Sinu bagian 3 (Sesuatu yang Hilang)
“Ee.., Sinu, sedang apa kamu di sini?” tanya Rao, dia berbicara dalam bahasa sukunya dengan Sinu.Lama mereka bercerita. Nampak tiba-tiba Rao terkejut. Sinu pun pergi dari hadapannya. Rao tidak sabar untuk segera menjumpai ayah dan bicara pada ayah. Sinu dengan bangga mengatakan bahwa dialah yang meyebabkan ketujuh penari tersebut pingsan. AKU telah memantrai mereka, begitu katanya.
“Ayah.., tak ada satupun pancing kita yang mengena”, kata Rao berseru pada ayah memberitahu.
“Ya sudahlah, jawab ayah mengemasi barang barang nya menuju motor yang di sandarkannya di jalan setapak kecil yang cukup jauh dari tempat mereka berdiri. Rao menyusul ayah dan mengikuti langkah-langkah panjang ayah untuk segera sampai di rumah.
Rao sangat tidak sabar menunggu kesempatan berbicara pada ayahnya. Saat duduk di motor, dia mencoba bicara dengan ayahnya.
“Ayah, tadi aku berjumpa dengan Sinu”, kata Rao dengan suara keras.
“Apa”, ayah tidak mendengar kata-kata Rao. Jalanan yang sudah ramai karena hari sudah sangat sore, dan suara bising kendaraan membuat Rao berhenti berbicara pada ayah. Dia tidak bisa bicara dengan ayahnya.
Sesampai di rumah ayah meletakkan barang-barang yang dia bawa ke tempat dia biasa menyusun perkakas berkebunnya.
Sela sudah selesai memasak dan bau harum dari dapur membuat perut Rao lapar.
“Kakak masak apa?”, aku jadi lapar. Kata Rao menyapa kakaknya didapur.
“Kau mandi dulu”, kak Sela menyuruh Rao segera mandi.
Rao benar-benar tidak sabar bisa duduk bercerita dengan ayah. Pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang diceritakan Sinu. Perkataan Sinu bahwa dialah yang meyebabkan ketujuh penari tersebut pingsan benar-benar menjadi tanda tanya di dalam benaknya. Seakan tidak percaya apa yang disampaikan Sinu.
Rao duduk di dekat ayah yang sedang menyalakan rokoknya. Ini saat yang tepat untuk bicara dengan ayah, batinnya.
“Ayah…,” kata Rao, mau memulai ceritanya.
Ayah tidak melihat ke arah Rao, Dia memandang ke arah pintu depan. Disana sudah ada seorang warga talang menyebutkan bahwa seorang warga sudah meninggal. Ayah bergegas mematikan rokoknya. Dan bersiap-siap pergi. Rao menyimpan cerita yang menjadi tanda tanya besar baginya. Malamnya Rao menunggu ayah hingga larut malam. Dan diapun tertidur .
#
Sore pulang sekolah, Hengki berjalan beriringan dengan Selvi, Cantika dan Meli. Rao sudah lebih dahulu sampai ke tempat parkir dan mengendarai motornya.
“Hati-hati, jangan dekat-dekat dengan Rao, nanti kalian diguna-guna,” latanya pada ketiga cewek tersebut.
“Memangnya kamu pernah diguna-gunanya?”, tanya Selvi.
“Aku seperti merasa kakiku lumpuh waktu berkelahi denganya”, kata Hengki bercerita sangat semangat. Dia menceritakan kejadian saat dia berkelahi dengan Rao.
“Bilang aja kamu kalah berkelahi dengan Rao”, kata Selvi tahu bahwa Hengki mengada-ada.
“Aku memukulnya tepat pada dadanya, dia sempoyongan, tapi entah apa yang dibacanya, sehingga aku tak bisa melangkah”, ceritanya.
“Memangnya kamu tidak paham kenapa semua penari Rentak Bulian dari sekolah kita pingsan?”, katanya meyakinkan ketiga cewek tersebut.
“Mereka telah dimantra-mantrai oleh ayah Rao, sehingga mereka tergeletak tak berdaya”, lanjut hengki lagi.
“Ayah Rao kan seorang dukun?” kata Hengki menyebut ayah Rao.
“Jadi sekarang kamu takut dengan Rao, ya?”, kata Selvi. Ketiga cewek tersebut cekikikan mendengar cerita Hengki. Mereka tahu bahwa Hengki adalah pembual ulung. Siapa siswa satu kelasnya yang tidak pernah diperdaya Hengki.
“Aku sudah ditunggu Heru ni”, kata Hengki bergegas pergi dari ketiga cewek tersebut. Sepeninggalan Hengki, Cantika memberhentikan langkah kedua temannya.
“Tunggu dulu, apa benar yang diceritakan Hengki?”, kata Cantika sudah terhasut oleh omongan Hengki.
“Cerita yang mana?” tanya Selvi memperjelas pertanyaan Cantika.
“Ayah Rao seorang dukun, aku jadi ngeri ahh….”, kata Cantika lagi.
Selvi mengajak dua temannya duduk di bawah pohon yang terdapat bangku-bangku panjang terbuat dari semen.
“Gini ya Cantik, aku jelasin”, Selvi memperbaiki cara duduknya.
“Ayah Rao itu seorang kumantan di sukunya. Kumantan itu adalah tempat orang suku Talang Mamak mengadu dan berobat. Karena di suku talang mamak masih menganut Animisme, yaitu percaya pada kekuatan-kekuatan alam, maka mereka harus mengadakan ritual. Ritual itu untuk memanggil kekuatan-kekuatan itu untuk memecahkan masalah mereka, terutama jika ada yang sakit”, jelas Selvi.
Kalau di kitanya ni, kumantan itu ibarat dokter”, kata Selvi menjelaskan pemahamannya pada kedua temannya.
