Ina IP

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Officially Penyintas Covid 19 (?)

Officially Penyintas Covid 19 (?)

Sejak pasien 01 dan 02 dikonfirmasi Maret tahun lalu, salah satu orang yang paling dikhawatirkan Nam adalah sahabatnya, Ina. Bukan tanpa sebab Nam khawatir begitu, Ina mungkin tidak memiliki komorbid secara teori, tapi Ina mendapat gelar anak seribu pulau tentu dengan alasan. Awal tahun 2020 lalu, saat semua orang tidak bisa menghubunginya dan cemas bukan kepalang tentang keberadaannya, ternyata dia berada di pulau Tomia, sedang keluyuran di Wakatobi, Sulawesi Utara. Seperti biasa pula, setelah dia kembali dari sana, dengan semangat menggelora, Ina membagikan kepada Nam kisahnya terombang ambing di lautan di sebuah kapal kecil tanpa pelampung, padahal dia tidak bisa berenang. Ina, tidak akan bisa menahan dirinya untuk tetap berada di rumah saja, begitu fakta yang akan menjadi permasalahannya.

Benar saja, andai Nam bertaruh milyaran rupiah bahwa Ina tidak akan mungkin mampu bertahan berbulan- bulan hanya diam di rumah saja, Nam pasti sudah menjadi milyuner baru saat ini. Awal November tahun lalu, Nam mendapat konfirmasi bahwa Ina baru saja membeli sebuah "Unlimited Travel Pass" yang dia dapatkan dari sebuah program promo maskapai yang dia sebut sebagai, maskapai kebanggaan anak ransel, MKAR ( Ina biasanya secara sengaja memelesetkan pengucapannya menajdi : MEKAR). Saat Nam memulai sesi "kuliah" via Zoom tentang himbauan menunda perjalanan tidak penting pada masa pandemi, Ina terlihat mematikan kameranya dan berpura- pura jaringan internetnya rusak. Nam tahu, tidak ada gunanya berdebat, Ina akan tetap pergi. Maka dari itu, Nam menyerah dan memilih untuk memastikan apa saja rencana sahabatnya itu dan tindakan apa yang bisa dia lakukan untuk membantu Ina tetap baik- baik saja sampai perjalanannya selesai.

" Sebelas" , ujar Ina santai.

" Hah? Lu gila?, terdengar suara Nam meninggi dan kaget saat dia mengetahui Ina sudah memiliki sebelas penerbangan terkonfirmasi.

" Unlimited Pass harus dipakai jor- jor an, rugi donk gue kalo ga" , Ina mencoba menjelaskan pada Nam.

" Ya ga sebelas juga kali Na, sakit jiwa kali lu" , sembur Nam

" Apa bedanya sih Nam? Satu ama sebelas?" Tanya Ina naif, sungguh membuat Nam kesal.

" Kemana aja sih?" Selidik Nam

" Medan, Lombok, Bali, Yogya, Pontianak, trs gue mau natalan di Belitong" beber Ina sambil cekikikan, khas sekali raut wajah sumringahnya setiap kali membicarakan rencana keluyurannya.

Nam menghela nafas, dia memundurkan sedikit kursinya, menjauh dari layar laptopnya.

" Bentar, gue ambil kopi" Nam berujar

" Gue belum pernah ke Ponti, banyak makanan enak deh Nam"

Ina melanjutkan euforianya, dengan sedikit berteriak, agar suaranya menjangkau Nam yang ada di pantry, sedang membuat kopi.

Nam terlihat berjalan kembali ke kursi di depan laptopnya, sedikit menggeser posisi laptop agar terasa pas kamera menghadap ke wajah dan pipi bulatnya.

" Kapan lu berangkat?" Tanya Nam kali ini.

" Minggu depan, kira- kira sebulan deh, habis natal, gue balik" Jawab Ina

" Gaya lu kaya natalan aja" cibir Nam, sambil meniup kopi di mug nya.

" Rapid test cuma berlaku 14 hari, mesti gw renew deh setiap 14hr"

Ina melanjutkan lagi sukacitanya, meski sebenarnya isi kalimatnya berupa keluhan atas regulasi perjalanan di masa pandemi.

" Ya sapa suruh lu keluyuran di masa kaya gini, syaratnya test, yaudah take it or leave it lah" Nam memulai serangannya

" I'll take it. Setau gue apa yang gue lakukan tidak melanggar hukum, jadi seharusnya gue tidak layak untuk dihakimi" Ina merasa perlu melakukan counter attack.

" Emang ga, tapi, " Nam ragu melanjutkan kalimatnya

" Nam, lo tau banget donk ya, gue mau hidup gue as normal as possible", potong Ina cepat.

" Gue tau" Nam pasrah.

Akhir November 2020 adalah kali terakhir dia mendapat kabar dari Ina, saat itu Ina mengirimkan sebuah foto warung di pinggir jalan raya di dekat pantai Selong Belanak, di Lombok. Foto itu lalu disusul dengan sejumlah foto lainnya dimana Ina selfie di setiap pojok warung. Ina bilang, dia satu- satunya pelanggan warung saat itu, sepi sekali. Karena itu dia bisa leluasa foto di mana saja.

Menjelang libur Nataru 2020, pemerintah mulai mengumumkan kebijakan pengetatan aturan perjalanan lintas kota dan propinsi. Nam langsung mengirimkan pesan whatsapp dan SMS pada Ina saat dia melihat berita tersebut di televisi. Tentu saja, kedua pesannya hanya berstatus : Sent. HP Ina tidak aktif. Nam mulai bertanya- tanya dimana sahabatnya itu berada saat ini. Namun Nam sedikit merasa lega saat HP Ina bahkan tidak aktif, bukankah itu artinya dia masih keluyuran? Mungkin Cov 19 pun bersahabat dengannya, semoga, doa Nam membathin.

Pagi itu Nam lupa menyalakan HP nya, sehingga seluruh pesan masuk bersamaan saat dia menyalakan HP nya di sela- sela makan siangnya, Nam masih seperti 10 bulan lalu, berstatus WFH. Makan siangnya kali ini, masih di depan laptopnya. Sebuah notifikasi pesan dari Ina ada diantara pesan lainnya. Nam langsung menyentuh notifikasi dan mengabaikan pesan lain. Sudah lebih satu bulan sejak dia terakhir mengirimkan pesan pada gadis itu, meski akhirnya Nam mendapat notifikasi : delivered, tidak sekalipun Nam mendapat balasan, walau ini juga hal yang biasa. Ina memang tidak selalu membalas pesan yang masuk, saat orang- orang yang baru mengenalnya protes soal kebiasaannya ini, dengan santai dia akan menjawab kalau dia memang hanya sekedar lupa, that's all.

Nam membuka pesan itu, file gambar, khawatir menyergapnya seketika, saat dia melihat gambar di file pelan- pelan terbuka dan yang pertama Nam kenali adalah logo lab terkemuka berwarna kuning itu. Nam memperbesar gambar di HP nya. Tertera nama lengkap dan data Ina sebagai pemilik hasil tes laboratorium medis itu. Test itu menyatakan dia reaktif Sars Cov2, virus yang sedang merajalela yang lebih dikenal dengan Cov 19.

Nam langsung menekan tombol telepon. Ada sedikit sesal di hatinya mengapa HP nya tidak menyala sejak pagi seperti biasanya. Nada panggil masih saja terdengar, HP Ina aktif tapi belum juga diangkat. Hingga saat nada panggil hampir habis dan Nam baru hendak mengulang panggilannya, terdengar suara di ujung sana :

Ina : " Yow"

Nam : " Lu dimana?"

Ina : " Uhmm coffee shop, lupa gue namanya, deket rumah sih, baru buka"

Nam : " Hah?"

Ina : " Hah?"

Nam : " Lu kan positif, lu gila. Ngapain lu di coffee shop?"

Ina : " Jangan kenceng- kenceng donk, ntar gue dikira positif yang lain, jadi cewek mah ribet lu tau"

Nam : " Gue laporin lu ke polisi"

Ina : " Kenapa?"

Nam : " Lu positif Cov 19 dan lu keluyuran, lu bisa bahayain diri lu dan juga orang lain"

Ina : " Humm, gitu ya?"

Nam : " Buruan pulang atau gue laporin"

Ina : " Lu udah baca baik- baik hasil lab gue?"

Nam menahan diri untuk menjawab, dia mencoba memeriksa lagi gambar yang Ina kirimkan. Tapi tidak ada kesalahan, gambar itu adalah hasil test Ina, tertanggal kemarin dan berstatus reaktif.

Nam : " Udah. Itu hasil test rapid lu dan hasilnya reaktif. Lu baru ambil test itu kemarin. Saran dari lab juga lu harus PCR dan isoman"

Ina : " Apa nilai rujukan gue?"

Nam mengernyitkan alisnya, nilai rujukan? Apa maksud pertanyaan ini? Nam kembali membuka gambar hasil lab itu dan mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan Ina. Ah, dia menemukannya, tapi, non reaktif? Apa pula ini maksudnya?

" Jadi apa nilai rujukannya?" Nam mendengar suara Ina bertanya lebih kencang.

" Non reaktif", balas Nam enggan.

" Jadi maksudnya gimana?" Cecar Ina

" Mana gue tau! Gue bukan dokter" Jawab Nam kesal

" Sama, gue juga bukan dokter, tapi gue bisa memahami hasil lab itu lebih baik dari lo yang cuma liat status tes gue reaktif, satu kata doank, dan langsung panik mau ngelaporin gue dan fitnah gue tebar virus segala. Gue bukan dokter tapi gue penyintas. Gue belajar mencari informasi tentang virus ini. Gue ga berhak buat menyeru atau memberi saran pada masyarakat tentang virus ini, tapi gue berhak menggunakan informasi dan ilmu yang gue dapat untuk menyelamatkan diri gue sendiri. Males gue ngomong sama lu. Gue kirim itu foto hasil lab cuma mau kasi tau lo, gue udah duluan dapat vaksin, "gratis".

