1.3. Rapat-Rapat Penting
“Maksud kalian aku harus mendampingi empat remaja labil berkekuatan sihir penuh, masuk ke hutan terlarang yang dipenuhi makhluk-makhluk yang tidak ada di ensiklopedia sihir. Hutan yang membenci manusia. Dan perlu kuingatkan, kita berlima, kalian berempat, termasuk aku, adalah manusia, oke? Ya. Jadi kalian bilang aku harus melakukan itu semua, dan masih harus kembali mengajar dengan jam kerja normal, di kelas, setelah kita kembali dari hutan?”
Empat wajah dengan ekpresi setekad batu di depannya, mengangguk bersamaan.
“Kalian sungguh harus menanyaiku dulu.” Pak Sabdan mendesah panjang.
“Jadi Bapak tidak mau?”
“TENTU AKU MAU!”
“Yes!” The Outcast berseru berbarengan.
“Ah, Kutu busuk kalian semua.” Pak Sabdan mengumpat, Firapu nyengir. “Jadi kapan kita masuk ke Hutan Pufitarek? Aku sudah tidak sabar mau dimakan monster pertama yang kita temui.”
“Pertama kita harus minta tangan Pak Desa dulu.” Khuma’I menandaskan satu lagi detail yang pak Sabdan baru ketahui.
“Oh.”
“Ya, Monster sekarang tidak terdengar terlalu buruk.” Firapu berujar.
.
“Bah! Tidak mungkin!” Teriak kepala desa setelah menyemburkan air mineral yang tadi mau dia minum.
“Ayolah, Ayah…” Firapu mengemis.
“Kau ini ya. Sudah bikin onar, pakai seret-seret gurumu segala. Bukan orang lain, Pak Sabdan, lagi.”
Seperti keempat kepala lain, milik Pak Sabdan juga tertunduk. Hanya Pak Kepsek Darni dan segelintir manusia lain yang sanggup menghadapi Kepala Desa mata ke mata. Salah satunya ada bersama mereka, anaknya, Firapu.
“Kalau dikasih izin, aku maafkan Ayah memberiku nama ini. Tiga hari.”
“Satu minggu!”
“Deal!”
Hantaman stempel Kepala Desa hampir sekeras degup jantung Ehrgeiz, Khuma’I, Kagiri, dan Pak Sabdan.
.
“Itu tadi perdebatan paling sinting yang pernah kuhadiri.” Ehrgeiz berkomentar, lega.
Kagiri yang sudah sejak kecil menjadi teman main Firapu menggeleng pelan. Ekspresi wajahnya menampakkan teror yang tak bisa tergambarkan kata-kata. Apapun yang pernah dia lihat sebelumnya sepertinya bukan konsumsi semua umur.
“Lupakan. Yang penting sekarang kita dapat ijinnya.” Khuma’I menimpali, meski dia juga masih menyimpan beberapa pertanyaan. Aku maafkan tiga hari? Persyaratan macam apa itu. Tunggu. Apa-apaan ayah anak ini?!
“Jadi kapan kita masuk?” Meski terlihat baik-baik saja, Firapu terlihat kelelahan. Pertemuan dengan ayahnya seperti menguras banyak energi.
“Pak Sabdan, kita ujian tengah semesternya kapan? Persisnya.”
“Dari tanggal 20 september sampai 1 november. 2 November The Wreck.”
“Sekarang senin, 23 Agustus. Berarti 27 hari lagi.” Khuma’I terlihat sedang berpikir. “Ehrgeiz. Coba lihat lagi keterangan soal Hutan Pufitarek di Buku Sejarah Kuno. Kalau tidak salah lebih baik dimasuki malam hari ya?”
Setelah mereka rapat singkat, di rumah Pak Sabdan tadi, mereka memutuskan lebih aman kalau buku itu disimpan Ehrgeiz, (“Ayolah, kawan-kawan? Kalian tidak percaya padaku?” Firapu Protes. “Ya.” Keempat personil lain termasuk Kagiri, menjawab berbarengan dengan muka datar, tak terlihat maksud meremehkan atau menghina sama sekali, seolah hanya mewartakan fakta sederhana. Yang mana menurut Firapu jauh lebih menyakitkan.) “Hrm… Ya. Kau betul. Katanya di malam hari, masyarakat di Hutan Pufitarek justru sedang aktif beraktifitas. Hutan yang terbangun lebih baik daripada hutan yang tertidur. Hutan yang tertidur berarti, hanya makhluk-makhluk tertentu yang terbangun. Makhluk-makhluk yang tidak diizinkan terbangun saat yang lainnya terbangun, atau lebih memilih terbangun, saat yang lainnya tertidur.”
“Makhluk-makhluk yang berbahaya.” Firapu berkomentar.
“Monster pemakan manusia.”
“Betul, Pak Sabdan. Sangat memotivasi.”
“Dua hari lagi bulan purnama puncak. Kita masuk pertama kali disitu. Hanya dua jam, Maksimal. Lalu kita kembali. Ingat, masih harus masuk sekolah besok paginya. Dan Pak Sabdan harus mengajar.”
Keempat kepala lain mengangguk.
“Baiklah. Ada pertanyaan lain?”
“Kapan foto barengnya?”
“Kagiri. Pukul kepala Firapu dengan recorder.”
“Aduh!”
“Apa yang harus kita bawa di malam pertama kita?”
“Satu, pemilihan kata yang berbahaya, Ehrgeiz. Dua, pertanyaan bagus.” Khuma’I menoleh ke Pak Sabdan.
“Oh? Akhirnya saya dibolehkan berpendapat sebagai seorang yang lebih tua juga ya?” Keempat wajah lain menunjukkan ekpresi datar tanpa gelombang, betul-betul tidak peduli atau tersinggung, bahkan terlihat sedikit kecewa. Oh Tuhan, anak-anak ini. “Ehem. Baik. Perbekalan selama dua hari. Percayalah kalian akan membutuhkannya……”
“Tapi seperti yang saya bilang tadi, Pak. Kita cuma disana dua jam, maksimal.”
“…..dan memakai jam Ini.” Pak Sabdan membagikan kepala jam tangan tanpa tali. “Pergerakan waktu di dalam sana mungkin tidak berjalan sesuai aturan atau kecepatan yang waktu disini. Jam ini sudah saya modifikasi dengan sihir supaya menunjukkan pergerakan jam disini, selalu….”
“…supaya kita tidak terlena di dalam.” Khuma’I paham maksud Pak Sabdan.
“Betul.”
“Waw. Terima kasih, Pak. Ini keren.” Firapu langsung mengutak-atik jamnya.
“Sama-sama. Sengaja jam itu tidak saya berikan tali supaya bisa kalian sesuaikan dengan gaya kalian masing-masing. Maaf modelnya mungkin jadul. Kalian tahu, aku bukan orang yang paling update soal fashion.”
“Tidak, Pak. Ini sempurna. Saya betul-betul tidak memikirkan kemungkinan itu.” Khuma’I juga sedang memolak-balik jamnya.
“Ya. Terima Kasih Bapak sudah mau repot-repot membuatkan kami ini.” Ehrgeiz pun begitu.
Kagiri mengangguk-angguk kencang.
Untuk sejenak tidak ada yang berbicara. Keempat remaja itu sedang dengan khusyuk memperhatikan jam tangan masing-masing. Pak Sabdan seolah bisa melihat asap mengepul dari kepala mereka, otak mereka. Mereka sedang memikirkan potensi besar dari benda kecil yang dia bagikan. “Ya. Sama-sama.” Suaranya agak tercekat, tapi semoga para remaja labil ini tidak menyadarinya. Dia terharu.
“Oke,” Firapu akhirnya memasukkan jamnya ke saku, diikuti temannya yang lain.”Kalau tidak ada lagi yang mau didiskusikan sekarang terkait keberangkatan kita nanti, mungkin kita bisa bubar sekarang. Khuma’I?”
“Ya. Banyak yang harus kita siapkan. Tapi aku rasa cukup dulu perbincangan kita.”
Tiga kepala lain mengangguk.
“Baik. The Outcast plus Pak Sabdan, bubar.” Mereka berlima berdiri bersamaan dan saling bertukar senyum licik. Mas Batagor di sudut kantin cuek saja mengipasi satenya.
Untuk sesaat, Pak Sabdan merasa muda kembali. Untuk sekian detik, jam yang terpasang di tangan kirinya, jam dengan kepala yang bermodel serupa dengan yang tadi dia bagikan pada Firapu dan kawan-kawan, terasa lebih berat.
.
#harikeempat
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar