Indartatik Susilo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Bulan Telah Mati di Jogja
Cerpen

Bulan Telah Mati di Jogja

Tantangan guru menulis 30 hari, menulis hari ke-10

Jogja sesaat setelah di guyur hujan, selalu meninggalkan bekas kenangan. Lewat harum bau tanah yang menyusup diam diam lalu membisikan rindu untuk senantiasa ingin bertemu. Dari balik tirai penginapan dekat Stasiun Lempuyangan, Dinda seorang wanita muda menarik nafas dalam-dalam, sesekali pandangan matanya menyapu pemandangan depan kamar, dilihatnya titik-titik air yang jatuh dari genting lalu terhempas ke tanah hingga berkumpul membentuk genangan kecil. Sekilas kemudian pandangan matanya tertuju pada jam dinding yang sat itu menunjukan pukul 13.00. Dinda memang merasa fisiknya masih belum pulih akibat menempuh perjalanan panjang menggunakan kereta Bengawan. Tepatnya dua jam yang lalu ia baru sampai. Ingin rasanya membenamkan diri di atas Kasur, namun sempitnya waktu menghalanginya untuk bersantai sebab esok pagi buta ia harus melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi dengan Kereta Sri Tanjung. Ya….Jogja adalah tempat transit yang dipilihnya, selain lokasinya yang strategis ada alasan lain yang mendorongnya untuk datang ke Kota ini setelah kurang lebih 18 tahun tak pernah sekalipun datang berkunjung. Ditengah keasyikannya menikmati sisa hujan, tetiba ia dikejutkan suara Telepon berdering rupanya panggilan dari pengemudi taksi online yang sudah tiba di depan penginapan, “ya pak saya segera keluar”, ujarnya. Tanggannya menyambar tas ransel berwarna hitam berukuran sedang yang penuh dengan muatan, yang kemudian di gendongnya dari arah depan. Sisa gerimis tipis diterabas dengan berjalan cepat, tanpa menggunakan payung dan hanya menutupi kepala dengan menggunakan jaket anti air berukuran kecil. Setelah masuk taksi sesaat kemudian pengemudi bertanya, “Alamat tujuan sesuai aplikasi ya mba?”. “Ya pak, selokan mataram arah depan peternakan UGM njih” Dinda menjawab sambal melipat jaket yang baru saja digunakan.

Tak banyak dialog selama dalam perjalanan. Dinda asyik memperhatikan suasana Jogja di siang hari selepas hujan. Kota ini banyak berubah jika dibandingkan 18 tahun yang lalu saat dirinya masih aktif menimba ilmu sebangai mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri di sana. Antrian kendaraan di lampu merah kini kian mengular, sementara romantisme Jogja tempo dulu hampir tak ditemuinya lagi, hanya ada sedikit bangunan yang penampakan fisiknya masih sama selebihnya nyaris tak ada sisa. Perjalanan lempuyangan - selokan mataram hampir menghabiskan 1,5 jam memang sungguh luar biasa. Jogja saat ini tak ubahnya seperti kota metropolitan Jakarta dan Kota-kota besar lainnya di Indonesia yang super sibuk dan dengan beragam aktivitas manusia.

Setelah tiba di alamat yang dituju Dinda segera turun memacu langkah, Bersama para pejalan kaki lainnya dia berusaha mengamankan diri dari serbuan pemotor yang rerata memacu kendaraan dengan sangat cepat. Selepas berjalan kurang lebih 300 meter menyusuri trotoar, bayangannya kemudian menghilang di sebuah gang yang hanya bisa dilalui satu arah oleh kendaraan roda dua. Tiba di alamat yang dituju Dinda mengetuk pintu. Sang pemilik yang sepertinya sudah menunggu menyapanya dengan ramah. “Owalah nduk, kapan kamu datang ke Jogja?” suara seorang perempuan tua menyambut Dinda dari balik Pintu. “Baru 3 jam yang lalu, Budhe", Ujarnya sambil mencium tangan perempuan itu. “Sini masuk, aku pangling lho nduk”, perempuan itu berkata sambal mengelus-ngelus punggungnya. Keberadaan Dinda di rumah itu cukup lama mereka saling bertukar cerita dan melepas rindu. Setelah mengobrol panjang lebar tepat selepas adzan magrib berkumandang, Dinda berpamitan. Tugasnya untuk memberikan barang titipan ibu telah selesai ditunaikan. “Lain kali kalo ke sini nginep ya nduk” Budhe berkata sambal memeluk Dinda. “Insyaallah Budhe, monggo kulo pamit” Dinda menjawab sambal mencium tangan budhenya. Perempuan tua itu mengangguk, sorot matanya terus memperhatikan keponakannya itu hingga bayangannya hilang ditelan gedung-gedung bertingkat yang rerata merupakan kost-kostan eklusif mahasiswa dengan fasilitas setara Hotel Bintang 3.

Dinda asyik menyusuri trotoar jalan selokan mataram, pandangan matanya nyaris menyapu bersih setiap peristiwa yang terhampar didepannya. Dinda sengaja memelankan langkah sampai kemudian ia berbelok memasuki gerbang kampus tempatnya dahulu kuliah. Dinikmatinya sisa cahaya matahari yang meninggalkan jejak warna jingga di langit, yang kemudian berganti peran dengan malam yang datang bersama langit gelap hitam pekat. Suasana Lorong kampus kini benar-benar sangat berbeda, tak ditemuinya lagi rombongan mahasiswa yang mengobrol sambil berjalan kaki sepulang kuliah, apalah lagi pemandangan serupa mahasiswa bersepeda onthel seperti masanya dulu. Gegung-gedung baru menjulang tinggi, dengan suasana semarak khas kota besar. Sudut matanya menangkap puluhan mahasiswa yang duduk di jajaran cafe-café yang terletak di seberang kampus sembari asyik dengan gadgetnya masing-masing. Dinda kemudian menghentikan langkah. Matanya tertuju pada sebuah warung angkringan di seberang jalan, dilihatnya samar-samar sosok yang tak asing lagi meski kini rambutnya memutih, sesaat kemudian dia menghampiri. “Njenegan mas Felix, bukan” ujarnya sambil mendekat. Lelaki itu menjawab sambal terheran “njih mbak, saya felix” sahutnya sambal mengernyitkan dahi. “Lha mbak nya siapa ya, dari mana mau kemana” ujarnya melanjutkan. “Saya Dinda Mas, dulu sering ikut diskusi bersama anak anak pers mahasiswa di warung angkringannya njenengan”, Dinda menjawab sambil duduk di kursi kayu Panjang. “Kok pindah kesini mas, trus kok njenengan pakai jaket ojek online, mau narik atau gimana” ujar Dinda. “Ya mba dulu kan warungnya di seberang situ, terus kan sekarang dipakai Gedung fakultas Ekonomi, jadi pindah kesini”, “Kalo jaket ini memang sekarang saya nyambi narik mba, jualan sekarang sepi, mahasiswa sudah berkurang minatnya makan ditempat kecil begini, mereka lebih senang nongkrong di café yang ada wifi gratis”, ujarnya menjelaskan panjang lebar. “ Sesaat kemudian mereka berdua terlibat obrolan seru, sembari mengobrol dinda kemudian memesan segelas minuman jahe hangat dan mengambil sebungkus nasi kucing ditambah sate telur puyuh di depannya. Dikunyahnya pelan-pelan seolah meresapi kenangan masa lalu yang memanggilnya kembali kemasa 18 tahun silam, dengan rasa khas yang masih sama namun tentu saja dengan suasana berbeda. Saat ini tak ada lagi diskusi hangat tentang acara bedah buku baru atau hanya sekedar dialog ringan membahas deadline penerbitan bulletin kampus. Selesai makan, Dinda kemudian berpamitan, dipacunya langkah kaki menuju ke jalan Gejayan. Suasana kemacetan khas kota besar di saat jam pulang kerja semakin terasa. Bahkan kini untuk sekedar menyeberang jalan di zebra cross saja perlu perjuangan ekstra. Mungkin benar apa yang diceritakan Felix bahwa bulan memang telah mati di Jogja, binar cahayanya kini digantikan gemerlap lampu kota, hingga tak menyisakan sedikitpun sisa cahaya lembut untuk sekedar menerangi malam yang gelap gulita.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Inssya Allah saya se-almamater dengan Dinda di Kampus Karangmalang... hehehe...Semoga sehat terus dan sukses, ya Bu ? Cerpennya yang berlatar Jogja sungguh menarik, Bu. Kenangan saya seperti itu juga kira-kira. Angkringan yang di Gang Guru, dekat Gerbang Rektorat lama atau arah ke Gedung LPMP ada Mas Yuli, Kalau Mas Felix yang dekat perempatan, betul ?

20 Aug
Balas

alhamdulillah bisa bertemu njenengan melalui web gurusiana, njih..angkringan felix dahulu mangkal diantara kampus FIS lama dengan lapangan pancasila. salam takzim kulo pak

20 Aug
Balas



search

New Post