Lasem dan Sejarah Perjuangan melawan VOC
Dalam upaya mensukseskan Lasem sebagai kota pusaka, maka harus ditelusuri lebih jauh tentang Lasem secara luas. Beberapa waktu lalu sudah penulis ulas Lasem zaman era kerajaan Pucangsula, era Kekuwuan Lasem, kerajaan Lasem, kadipaten Lasem sampai persebaran agama Islam di Lasem. Kali ini coba penulis kupas, Lasem dan sejarah melawan VOC. Hal ini tidak terlepas dari masa kerajaan Mataram dari mulai Sutawijaya, Mas Jolang, Sultan Agung, Amangkurat I dan Amangkurat II. Beberapa tokoh penting terlibat dalam perlawanan melawan VOC. Mulai Adipati Tejakusuma III (Raden Mas Wigit) beserta saudara Raden Mas Wingit, Adipati Tejakusuma IV, Adipati Tejakusuma V, Raden Mas Panji Margono, adipati Oe Ing Kiat (Tionghoa muslim yang menjadi adipati I) sampai KH. Ali Baidlowi yang dikenal dengan Ki Joyo Tirto.
Adipati Tejakusuma III dikenal dengan nama Raden Mas Wigit diangkat Sultan Agung menjadi Adipati Lasem tahun 1632. Saat Sultan Agung wafat dan digantikan Amangkurat I pada tahun 1645, sikap politik Mataram berubah menjadi kompromi dengan VOC. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksepahaman dengan keluarga istana. Akhirnya Panembahan Rama (Raden Mas Wingit), Pangeran Anom dan Trunojoyo memilih keluar istana dan melakukan perlawanan. Saat Amangkurat I wafat tahun 1677 dan digantikan Pangeran Anom dengan gelar Amangkurat II.
Dahulu Pangeran Anom menentang VOC, karena posisi tawar yang lemah karena perjanjian yang dibuat oleh Amangkurat II. Sehingga, Pangeran Anom harus ikut bertanggungjawab membersihkan perlawanan Trunojoyo. Pada tahun 1679, Trunojoyo bersama mertuanya Panembahan Rama (Raden Mas Wingit) dibantu Adipati Tejakusuma III (Raden Mas Wigit) yang tak lain adiknya Raden Mas Wingit melawan VOC dan Mataram di Lasem. Pada tahun 1680, VOC dan Mataram berhasil mengalahkan milisi Lasem. Sehingga, menyebabkan Adipati Tejakusuma III gugur. Trunojoyo mampu lolos dan menyingkir ke Jawa Timur. Adapun Panembahan Rama tertawan dan dihukum mati. Oleh Amangkurat II, Kadipaten Lasem dikuasakan kepada Ki Hamzah yang bergelar Tumenggung Puspoyudo seorang bangsawan Lasem yang membantu Mataram dan VOC melawan Trunojoyo. Tidak sampai setahun, Ki Hamzah terbunuh di dalam kadipaten karena dianggap pengkhianat. Akhirnya, Amangkurat II berdamai dengan keluarga Tejakusuman dan mengangkat putra Adipati Tejakusuma III bernama Raden Mas Wicaksana menjadi adipati Lasem.
Adipati Tejakusuma IV atau Raden Panji Wicaksana adalah Adipati Lasem pasca perang Trunojoyo di Lasem yang menewaskan ayahnya yaitu Tejakusuma III dan pamannya yaitu Raden Mas Wingit. Keadaan Lasem pasca perang Trunojoyo sangatlah kacau. Terutama sektor politik dan perekonomian. Dari sektor politik adalah terbunuhnya Tumenggung Puspoyudo yaitu Adipati Lasem yang diangkat Mataram sebelum Tejakusuma IV. Oleh sebab itu, Tejakusuma IV bersedia menjadi adipati Lasem dengan syarat VOC tidak boleh ikut campur baik dalam pengangkatan maupun pemerintahannya kelak. VOC tidak boleh mendirikan kantor dagang di Lasem. Adapun pelabuhan Lasem tetap dalam penguasaan Kadipaten Lasem.