Klik, panggilan terputus. Nam tertegun, beberapa detik matanya tak berkedip, Ina marah besar. Nam mencoba memikirkan lagi apa yang baru saja terjadi, buntu. Tidak sedikitpun dia paham. Tapi yang jelas, sahabatnya itu baik- baik saja, dan ini melegakan. Satu hal lagi, Nam sebenarnya tahu bahwa Ina meskipun terkesan sangat tidak perduli pada orang lain, Ina tidak pernah ingin menyusahkan siapapun. Karena itu, saat Nam bilang dia akan melaporkan Ina ke polisi, sebenarnya Nam tidak bersungguh- sungguh. Nam tahu betul, Ina tidak akan seceroboh itu saat dia melibatkan orang banyak, apalagi melakukan tindakan yang bisa mengancam keselamatan orang lain. Hanya saja, mungkin Ina sedang PMS, Nam menenangkan dirinya sendiri.

Satu minggu sudah sejak Nam terakhir berbicara dengan Ina via telepon, yang diakhiri dengan kemarahan besar Ina saat mereka berbincang tentang hasil lab Ina yang reaktif Covid 19. Tepat beberapa jam setelahnya, mereka sebenarnya telah berbaikan, meski ini hanya terminologi yang Nam gunakan sepihak, Ina tidak mengenal hal- hal semacam itu. Dia katakan lalu tidak lama, dia lupakan, begitu itu baru Ina.

Sore ini mereka telah membuat janji untuk Zoom meeting, Nam hendak mendengar cerita Ina tentang petualangannya selama keluyuran sebulan kemarin. Sungguh Nam tidak sabar.

Tentang hasil lab tempo hari, Nam akhirnya tahu kalau Ina mengalami gejala anosmia ( kehilangan kemampuan indera penciuman) di awal tahun. Anosmia adalah salah satu gejala paling lazim untuk penyakit saluran pernafasan, bukan hanya Covid 19, ini yang Ina pelajari dari para dokter yang memberi edukasi. Karena itu dia tidak langsung menyebut dirinya terinfeksi Covid saat itu. Selain anosmia dan sedikit pusing Ina nyaris tidak memiliki keluhan apapun, bahkan sebenarnya dia bisa saja tetap beraktifitas seperti biasa karena merasa sehat- sehat saja.

Namun, menurut Ina dia juga belajar bahwa salah satu tindakan krusial yang harus kita ambil untuk mencegah hal- hal yang tidak diinginkan saat menduga kita terserang penyakit adalah, dengan sesegara mungkin melakukan istirahat total khususnya saat demam mendera. Tidur, bedrest. Atas dasar inilah Ina langsung melakukan isolasi mandiri di rumahnya tanpa sempat melakukan swab di awal dia menduga dirinya terinfeksi. Tujuh belas hari Ina mengisolasi dirinya di rumah, dia tidak mengkonsumsi obat apapun kecuali penurun panas yang dia konsumsi di hari pertama Ina mengalami anosmia dan pusing. Dia juga memutuskan minum obat itu agar bisa tidur lebih banyak. Ina mengkonsumsi vitamin C dan E sebagai suplemen hariannya selama dua minggu penuh. Selain itu dia hanya makan yang dia mau. Sepengetahuan Nam, selama isoman berat badan Ina naik nyaris dua kilogram.

Nam tidak bisa menahan tawa saat dia mengetahui semua cerita isoman Ina itu. Dia bisa membayangkan bagaimana " tersiksa" nya sahabatnya itu karena harus berdiam diri di rumah saja, makan lalu tidur selama tujuh belas hari. Tidak bertemu orang lain, tidak melihat jalanan, di rumah saja, tepatnya hanya di kamarnya saja.

Oh ia, menyoal hasil tes nya, Nam kemudian tahu bahwa itu adalah tes serology yang Ina ambil setelah selesai masa isolasinya. Test itu khusus dapat diambil oleh orang yang ingin mengetahui apakah mereka pernah terinfeksi dan sudah memiliki reaksi imun dalam tubuhnya terhadap virus tertentu. Test yang diambil Ina adalah test yang menyatakan bahwa dugaan dia terkena Cov 19 memang benar adanya dan sekarang ini otomatis Ina sudah "tervaksin" alami. Pantas saja dia murka saat Nam memintanya pulang saat itu, Ina baru saja menyelesaikan masa isolasi tujuh belas hari, mana mungkin Ina sanggup harus diisolasi tujuh belas hari lagi.

Layar laptop Nam menerima panggilan, Ina sudah ada di sisi satunya. Sejenak Nam berpikir, anak itu selalu beruntung, bahkan dalam wabah saat inipun, dia terinfeksi tanpa keluhan berarti, dan dengan demikian saat ini dia berstatus " pemilik vaksin alami".

"Dia memang menyebalkan" , gumam Nam tersenyum sembari mengangkat panggilan Zoom.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren....ditunggu bukunya

27 Jan
Balas



search

New Post