“Oooo…, gitu”, kata Cantika mengerti.
“Tapi kenapa semua penari dari SMA kita bisa pingsan, ya?” tanya Meli yang juga terpengaruh kata-kata Hengki.
“Entahlah, mungkin benar kata Rao” Selvi berhenti sejenak.
“Mereka sudah berpindah alam. Kata ayah ini bisa-bisa saja terjadi jika semua penari menghayati tarian ini, karena tarian ini tarian pengobatan.” Selvi menirukan bicara Rao waktu itu.
Kedua cewek teman Selvi mengangkat bahunya seolah-olah masih belum mengerti.
“Sudahlah, ayo kita pulang”, ajak Selvi. Mereka bertiga berjalan beriringan dan terdengar cekikikan ketiganya. Kelihatan merkea sudah melupakan cerita tadi.
#
Rao menunggu ayah pulang. Dia duduk di ruang tengah. Dia sangat berharap bisa bercerita dengan ayah hari ini. Ayah pergi ke salah seorang rumah warga. Rao tak tahu apa yang di urus ayah. Kak Sela sibuk mengerjakan tugasnya di dalam kamar. Rao memainkan sulingnya. Dia sangat ingin membunyikan sulingnya semahir peniup suling pada pentas tarian tempo hari. Yang meniup suling bukan dari SMa kita, begitu cerita bu Lia saat dia bertanya. Dia adalah seorang guru seni di SMA kota Rengat. Rao sangat ingin suatu waktu bisa belajar darinya.
Terdengar langkah orang menaiki tangga. Rao memandang ke pintu depan. Ayah sudah pulang, batinnya. Ayah melangkah mendekati Rao. Bunyi Derik rumahnya ketika ayah melangkah menandakan orang yang berjalan badannya cukup berat. Ayah duduk di samping Rao, dan meminjam suling Rao. Dia mencoba membunyikannya tapi suara yang keluar dari suling tersebut tidak merdu. Dia tidak mahir membunyikannya, lalu dia tertawa.
“Ayah memang tidak pernah bisa menggunakan suling,” kata ayah.
“Bagaimana sekolahmu?”, tanyanya pada Rao.
Nampaknya perasaan ayah sedang baik. Ini kesempatan bagi Rao untuk bercerita.
“Ayah, dua hari yang lalu saat ayah menyuruhku menengok pancing di kanal, aku berjumpa Sinu”, Rao memulai ceritanya.
“Apa kabarnya sekarang?. Aku jarang berjumpa dengannya”, ayah sepertinya ingin tahu kabar Sinu. Dia anak salah seorang warga yang tinggalnya agak jauh di dalam.
Rao melihat muka ayah dan mulai berkata, “Dia menceritakan padaku, bahwa dia telah memantra-mantrai ketujuh penari sehingga ketujuh penari tersebut pingsan. Katanya dia masuk ke belakang pentas dan memantrai minuman mereka kemarin”, cerita Rao membuat kening ayah berkerut.
“Sebenarnya waktu itu. aku tidak mengerti kenapa mereka pingsan. Aku mengira-ngira saja waktu kau sebut nama Sinu, di telpon waktu itu”, jelas ayah. Cerita ayah membuat Rao bertambah bingung.
“Aku sangat bermohon dalam ritual itu, semoga semuanya kembali sadar”, ayah menerangkan. ”Syukurlah permohonan ayah terkabul”, cerita ayah. Ayah diam beberapa saat, kemudian dia melanjutkan bicaranya.
“Dia anak pintar, sayang dia tidak bersekolah” kata ayah membuat Rao semakin tidak mengerti.
“Apa maksud ayah?” tanya Rao.
“Aku mengenal Sinu dan keluarganya sudah lama. Sinu sangat tidak suka dengan keluarga Lili. Aku juga sudah lama tidak berjumpa dengan Sinu dan keluarganya karena kesibukanku,” ayah diam beberapa saat. “Kenapa dia tidak kau ajak menemuiku?”, tanya ayah pada Rao.
“Aku sudah mengajaknya, nampaknya dia tidak ingin bertemu dengan ayah”, jelas Rao.
“Sebenarnya apa yang diperbuat Sinu?”, Tanya Rao penasaran.
“Aku tidak tahu, tapi mungkin dia telah mencampurkan racun ke dalam minuman para penari”, kata ayah membuat Rao terkejut.
“Ayah tahu, hal itu dari mana?” Rao benar-benar ingin ayah segera menceritakan apa yang dia tahu kepadanya.
“Sinu, anak pintar”, dia mengenal jenis jenis racun yang ada di tumbuhan dan hewan di hutan. Ayah mengenalnya sejak dia kecil”, cerita ayah.
“Jika ketujuh penari tersebut tidak bisa disadarkan, kemungkinan mereka semuanya mati”, kata-kata ayah membuat nyali Rao merasa ciut, takut kembali berjumpa dengan Sinu.
“Jadi apa yang ayah lakukan?”, Rao mulai menyelidik.
“Ayah betul-betul bermohon supaya mereka segera sadar dan bisa meminumkan penawarnya”, jelas ayah.
“Penawar apa yang sudah ayah berikan?” Rao mendesak ayah memberitahunya.
“Itu hanya air yang sudah aku mantrai”, kata ayah mulai mengalihkan pembicaraan ke arah sekolah Rao. Rao tak bisa mendesak ayahnya jika ayah tidak mau. Ayahnya setegar jembatan Trio Indragiri, Rengat. Jembatan yang menghubungkan kota Rengat dengan kampung Besar Seberang.
Kekaguman rao pada ayahnya, membuatnya berjanji untuk rajin belajar dan tidak bermalas-malasan ke sekolah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar