Indartatik Susilo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kampanye
Kampanye

Kampanye

Tantangan Guru Menulis 30 hari, Menulis hari ke-9

Sejak sebelum fajar menyingsing suara kokok ayam di rumah penduduk Desa sambirejo ramai bersahutan, tak lama kemudian terdengar lantunan suara adzan seorang muadzin tua dengan campuran langgam jawa yang khas terdengar menggema sampai ke seluruh pelosok desa. Beberapa saat selepas iqamah, satu persatu penduduk mulai pergi ke sawah atau ladang. Mereka pergi dengan menaiki sepeda kumbang, sebagian lagi terlihat berjalan tanpa alas kaki. Tak lupa mereka memakai caping hingga hampir menutupi sebagian wajah, tangan mereka nampak menenteng wadah rumput yang dibuat dari anyaman bambu berukuran besar. Sudah menjadi tradisi, selepas menggarap lahan para penduduk desa melanjutkan ritual ngarit untuk pakan sapi mereka.

Semetara itu dari ujung desa tampak rumah joglo sangat sederhana berukuran kecil, berdinding anyaman bambu dan masih berlantai tanah, dari arah belakang rumah muncul kepulan asap pembakaran kayu. Mbah Darmi si empu nya rumah sedang memasak air di dapur. Dapur sederhana itu nyaris tidak menyisakan barang berharga berupa perabot mahal atau semacamnya. Mbok Darmi hanya mimiliki satu tungku kayu, penggorengan dan panci kecil yang menghitam di bagian bawahnya. Ada juga dua wadah yang terbuat dari tanah liat yang berfungsi sebagai tempat penampungan air dan beras. Mbok darmi beringsut dari tempat duduknya, tangan nya membuka wadah beras, sesaat kemudian wajahnya terlihat lesu persediaan berasnya habis. Dia tertegun, sesaat kemudian pandangan matanya tertuju pada gambar kaos yang sedang dipakainya, sepasang manusia dengan senyum sumringah dengan angka 2 di tengah. Ingatannya kemudian melayang pada peristiwa lima tahun lalu, ketika rumahnya ramai didatangi orang. Salah satu dari mereka adalah orang yang wajahnya ada di kaos yang sedang dipakai mbok Darmi. Mereka datang dengan membawa satu kantong sembako. Tentu saja Mbok Darmi senang dan mengiyakan saja permintaan foto dari si pemberi bantuan, sambil bersalaman dan memegang kantong sembako, mbok darmi diminta untuk mencoblos gambar si pemberi bingkisan pada pemilihan Bupati dua minggu kemudian. “Mbok jangan lupa pilih nomor 2 njih”, kata lelaki tengah baya dengan tampilan perlente. Laki-laki lainnya berkata sambil mengusap-usap punggung mbok Darmi,“Kalo simbok pilih nomor 2, nanti simbok dapat bantuan rutin setiap bulan, rumah simbok juga kami renovasi, ndak usah kuatir”. Mbok Darmi sumringah, sambil berseloroh, “Terima kasih pak, tapi nganu Nuwun sewu, saya ndak bisa baca tulis pak, saya itu buta huruf”. “simbah ndak usah kuatir nanti cobblos yang tengah ya mbah, cari yang seperti gambar bebek berenang mbah, pokoknya simbok ingat-ingat wajah Bapak calon bupati yang paling ganteng ini” sahut yang lain menimpali disusul gelak tawa sebagian besar hadirin yang datang. Mbok Darmi manggut manggut tanda setuju. Dalam bayangannya hari-hari kedepan akan dilalui dengan suka cita, tak akan ada lagi rasa lapar mendera di saat tubuh tuanya sudah tak mampu lagi bekerja. Tiga Bulan kemudian pak Lurah datang, sambil membawa kabar bahagia bahwa mbok darmi akan menerima bantuan dari pak Bupati yang katanya menang pemilihan. Tapi sayangnya setelah itu tak pernah ada lagi kabar berita. Stiker calon bupati dengan nomor urut 2 juga masih menempel di pintu masuk rumah mbok Darmi dengan warna yang telah pudar, terdapat bacaan “pilih kami, Pro Rakyat Kecil”.

Lamunan mbok darmi terhenti, setelah mendengar suara orang memanggil dari arah depan, rupanya Yu Nineng tetangga terdekat mbok darmi datang membawa makanan berkat kenduren dari kampung di seberang sungai. “Alhamdulillah, terima Kasih nduk”, mbok Darmi berucap. “Sami-sami mbah, aku gak mampir ya mbah, mau terus ke sawah”, Yu nineng menimpali. Mbok Darmi mengangguk. Dibawanya makanan itu ke dalam, sesaat kemudian ia kembali keluar dengan membawa sabit berukuran kecil dengan tubuhnya yang renta ia menuju ke samping rumah untuk mencari ketela pohon dan daun ubi rambat untuk makan siang. Sisa hujan semalam menyisakan harum bau tanah dan bulir-bulir air di ujung daun. Hujan tentu saja akan membuat tanah menjadi gembur sehingga memudahkan usaha mbok darmi menggali ketela. Dengan sekuat tenaga Mbok darmi mengayunkan sabit, “bismillahirahmannirrahim, gusti Allah mboten sare” ucapnya lirih.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post