Indah Patmawati

Indah Patmawati, Widyaiswara di P4TK PKn dan IPS. Lahir di Madiun, sebuah kota yang penuh sejarah dan terkenal dengan nasi pecelnya. Alamat di Jalan Parianom B4...

Selengkapnya
Navigasi Web
Reuni

Reuni

Bulan Maret, dadaku tak hanya berdebar untuk tanggal 18 menunggu hujan senja, tapi juga untuk istriku. Tak pernah terbayangkan aku akan berada dalam situasi ini: memusuhi istriku, orang yang sudah hampir 18 tahun menemaniku mengarungi hidup dengan segala dinamikanya.

Genap sebulan kutinggalkan rumah. Kecewa, sedih, marah, dan segala upaya merekayasa untuk sebuah pembenaran diri. Alasannya sungguh absurd: cinta. Aku berkelana dari rumah kakakku yang satu ke rumah kakakku yang lain, dan terakhir ke rumah induk yaitu rumah masa kecilku bersama ibu.

Semuanya akan sempurna andai tidak ada reuni. Sebulan yang lalu aku dihubungi Kamto, sahabatku waktu SPG. Setelah itu, semua jadi berubah. Istriku mulai uring-uringan. Aku yang biasanya tak pernah pegang HP, sekarang ke mana-mana HP selalu nangkring di sakuku. Entah siapa yang mulai, tiba-tiba nomor HPku dimiliki banyak orang. Tiap kali, selalu saja ada yang SMS, telpon, dan mengajak rapat panitia. Aku seperti memiliki semangat baru, karena sudah hampir 25 tahun tak pernah bertemu teman-teman.

Satu orang yang kukejar, aku ingin minta nomor HPnya, aku ingin tahu di mana dia sekarang berada, bagaimana keadaannya. Kutelusuri jejaknya hampir satu minggu, tapi tak kunjung tahu beritanya. Semua teman sekelas dulu juga tidak ada yang tahu. Sampai pada suatu malam, ketika aku sedang begadang di pos kamling, HPku berdering dan Kamto membawa kabar yang paling kutunggu. “Bos, aku dah dapat nomor HPnya. Ternyata orangnya masih di kota ini juga, malah dia ngajar di belakang kantormu.” Tak terkira rasa hatiku saat itu, berbagai rasa berkecamuk di dadaku. Kuhafalkan nomor cantik yang sudah kudapat dari Kamto. Aneh! Tidak membutuhkan waktu lama, aku bisa menghafalnya. Aku jadi tak sabar menunggu esok, aku merasa malam ini begitu panjang dan seolah enggan beranjak dari keresahanku. Lalu, sisa malam kulewatkan dengan melamun.

Aku sedang patah hati ketika itu, kacau dan berantakan. Aku sudah tak punya semangat lagi untuk sekolah. Hampir satu minggu aku bolos. Sampai pada suatu siang Salindri datang ke kos-kosanku. Aku kaget bukan kepalang, mengapa harus cewek itu yang datang. Cewek yang paling kuhindari karena aku selalu merasa kecil di matanya. Aku ingat, tidak banyak yang dikatakan siang itu. “Besok kamu harus masuk!” Itu saja. Tapi entah mengapa, aku menurut saja. Aku mulai masuk sekolah. Kamto terkejut bukan kepalang, kemarin dia sampai berbusa-busa menyuruhku masuk sekolah tetapi tidak mempan. Sekarang, tiba-tiba nongol. ”Bos, siapa yang menyuruhmu ke sekolah?” bisik Kamto ketika aku duduk di sampingnya. Aku tidak menjawab, hanya pandangan mataku mengarah pada cewek yang selalu duduk di depan meja guru itu. “Haa...! Salindri? Dia mau datang menemuimu? Ediaan...!” Aku hanya bisa cengar-cengir aja. Aku sendiri juga heran, mengapa tiba-tiba Salindri datang di hadapanku. Cewek sederhana yang dulu pernah kukagumi karena kebersahajaannya.

Hari-hariku berbalik seratus delapan puluh derajat setelah itu. Salindri yang biasanya hanya memandangku dengan sinar mata seorang ibu, kini menjadi lebih perhatian lagi padaku. Dia memang cewek yang luar biasa, memberi warna baru dalam hidupku.

Aku makin diracuni oleh ilmu yang Salindri miliki. Pola pikirnya yang maju dan wawasannya yang luas mengajarkan aku banyak hal. Aku belajar melihat hidupku dari perspektif yang berbeda. Aku jadi mengerti mengapa teman-teman di kelas begitu baik dan segan padanya. Mengapa baru kali ini aku sadari? Kebersamaan yang indah antara aku dan Salindri membuatku makin akrab dengan teman-teman sekelas juga, padahal dulu ketika aku masih pacaran dengan Marisa, jarang aku bergaul dengan mereka. Paling hanya saat pelajaran dimulai, setelah istirahat aku dah ngilang mencari Marisa. Salindri benar-benar membuat hidupku jadi lebih indah.

Aku juga merasa bangga bisa mengantarnya melakukan aktivitas sampingan, menjadi guru les di beberapa bimbel. Salindri melambungkan anganku pada masa depan yang hendak kugores. Begitu tersanjungnya aku pada cewek satu ini.

Kemarin, aku mencoba menghubungi nomor HPnya. Basa-basi kutanyakan keadaannya. Dan masih saja seperti dulu, dengan retorikanya dia menjawab SMSku. Hatiku serasa es cream rasa vanila, lembut dan manis. Ah... Salindri. Aku trenyuh dan tak kuasa menahan air mataku. Inilah kali pertama aku menangis, setelah 25 tahun lalu. Saat aku harus meninggalkan Salindri tanpa sepatah kata perpisahan.

Tanggal 18 Januari, reuni itu benar-benar terjadi. Sejak pagi aku sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, dan didaulat oleh teman-teman untuk memberikan sambutan. Sungguh menakjubkan, 25 tahun telah mengubah wajah-wajah muda menjadi wajah bapak dan ibu yang mulai keriput. Satu persatu temanku mulai kukenali. Marisa mantan pacarku, sejak tadi dah lengket di sampingku. Senang juga bisa bernostalgia dengan mereka. Tapi, yang kutunggu tak kunjung datang. Jujur saja, aku menunggu Salindri.

Lima menit sebelum acara dimulai, seorang perempuan masuk ruangan. Anggun dan penuh wibawa. Berakrab-akrab dengan semua teman sambil senyum manisnya tak lepas dari ujung bibirnya. Inikah Salindri? Perempuan yang paling aku tunggu. Marahkah dia padaku?

Dengan keberanian seorang laki-laki, aku menghampirinya. “Sal, kaukah itu?” sapaku terbata. “Ya, ini aku Salindri.” jawabnya singkat tanpa nada. Seketika runtuh hatiku. Betapa tak tahu dirinya aku. Dulu ketika aku terpuruk Salindrilah orang yang menyelamatkan aku. Tapi, dengan seenaknya dan tanpa rasa berdosa kutinggal begitu saja. “Salindri, aku ingin menebus setiap waktu yang terlewatkan.” teriakku dalam hati.

Usai reuni, aku masih kontak dengan Salindri. Aku makin terpesona oleh kematangan dirinya, hingga membuatku lupa bahwa aku sudah punya jalan hidup yang berbeda. Meski hanya sebatas ngobrol dan SMS, ternyata menyita seluruh waktuku untuk keluarga. Semua jadi kacau. Liana istriku marah luar biasa, sampai puncaknya terjadi pertengkaran hebat. Aku keluar rumah!

“Sudahlah, Nak. Sekarang kamu kembali ke rumah. Tidak baik membiarkan anak istrimu menderita seperti ini.” nasihat ibuku siang itu, sebelum Liana dan anak-anak datang. Aku hanya terpaku pada lukisan di sudut ruangan. Hanya pada ibuku aku bisa bicara jujur, bahwa aku masih mencintai Salindri. Karena ibu juga pernah merestui hubunganku dengan Salindri.

Sampai Liana datang bersama anak-anak, aku masih dalam pergulatan batin. Melihat Liana yang lebih kurus daripada sebelum kutinggal, hatiku trenyuh. “Maafkan aku mas” bisik Liana pelan. “Besok kita bersilaturahmi ke rumah Mbak Salindri ya? Aku ingin berkenalan dengannya” lanjut Liana sambil memelukku. Seperti cinta yang pernah kupesan, aku tak pernah merasa benar-benar memiliki. Entah itu Liana atau Salindri...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

woww... ditunggu lanjutannya mbak. banyak kisah setelah reuni

27 Mar
Balas

dahsyat. bagus bangeeet

27 Mar
Balas

Ini baru okeeeeee. Pembaca jd bapeeeer

07 Apr
Balas

Ma kasih Mbak Hernawati Kusumaningrum. Maaf masih belajar...hehehe

27 Mar
Balas

Ma kasih Leck Murman.... Yang khusus puisi lum ada ya.....

27 Mar
Balas

Ma kasih Leck Murman. Yang khusus puisi lum ada ya.....

27 Mar
Balas

Kau juga ok mbak meita..... Seperti saat kita belajar dulu ya..

27 Mar
Balas

Hehehe ma kasih bu Isti....senang sekali bisa ikut belajar dg njenengan

07 Apr
Balas

Keren dik

27 Mar
Balas



search

New Post