kita. Keteladanan merupakan cara paling efektif untuk menerapkan minat berliterasi pada siswa. Kita harus menjadi garda terdepan yang menjadi teladan bagi peserta didik.

Wallahu A’lam Bishawab.

*) Penulis adalah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Cipongkor.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi

07 Feb
Balas

Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi

07 Feb
Balas

Terima kasih Pa. Masih harus banyak belajar dari Bapak Salam literasi...

08 Feb
Balas

Terima kasih Pa. Masih harus banyak belajar dari Bapak Salam literasi...

08 Feb
Balas



search

New Post