Guru Hebat, Harus Bagaimana?
Hari ke-1
Ketika aku terpilih menjadi guru hebat di tingkat kecamatan, rasa bangga dan bahagia memenuhi rongga dadaku. Kepalaku penuh dengan mimpi dan angan-angan. Rasa percaya diriku tiba-tiba meningkat sepersekian derajat dan ini memengaruhi caraku berjalan. Biasanya sedikit menunduk dengan langkah pelan dan hati-hati, sekarang bisa dengan mantap menatap ke depan, sesekali mendongak, dagu sedikit terangkat. Pun mengubah cara pandangku terhadap orang-orang di sekitarku.
Kadang aku heran, apa karena sekarang aku lebih sering mendongak dengan dagu sedikit terangkat sehingga menyebabkan orang-orang di sekitarku terlihat lebih kecil, bahkan kadang tak tampak. Entahlah! Yang jelas efek menjadi guru hebat sangat luar biasa bagiku.
Teman-teman di sekitarku menaruh kepercayaan penuh padaku. Sehingga membuatku sering ngegas pada setiap rapat, diskusi, atau sharing. Makin membuatku jumawa. Pendapatku seperti sebuah kebenaran yang harus diikuti, karena intelektualitasku sudah teruji. Banyak teori-teori yang kusampaikan kubumbui dengan argumentasi pribadi, agar semua bisa diterima oleh berbagai pihak. Aku sering dipuji karena kepintaranku berbicara. Banyak yang bilang setelah jadi guru hebat di kecamatan cara komunikasi mengalami perubahan yang signifikan.
Di sekolah, aku menjadi orang nomor dua setelah kepala sekolah. Beban pekerjaanku semakin meningkat, karena aku dipandang sebagai orang yang mumpuni dalam segala hal. Bukankah aku telah dinobatkan sebagai guru hebat di kecamatan?
Semua kukerjakan sendiri. Karena aku selalu berpikir, hanya aku yang bisa menuntaskan semuanya. Keren kan? Sehari satu beban tugas, hari berikutnya tambah lagi, berikutnya tambah lagi. Hingga dalam seminggu sudah mirip gunung tertinggi di Indonesia. Tiba-tiba aku merasa menjadi pendaki yang tidak membawa apa-apa selain jaket tipis dan sepatu pantofel yang mulai jebol sol nya. Ternyata aku tidak membawa peralatan yang tepat dalam pendakianku. Aku kedinginan, terengah-engah, sialnya lagi kakiku lecet semua. Oh, Ya Tuhan, aku tidak mau terserang hipotermia. Aku ini guru hebat... mengapa tidak bisa menuntaskan pekerjaan yang dibebankan padaku. Lalu di mana letak kehebatanku?
Aku menjadi tidak bahagia di sekolah, kehebatanku hanya terpampang si selembar piagam. Aku iri melihat teman-temanku yang ‘guru biasa’ tetapi mereka sangat bahagia. Sepertinya tidak ada beban pekerjaan, tidak ada tuntutan ini itu. Sementara aku yang guru hebat, terpuruk dalam kehebatanku.
Diam-diam aku menghitung dan memetakan setiap langkahku. Setiap masalah yang kuhadapi, pasti ada sumber dan akarnya. Itu yang harus dipahami. Tetap mendongak atau sedikit menunduk itu pilihan yang berbanding lurus dengan konsekuensi.
Bekerja bersama dalam tim (Team work), lebih berhasil dan bermaanfaat dari banyak sisi dibandingkan bekerja sendiri dan mengagungkan ego. Telah menumbuhkan kesadaran dan pemahaman baru. Bahwa hebat itu bukan untuk diri sendiri, tapi bisa memberi manfaat bagi orang lain. Hebat itu bisa mengatur dan mengendalikan diri dalam bertindak. Hebat itu, memiliki atitude yang tinggi, menumbuhkan simpati dan empati dalam berbagai konteks sosial. Dan itu sulit dituangkan dalam intrumen penilaian, sebab sangat subjektif. Hanya bisa dilihat dari perilaku yang berkelanjutan. Bukan instan. Please! Kelihatannya berat banget yah....
#TantanganGurusiana
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar