Bu guru, semula aku berpikir, dengan kecanggihan teknologi aku tak lagi memerlukanmu. Jujur saja kadang aku jengkel, bila penjelasanmu tak seperti yang kuharapkan. Saat itu aku merasa, bahwa aku tak membutuhkanmu.

Sebab semua yang ingin kutahu, cukup kutanya pada Mbah google dan cling semua terjawab, aku puas dengan semua penjelasannya.

Aku merasa cukup pintar bahkan lebih pintar darimu.

Bu Guru,

Dulu, aku lebih suka menguji kemampuan dan kesabaranmu dengan berbagai cara. Kadang aku tertawa sinis, meski itu tak kunampakkan di hadapanmu. Tapi cukuplah bagiku mengukur sejauh mana ilmumu.

Sebab bila dihitung, menurutku kesempatanmu membaca dengan kesempatanku berselancar jauh sekali perbedaannya. Bumi dan langit.

Bu Guru,

Masih banyak sebenarnya yang ingin kuurai tentang kesenjangan kita. Tapi sudahlah. Saat itu aku juga malas mengikuti pelajaran, aku cuek dengan sekitar. Sebab aku punya dunia sendiri yang lebih luas dan tanpa batas.

Bu Guru,

Mungkin Tuhan murka, melihatku yang telah banyak kurang ajar padamu. Teman-teman yang tak jauh beda dariku. Penghormatan dan penghargaan yang mulai luntur.

Sampai datanglah sebuah musibah yang mendunia, sampai semua murid harus belajar sendiri di rumah.

Sehari dua hari aku merasa senang, akan kebebasan ini. Tapi setelah seminggu, aku harus jujur. Bahwa aku merindukanmu.

Aku baru menyadari arti kesabaran dan keikhlasan yang dulu tak pernah kupertimbangkan. Itu ternyata hanya milikmu Bu Guru.

Tanpa bimbingan dan perhatianmu, belajar terasa hambar. Memang kita bisa berkomunikasi lewat WA. Kita belajar lewat online. Tapi sesungguhnya kecanggihan teknologi ternyata tak mampu menggantikanmu.

Bu Guru,

Semoga badai ini segera berlalu. Aku mendoakanmu agar tetap sehat. Dan kelak bertemu lagi.

Sebab, belajar bersamamu jauh lebih asyiiik dibandingkan belajar dengan gadget. Hanya sunyi, sepi, dan hampa.

Aku sayang guruku...

Muridmu

Sal