Saya mendengar anekdot ini sudah lama, jadi alkisah, ada tiga orang yang ingin sekali dikira pandai agama, maka datanglah mereka ke ulama besar. Masing-masing dari mereka bertiga dipersilahkan mengajukan pertanyaan. Orang pertama, kita sebut saja si A, berdehem, lantas bertanya, “Pak Kiyai, di sini shalatnya pakai qunut atau tidak pakai qunut?” Wah, itu pertanyaan bagus, Ulama besar menjawabnya, lantas menjelaskan dua kondisi tersebut yang hanyalah perbedaan biasa. Mengangguk2 mereka bertiga.

Orang kedua, kita sebut saja si B, berdehem, giliran dia bertanya, “Pak Kiyai, di sini shalat tarawih sama witirnya 11 rakaat atau 23 rakaat?” Wah, itu juga pertanyaan yang baik, Ulama itu kembali menjawabnya, menjelaskan dalil2 dua situasi tersebut. Manggut2 mereka bertiga.

Tibalah giliran orang ketiga, si C, tentu dia tidak mau kalah sama si A dan si B, dia kan mau banget disangka pandai agama, maka dia berdehem-dehem, semua orang menoleh padanya, wah, orang ini kayaknya bakal melontarkan pertanyaan hebat sekali, berdehem-dehem lagi dia, “Pak Kiyai, di sini shalat Jum’at-nya hari apa ya?”

Ya ampun!!! Semua orang di tempat itu langsung gigit sandal mendengar pertanyaan si C.

Adik-adik sekalian, hari ini, anekdot ini mendapatkan relevansi yang sangat nyata dan serius. Karena di media sosial hari ini, lihatlah betapa banyak akun2 yang “buas” sekali mengomentari agama, tapi nyata-nyatanya, dia persis si C saja.

Pastikan, itu bukan kita. Dan jika menemukan orang2 ini, jangan dimasukkan ke dalam hati pendapat, tulisan, dan apapun yang dia kemukakan. Dijauhi lebih baik. Sungguh, dalam perkara ini, tidak ada lagi batas maksimal level bebalnya. Dia akan terus bertingkah, dan yang menontonnya, mendukungnya juga tetap akan ada. Itulah realitanya.