KANG BAKRI SANTRI DONGKRAK
KANG BAKRI SANTRI DONGKRAK
Oleh Indra Nurdianto
Membekas luka dalam tawa, merasuk sepi dalam kalbu, menjelma bayang dalam semu, itulah perasaan kang Bakri malam ini. Kang Bakri adalah salah satu santri pondok pesantren di Kota Malang yang mempunyai kebiasaan tidur saat diniyah seusai sholat isya’ dan selalu terlambat ketika akan sholat berjama’ah subuh. Tapi di sisi lain, ia memiliki keahlian dalam menuliskan kalam-kalam Illahi menjadi sebuah kaligrafi nan indah dengan berbagai variasi khot. Tak jarang kekhasan tulisan khotnya dipuji para santri, bahkan beberapa ustaz pondok pun ikut andil dalam memuji keindahan khot yang ditulis kang Bakri. Ibarat sebuah mata koin yang memiliki dua sisi, selalu ada kelebihan dibalik kekurangan seseorang.
Bel madrasah seusai sholat isya’ telah berbunyi beberapa puluh menit yang lalu. Malam ini perasaan kang Bakri tak enak hati. Padahal biasanya ia selalu acuh pada apapun dan siapapun. Kini kang Bakri berjalan sangat terburu-buru menuju ndalem Romo Yai Ahmad setelah tertidur pulas di dalam kamarnya menjelang sholat isya’ tadi. Ia memastikan bahwa dirinya terlambat datang lagi untuk ngaji diniyah. Perasaan acuhnya bergejolak berubah sungkan ketika ia mau memasuki ndalem. Ia bergegas membuka pintu ndalem dan duduk di barisan paling belakang sebelah kanan. Seketika itu penglihatan Romo Yai Ahmad tertuju pada santri yang baru saja membuka pintu ndalem. Dalam perasaan beliau berkata, “namanya santri itu berbeda-beda karakter, selalu ada doa kemanfaatn dan keberkahan untuk semua santri yang mengaji.”
Ketika mendapatkan tempat duduk, kang Bakri sebenarnya tak enak hati pada Romo Yai Ahmad karna malam ini beliau lah yang memberikan pengaosan secara langsung padanya dan teman-teman kelasnya. Biasanya beliau berhalangan memberikan pengaosan pada kelas diniyahnya kang Bakri karna harus mengisi pengajian pada jama’ah di luar pesantren. Maklum, Romo Yai Ahmad adalah masyayikh dengan sejuta gudang aktivitas setiap harinya, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Kesemuanya beliau niati untuk beribadah dengan taklim dan dakwah, mencoba memberikan manfaat pada semua orang.
Keterlambatan kang Bakri saat ngaos di ndalem romo yai malam ini jadi pemandangan yang biasa bagi santri kelasnya, tapi tak untuk kang Umar. Kang Umar adalah santri pindahan dari pondok pesantren yang berada di Kota Kediri. Kang Umar baru tiga hari pindah ke Kota Malang untuk nyantri sekaligus kuliah. Dalam hati kang Umar terus bertanya-tanya, hingga tak kuat lagi memendamnya. Meletuplah pertanyaan lirih kang Umar pada kang Zaid, santri yang duduk di sampingnya.
“Kang, sinten naminipun santri ingkang nembe dugi menika?” tanya kang Umar pelan dengan nada penasaran.
“Oh niku, kang Bakri naminipun, nggih ngoten niku tiyange kang, remen dugi akhiron menawi diniyah, nanging sang maestro kaligrafi wonten pesantren niki. Cobi mawon ditingali sekedap malih, piyambake mangke lak langsung tilem lajeng mbatik ten kitab ipun. Maklum Kang, santri jadzab. Hehehehehe.”
“Maksudipun mbatik punapa Kang, kula kok tasih mboten paham?” buru kang Umar.
“Ngiler kang, bahasa aluse wonten mriki niku mbatik, hehehehe. Piyambake kang Bakri sampun melek saking tilem ipun menawi wonten sholawat dongkrak dugi rencang-rencang.”
“Punapa malih niku shalawat dongkrak Kang? Sak pemahaman kula wontenipun ten kumpulan shalawat niku namung shalawat nariyah, munjiyat, fatih, tibbil qulub, nuril anwar, nanging shalawat dongkrak kula kok mboten nate sumerap Kang” hati kang Umar penasaran kembali untuk bertanya lirih pada kang Zaid.
“Sholawat dongkrak niku Allahumma sholi ala sayyidina Muhammad, lajeng lintunipun maringi wangsulan Shollu alaih, namung pengistilahan mawon damel ngakhiri majlis Kang, salah sawijine bentuk saking membudaya agama” jelas kang Zaid pada kang Umar.
“Oh ngoten nggih, nembe mafhum kulo Kang. Matur nuwun.”
Benar dugaan kang Umar atas penjelasan kang Zaid. Kang Bakri pun baru beberapa menit sampai di ndalem Romo Yai Ahmad langsung tertidur pulas. Perasaan tak enak hati kang Bakri di awal kalah dengan lengketnya mata untuk tetap terbuka. Ia pun menikmati suara kalem Romo Yai Ahmad dalam pulasnya tidur sambil kedua tanganya menyangga kedua pipinya. Dari sela-sela mulutnya pun meneteskan liur, sesekali diseka dengan mata tetap terpejam. Tak goyah dengan suara yang ada di sekitar. Nikmat yang dirasakan kang Bakri bisa memejamkan mata di ndalem romo yai sambil mendengarkan pengaosan.
***
Pengaosan di ndalem Romo Yai Ahmad malam itu menyisakan banyak cerita berkesan bagi yang mengalaminya. Baik itu yang dialami kang Bakri, Romo Yai Ahmad sendiri, atau terlebih yang dialami kang Umar sebagai santri baru. Kang Umar menyadari bahwa menjadi bagian dari keluarga pesantren di Kota Malang ini menjadi nikmat tersendiri yang tak bisa digantikan dengan apapun. Banyak pengalaman-pengalaman unik yang belum pernah didapatkan kang Umar ketika nyantri di Kota Kediri. Kang Umar menjadi sangat bersyukur bisa ditakdirkan Allah SWT berada di Kota Malang bersama para santri penerus ilmu yai.
****
SANTRI -DONGKRAK-
Akulah santri sejati..
Mengaji tak kenal henti..
Mengolah jiwa tanpa rasa benci..
Berteladan kuat pada sosok kyai..
Malam hingga pagi, tak ada waktu yang merugi..
Berbekal untaian ridho Sang Illahi..
Bersama-sama, bersuka cita merajut mimpi..
Akulah santri dongkrak..
Tak pelak dalam sorak..
Jiwa semangat bergejolak..
Tatkala shalawat terus bergerak...
Minggu, 18 Agustus 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar