Indriati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Lem Tembak Berakhir pada Jus Pokat dan Kue Coklat

Lem Tembak Berakhir pada Jus Pokat dan Kue Coklat

“Ibu…,Ibu…”, panggil Sifa padaku. “Tadi kakak memasukkan lem tembak ke dalam sendok. Lalu kakak menggigit-gigit lem itu”, aku mendengar cerita si kecil Sifa yang masih berumur 7 tahun. Kakaknya Mefa sedang menyapu ruang tamu. Belum selesai Sifa bercerita, Mefa masuk ke kamar berukuran 3 x 4 tempat aku dan Sifa merebahkan badan.

Ruang kamar ber-Ac ini, terasa sangat bermanfaat dalam cuaca panas ini. Bulan Puasa kali sangat panas. Menjelang sore hari pun terik matahari belum meredup. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 15.45 WIB.

Mefa berdiri di depan pintu dengan wajah marah. Dia memandang adiknya yang duduk disampingku. Melihat pandangan mata Mefa, aku segera duduk bangkit dari rebahanku.

“Mengadu ya? Kakak dengar lho…”, suara sinis Mefa dengan emosi meluap. Dia sangat tidak senang sang adik mengadu pada Ibunya.

“Kok Mefa marah?”, tanyaku. Adikmu itu benar sekali. Tidak bolah menggigit-gigit lem. Nanti puasanya batal”, kataku menasihati anakku yang tertua itu. Wajah Mefa mulai mewek (mau menangis).

“Ibu, selalu membela Sifa…”, kata Mefa tak terima disalahkan di depan adiknya.

Aku jadi bingung, apalagi yang harus ku katakan. Sebenarnya kelakuan Mefa ini bukan yang pertama. Sehari yang lalu aku memergokinya menggigit-gigit plastik. Sepertinya Mefa tidak sadar. Aku menegurnya. Dan dia lansung membuangnya. Tapi kali ini Mefa tak terima. Karena Sifa yang mengadukannya. Mefa melempar gulungan kertas yang ada di tangannya. Adiknya yang duduk di sampingku, segera bersembunyi .

“Sudah jangan berkelahi. Adikmu itu memberi tahu, demi kebaikanmu”, kataku lembut. “Kakak tidak boleh marah pada adik”, jelasku pada Mefa.

Mefa belum juga beranjak. Aku makin bingung dengan tingkah polah anakku yang satu ini. Sebenarnya Mefa sudah cukup besar. Usianya memasuki 10 tahun. Seharusnya dia paham dengan nasihatku. Tapi dasar Mefa, belum bisa dikasih tahu. Bola mata Mefa masih menusuk tajam mencari ke arah adiknya bersembunyi.

Aku sangat ingin segera mendamaikan pertengkaran kedua adik kakak itu. Masak sih, adik dan kakak berkelahi padahal keduanya sedang berpuasa?. Ini kan bulan penuh hikmah. Tapi Mefa keras kepala. Menyalahkannya berarti akan membuatnya menangis. Mendiamkannya, aku takut salah didik.

“Sudahlah, Mefa sayang…, kamu teruskan saja menyapunya ya?”, kataku membujuk, supaya Mefa cepat beranjak. “Kamu kan anak ibu yang paling sabar, paling rajin dan paling solehah”, pujian aku lontarkan. Sayangnya tidak berhasil. Mefa masih bersikukuh dengan sikapnya. Justru sekarang aku yang menjadi tidak sabaran.

“Ayolah Sifa, kita keluar. Tinggalkan saja kakak sendiri”, kataku menggamit tangan Sifa untuk segera beranjak dari kamar. Alhasil, baru saja aku mau berdiri, tangisan Mefapun pecah.

Dari balik punggungku, Sifa yang cerdas mulai berkomentar, “Kalau menangis puasanya batal”. Kata-kata polos Sifa diikuti dengan histeris tangisan Mefa. Merasa tidak terima perlakuan adiknya, Mefa menangis semakin keras. Kesabaranku betul-betul teruji di sore yang panas ini. Hatiku ikut gerah mendengar tangisan Mefa. Apa yang mesti aku lakukan?

“Ada apa ini, kok seperti ada perang dunia?”, Tanya suamiku yang baru saja kembali dari Mesjid. Aku sedikit lega. Dengan suara berbisik aku memberi tahu suamiku apa yang terjadi. Sang ayah mengangguk mengerti. Dia mulai membujuk anak gadisnya.

“Yuk, ikut ayah beli kue coklat yang enaaak sekalii. Untuk kita berdua saja.”, kata sang ayah sambil memandang ke arah Sifa. Sifa bukan anak yang cengeng dan ayahnya tahu hal itu. Tangis Mefa mereda. Dengan sepeda motornya sang ayah membawa Mefa berkeliling hanya sekedar mencari kue kesukaan Mefa. Dan akupun dengan leluasa membawa Sifa menghabiskan waktu didapur. Sifa begitu bersemangat karena aku mengajarinya membuat jus pokat.

Dalam hatiku berkata. Puasa memang penuh cobaan. Puasa mendidik kita menjadi sabar. Beginilah orang yang lapar, masalah sedikit saja bisa menjadi amarah. Sebagai orang tua, kesabaran betul-betul diuji. Berbagai jurus jitu harus disiapkan dalam menghadapi tingkah polah anak-anak yang berusaha menahan lapar dan haus di bulan yang penuh rahmat ini.

Menjelang sirine tanda berbuka, Sifa dan Mefa duduk di meja makan. Di dekat Sifa ada dua gelas jus pokat yang dibuatnya sendiri. Setiap gelas berisi setengah karena belum diberi es.

Aku memegang salah satu gelas jus pokat. “Ini untuk kakak, ya?” tanyaku pada Sifa, sambil mengangkat gelas itu.

“Itu punya Sifa”, kata Sifa. Terpaksa aku meletakkan gelas itu kembali di depan Sifa. Dengan segera Sifa menuangkan jus pokat di gelas yang satu ke gelas yang lainnya. Sehingga gelas yang satunya benar-benar kosong. Aku hanya menggelengkan kepala.

Mefa memonyongkan bibirnya dan menarik piring yang berisi kue coklat kearahnya. Kue yang dibelinya bersama ayah tadi. Sekali lagi aku hanya geleng kepala.

“Masyaallah”, kataku melihat kelakuan kedua putriku.

Alhamdulillah sirine tanda berbuka sudah berbunyi. Mefa mengambil teh es yang sudah kusiapkan. Sifapun mengambil teh es pula.

“Bau sup ibu enak”, kata Sifa. Si kecil mengambil piring nasi dan mengisi dengan nasi panas. Mefa ikut berselera melihat adiknya.

“Mea mau sup jugalah”, katanya. Mereka berdua makan dengan lahap.

Aku sudah selesai berbuka dengan segelas teh hangat dan sebiji kurma.

“Kalau sudah selesai makan, segera ambil wudu dan sholat”, kataku tanpa ada jawaban dari keduanya. Aku meninggalkan keduanya makan dan segera menunaikan sholat Magrib. Sang ayah sudah sedari tadi beranjak pergi sholat Magrib di Mesjid dekat rumah.

Selesai sholat Magrib, ku dengar kedua anakku berpacu wudu. Aku menyelesaikan doaku. Tak beberapa lama kulihat adik kakak sholat berjamaah. Kulipat sajadah dan mukenaku, kemudian melangkah ke meja makan. Diatasnya masih ada segelas penuh jus pokat dan sepiring kue coklat. Nah, loh….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post