Raden Mas Wicaksana atau Tejakusuma IV diawal pemerintahannya mulai membenahi sektor pertanian berupaya meningkatkan hasil pertanian rakyat di pedesaan. Dilanjutkan menata sentra-sentra industri rumahan, perdagangan, pendidikan dan kebudayaan di kawasan kota. Orang-orang pribumi dan Tionghoa saling bahu membahu menata Lasem di bawah komando Adipati Tejakusuma IV. Ditata sesuai dengan kondisi dan kecenderungan produksi masing masing penduduk.
Ada sebuah Kampung kampung yang dijadikan sentra-sentra. Seperti kampung Kumandung dan Kranggan oleh Tejakusuma IV dijadikan sebagai sentra industri kain, batik, menyulam, barang-barang rumah tangga, dan kemasan. Kampung Sumbergirang dijadikan sentra industri pandai besi, peralatan pertanian, dan peralatan rumah tangga. Kampung Ngemplak dijadikan sentra industri kerajinan kayu dan pertukangan. Kampung Pohlandak sebagai sentra produksi gula aren. Kampung Ketandan dijadikan sentra industri pembuatan alat musik seperti gamelan dan wayang krucil. Kampung Demungan sebagai pusat kesenian misalnya menari, karawitan, beksan dan waranggan/sinden. Kampung Semangu sebagai pusat kesusatraan jawa. dan Kampung Purikawak dijadikan sebagai pusat pendidikan agama islam.
Pada masa Adipati Tejakusuma IV, kondisi Lasem yang semula porak poranda. Baik sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan karena perang Trunojoyo berhasil ditata dengan baik. Sehingga Lasem pulih seperti sediakala yaitu Lasem yang damai dan sejahtera. Adipati Tejakusuma IV memerintah Lasem cukup lama sekitar 34 tahun dari masa kesultanan Amangkurat II, Amangkurat III dan Pakubuwono I. Pada tahun 1714M Tejakusuma IV wafat dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Sasongko yang diangkat oleh Pakubuwono I dengan gelar Adipati Tejakusuma V.
Adipati Tejakusuma V mempunyai nama kecil yaitu Raden Panji Sasongko yang mempunyai ayah yaitu Raden Panji. Tejakusuma V diangkat oleh Raja Mataram yaitu Paku Buwono I. Namun sayang Paku Buwono ini adalah seorang Raja yang bekerja sama dengan Belanda atau VOC. Sikap ini tidak sejalan dengan Adipati Tejakusuma V yang bersikap menolak penjajahan negeri asing di Jawa. Adipati Tejakusuma V sangat prihatin. Sebab lama kelamaan Lasem akan berada dibawah tekanan Paku Buwono dan Belanda. Sekalipun tidak terlibat langsung dalam pemberontakan yang terjadi, tetapi Adipati Tejakusuma V menyokong Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Purbaya melawan Amangkurat IV (Pakubuwono II) dan VOC di Jawa Timur.
Pada tahun 1726M, Adipati Tejakusuma V mengundurkan diri sebagai Adipati Lasem. Keturunan dari Adipati Tejakusuma V adalah Raden Panji Margono. Raden Panji Margono tidak berkenan menjadi Adipati Lasem. Sehingga, pada tahun 1727 M Pakubuwono II (Amangkurat IV) mengangkat keturunan Thionghoa muslim bernama Oei Ing Kiat menjadi Adipati Lasem menggantikan Tejakusuma V.
Sebagai putra kandung dari Adipati Tejakusuma V, harusnya menggantikan ayahnya menjadi Adipati Lasem selanjutnya. Karena lebih suka menjadi petani, akhirnya keraton merestui keturunan Tionghoa muslim menjadi adipati Lasem selanjutnya. Raden Panji Margana sendiri telah memiliki hubungan erat dengan orang Tionghoa. Pada 1740 semasa pengungsi Tionghoa Batavia tiba di Lasem. Ia pun turut membaur dan melawan VOC. Ia diangkat sebagai pemimpin dan dibantu para tokoh masyarakat Tionghoa, termasuk Tumenggung Widyadiningrat yang menyatakan memihak kepada para pemberontak melawan VOC.
Makam Adipati Tejokusuma III, IV dan V di Brangkal Desa Jolotundo. Saya berdoa dan mengambil foto di sana yang berada di perkebunan tebu. Adipati Tejakusuma III, IV dan V merupakan keturunan dari Tejakusuma I (mbah Srimpet) putra dari Kusumabadra putra dari Santi Puspa.
Pangeran Santi Puspa inilah yang dahulunya menggantikan Nyi Ageng Maloka. Urutan Adipati dari Kadipaten Lasem adalah:
1. Adipati Lasem I : Pangeran Wirabajra menurunkan Pangeran Wiranegara
2. Adipati Lasem II : Pangeran Wiranegara menurunkan Putri Sholihah (istri R. Fattah/
Sultan I Demak yang menurunkan Raja-raja Islam di Jawa)
3. Adipati Lasem III : Nyi Ageng Maloka istri Pangeran Wiranegara (Putri Sunan Ampel)
4. Adipati Lasem IV : Pangeran Santi Puspa menurunkan Pangeran Kusumabadra
5. Adipati Lasem V : Pangeran Kusumabadra menurunkan Pangeran Santiwira
6. Adipati Lasem VI : Pangeran Santiwira menurunkan Pangeran Tejakusuma I (Kyai
Ageng Punggur Bagus Srimpet).
7. Adipati Lasem VII : Pangeran Tejakusuma I (Kyai Ageng Punggur Bagus Srimpet)
menurunkan Pangeran Tejakusuma II dan seorang putri yang menjadi istri Sayyid Abdurrachman (Mbah Sambu) menurunkan ulama di tanah Jawa salah satunya KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH. Abdul Hamid(Pasuruan). P. Tejakusuma II menurunkan P. Tejakusuma III (Raden Mas Wigit) dan Raden Mas Wingit
8. Adipati Lasem VII : Pangeran Tejakusuma III menurunkan Pangeran Tejakusuma IV
(Raden Mas Wicaksono)
9. Adipati Lasem VIII : Pangeran Tejakusuma IV menurunkan Pangeran Tejakusuma V
(Raden Panji Sasongko)
10. Adipati Lasem IX : Pangeran Tejakusuma V menurunkan putra pertama Raden Panji
Margono (Makamnya di Sambong Desa Dorokandang Lasem
Makam RM. Panji Margono berada di Sambong Dorokandang Lasem. Makam pejuang Lasem sebenarnya layak disebut sebagai pahlawan nasional. Makam R.M. Panji Margono yang terletak ditengah-tengah rumah penduduk dan relatif mudah dijangkau. Raden Mas Panji Margono adalah keturunan ningrat, tetapi ia melepas keningratannya, kemudian membaur kepada rakyat pribumi untuk merasakan penderitaan akibat adanya penjajah Belanda di Lasem. Kemudian beliau memimpin sutau gerakan bersama-sama dengan para laskar lain, ada dari kalangan santri sampai etnis Thionghoa. R.M. Panji Margono adalah pemimpin Laskar Nayasentika yang berjuang mati-matian mengusir penjajah di tanah Lasem. Apa yang sudah diperbuat Raden Mas Panji Margono terhadap tanah airnya layak diikuti oleh generasi muda sekarang.
Untuk menuju makam Raden Mas Panji Margono salah satu pejuang Lasem yang memimpin pasukan bumi putra Lasem atau disebut dengan Laskar Nayasentika untuk mengusir para kompeni-kompeni belanda ditanah Lasem. Menuju ke makam beliau, harus melewati jalan-jalan kecil Desa Dorokandang Lasem yang kondisinya cukup memprihatinkan. Banyak jalan yang berlubang, bahkan ada juga yang tidak beraspal. Dibawah pohon-pohon yang cukup besar dikelilingi rumah-rumah penduduk disitulah Raden Mas Panji Margono bersemayam.
Makam Oe Ing Kyat berbeda dengan R.M. Panji Margono yang terletak ditengah-tengah rumah penduduk dan relatif mudah dijangkau. Akan tetapi berbeda sebaliknya dengan oe ing kyat, makamnya terletak dipuncak gunung bugel, Desa Warugunung Pancur. Penuh perjuangan dari kami para rombongan pegiat sejarah Lasem dan sejumlah pelajar. Jalan terjal dan berbatu mengahadang. Di puncak Gunung Bugel tempat beliau dikebumikan, Oe Ing Kiat beserta laskarnya bermarkas. Mereka memilih tempat ini guna tidak ketahuan Belanda. Selain itu bisa mengawasi datangnya musuh ke arah Lasem. Para pemimpin Lasem banyak yang menyebar kewilayah-wilayah ujung Lasem. Ada yang bermarkas di Dasun dekat pantai, ada yang di timur dan barat. Mereka berjaga di empat arah mata angin. Inilah siasat yang dipakai para pejuang kita dalam perang.
Ketika Adipati Tejakusuma V mengundurkan diri dan putranya Raden Panji Margono tidak berkenan menjadi Adipati Lasem. Akhirnya, tahun 1727 M Pakubuwono II (Amangkurat IV) mengangkat keturunan Thionghoa muslim bernama Oei Ing Kiat menjadi Adipati Lasem menggantikan Tejakusuma V.
Tumenggung Widyadiningrat atau Oe Ing Kiat adalah adipati Lasem yang memimpin pasukan Cina mengusir penjajah Belanda bersama dengan Raden Mas Panji Margono, Kyai Ali Baidlawi atau Mbah Joyo Tirto, Ki Naya Gimbal,Pengeran Surya Kusuma dan para pemimpin lain. Mereka bahu mambahu mengumpulkan para laskar-laskar di alun-alun depan masjid jami Lasem untuk bersiap-siap melakukan peperangan. Sejarah perlawanan rakyat Lasem melawan VOC sudah dimulai sejak jaman Amangkurat IV (1719-1726). Ketika Pengeran Purbaya mengangkat senjata melawan VOC, orang Lasem banyak yang bergabung dengan Sang Pangeran. Saat itu Adipati Lasem dipegang Tejakusuma V.
Beliau kemudian digantikan oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Oi Ing Kiat yang bermarga Oei atau dalam bahasa Mandarin dianggap Huang. Nama Tumenggung Widyadiningrat diberikan oleh Pakubuwono II. Hal itu dikarenakan putra Tejakusuma V yang bernama Raden Panji Margana lebih suka menjadi petani. Maka Keraton Kartasura merestui penunjukkan Tumenggung Widyadiningrat. Tokoh Tionghoa lain di Lasem yang tak kalah penting ialah Tan Ke Wie. Ia ialah seorang pembuat batu bata. Tan Ke Wie selain seorang guru silat yang disegani di Lasem juga dikenal sebagai dermawan. Para pemberontak, baik Tionghoa maupun Bumiputera mengenakan seragam yang sama, yaitu baju Tionghoa dan celana komprang hitam. Tak terkecuali Raden Panji Margana yang selalu mengenakan pakaian tersebut. Hal ini menyulitkan musuh untuk membedakan mana pemberontak Tionghoa dan mana yang bukan.
Pemberontakan Tionghoa-Jawa melawan VOC masih berlanjut masa Amangkurat V. Diawali sejak 6 April 1762, di suatu Wilayah di Pati, Raden Garendi dinobatkan sebagai Raja Mataram degan gelar Amangkurat V atau Sunan Kuning. Saat penobatan, di samping kanan duduk para ulama dan di samping kiri para panglima yang berbusana Tionghoa. Istilah Sunan Kuning berasal dari kata Cun Ling yang berarti bangsawan tertinggi. Sebutan ini diberikan oleh Panglima Tionghoa saat upacara penobatan. Karena tidak bisa mengucapkan kata itu dengan baik, mereka menyebutnya sebagai Sunan Kuning. Tetapi sumber lain mengatakan bahwa beliau memiliki pasukan berkulit kuning, yaitu orang Tionghoa yang membangun perlawanan bersenjata terhadap VOC.
Amangkurat V mengutarakan kemasygulan hatinya atas sikap Pakubuwono II yang tadinya berpihak pada Laskar Tionghoa. Sekarang ganti memusuhi mereka dan memihak VOC. Sebelumnya raja Mataram di Kartasura telah memberi perintah kepada seluruh jajarannya untuk membantu laskar Tionghoa melawan VOC. Tetapi perintah tersebut dicabut dan diganti dengan perintah sebaliknya. Yaitu memihak VOC dan memerangi laskar Tionghoa. Perintah ini karena Pakubuwono marasa pesimis memenangkan peperangan saat berkongsi dengan Laskar Tionghoa.
Para pemberontak mendukung keputusan Amangkurat V. Para pemberontak Lasem sebelumnya disibukkan dengan agresi tentara Madura. Orang Tionghoa sempat bahu membahu dengan pasukan Mataram, melawan VOC dan Madura. Memang, keadaan sempat berbailk, para pemberontak tersebut berperang dengan pasukan Mataran yang dikirim dari Kartasura.
Pada masa Amangkurat V koalisi Tionghoa-Jawa semakin jelas, Lasem berada dalam wilayah kekuasaan pemimpin lokal bernama Singseh yang bernama orisinal Tan Sin Ko. Ia ialah pemimpin lokal orang-orang Tionghoa di sekitar Jepara hingga Lasem. Singseh menjadi sekutu Bupati Grobogan, Martapuro ketika melawan VOC.
Dalam suatu pertempuran, pasukan Singseh dan Martapuro melakukan pencegatan pasukan VOC yang menuju Juwana pada 15 Oktober 1742. Di tengah jalan Pasukan VOC ditemui putera Nahkoda Salam. Pedagang Melayu tersebut mengabarkan bahwa para pemberontak telah mengosongkan Juwana dan mundur ke arah Rembang. Kapten Gerrit Mom segera memasuki kota tersebut. Ia tiba sehari lebih awal dari pasukan Nathanael Steinmetz yang datang melalui bahari.
Singseh berusaha menghadang pasukan VOC yang telah sampai di Rembang. Pasukan VOC tersebut marupakan gabungan dari detaseman Mom, Steinmetz dan Hohendorff. Laskar Tionghoa melawan dengan hebat. Namun karena persenjataan yang lebih lengkap dan jumlah personel yang lebih banyak, pasukan VOC berhasil menceraiberaikan musuh. Sebagian dari mereka bersama para parjurit Jawa lari mundur ke Grobogan untuk menuju Kartasura. Sebagian lagi mundur ke arah Lasem. Diduga mereka berniat ke Pulau Bawean dan merencanakan menuju ke Johor.
Singseh termasuk salah seorang yang mengambil rute ini. Namun saat ia beserta tujuh anak buahnya sedang berusaha naik bahtera di pantai Lasem, patroli pasukan VOC memergokinya. Mereka segera melakukan penyergapan Singseh dan kawan-kawan.Komandan patroli VOC tersebut bernama Bapak Slamat. Ia bekas budak seorang anggota Dewan Hindia yang bernama Jacob Willem Dubbbeldekop. Singseh terbunuh dalam pertempuran tersebut. Kepalanya dipenggal dan oleh Bapak Slamat diserahkan kepada Panglima Operasi Steinmetz. Selain menyerahkan penggalan kepala, Bapak Slamat juga menyertakan jimat Singseh, berupa patung kepala singa terbuat dari emas. Atas jasanya telah menewaskan musuh besar VOC tersebut, Bapak Slamat mendapat hibah. Ia menerima sejumlah uang dan 25 rumah tangga yang terletak di dekat Rembang. Dengan jatuhnya Rembang, maka pesisir utara yang membentang antara Cirebon hingga Lasem, praktis dikuasai VOC. Untuk mempertahankan wilayah yang berhasil direbut, VOC menempatkan sekitar 600 sedadunya di Rembang. Padahal menurut gosip yang diterima, kekalahan pasukan pemberontak di Lasem dan tewasnya Singseh menurunkan semangat prajurit pemberontak.
Mengenai perlawanan pasukan pemberontak Tionghoa lain dari Lasem, ialah perlawanan yang dipimpin Tan Ke Wie. Mereka melancarkan agresi kepada Belanda dari arah Timur. Pasukan Belanda ini sempat kewalahan menunda agresi laskar Tionghoa. Selesai pertempuran Tan Ke Wie menuju Jepara menggunakan bahtera. Namun ketika hingga di Pulau Mandalika, ia dihujani dengan tembakan meriam VOC. Perahunya pecah dan Tan Ke Wie beserta seluruh laskarnya tewas. Untuk memperingati kejadian tersebut didirikan tugu peringatan tanggal 5 November 1742 di tengah tambak Bathuk Mimi, milik Tan Ke Wie.
Solidaritas di akar rumput agak berbeda dengan keadaan di tingkat elit kekuasaan, sebagaimana sikap Pakubuwono II. Meskipun kebanyakan bupati diangkat oleh Keraton Kartasura dan masih mempunyai hubungan keluarga, namun tidak mengklaim mereka rukun. Penyebab perselisihan antara lain karena saling berebut wilayah yang tidak punya batas jelas atau kekhawatiran terhadap kekuatan VOC. Keturunan bupati yang terguling terkadang mengerahkan massa untuk menuntut balas. Hal ini tentu saja dimanfaatkan VOC untuk semakin mengadu domba pihak yang berselisih. Peperangan tidak seimbang, antara pemerintah Belanda yang dibantu oleh adipati Citrasoma dari Tuban-dengan para pemberontak Lasem ini menjadi penyebab kekelahan para pemberontak. Satu per satu tokoh-tokoh pemberontak gugur dan tertangkap. Mantan adipati Lasem tumenggung Oe Ing Kiat, Raden Panji Margana, Kyai Ali Baidlawi dan tokoh-tokoh lain gugur dan tumbang.
Tokoh lain adalah KH Ali Baidowi. Salah satu tokoh santri perang Lasem yang memimpin laskar pesantren. Beliau yang mendirikan pondok pesantren Purikawak. Sekarang berada di Desa Sumbergirang jalan Sumbergirang No.12 Sumurkepel Pandeyan, Sumbergirang Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Pondok tersebut berdiri jauh sebelum masa kemerdekaan ini.
Ki Joyo Tiro (KH. Ali Baidlowi) adalah salah satu sosok kyai yang alim dan dalam sekali penguasaan keilmuannya. Banyak sekali keilmuan agama maupun keilmuan umum yg beliau kuasai. Beliau tidak hanya alim saja, beliau juga bijak dalam memberikan solusi. Salah satu fakta/buktinya adalah sampai sekarang kita bisa rasakan yakni pendapat beliau diperbolehkannya membayar zakat fitrah, dengan makanan pokok sesuai yang dikonsumsi di daerah tersebut. Sebagai mana. Yang telah termasuk dalam beberapa kitab fiqih. Oleh karena itu beliau memperbolehkan zakat fitrah berupa jagung.
Ada kemungkinan pondok tersebut sekarang menjadi pondok pesantren Al Wahdah yang didirikan oleh KH. Baidlowi Abdul Aziz. Salah satu ulama sepuh yang mendirikan organisasi Islam terbesar di tanah air, yakni Nahdlatul Ulama. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari bersama beberapa ulama sepuh zaman itu. Ada 3 ulama sepuh dari Lasem, yaitu KH. Baidlowi Abdul Azis, KH. Ma’shoem Ahmad dan KH. Kholil Masyhuri. Makam ketiganya berada di kompleks masjid Jami’ Lasem. Artinya ketika ziarah di kompleks masjid Jami’ Lasem, dipastikan akan berdoa 3 pendiri NU. Disamping itu, juga ada Adipati Tejakusuma I (Mbah Srimpet), Mbah Sambu atau Sayyid Abdurrachman (yang menurunkan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Hamid Pasuruan dan beberapa ulama khos di tanah Jawa), Ki Joyo Tiro (KH. Ali Baidlowi), KH. Mansyur (ayahanda Gus Qoyyum), KH.A. Thoifur MC dan beberapa Kyai khos lainnya.
Sumber: berbagai referensi online dan buku yang yang mendukung sejarah perjuangan Lasem melawan VOC.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar