Butir 41. Sedih
Butir 41.
“Jadi ada teknologi seperti itu juga ya?” Pak Sabdan sedang terlibat perbincangan seru di meja yang tak jauh dari keriuhan Kagiri dan kawan-kawan.
“Ya. Barak ini dan barak kelima sudah sering melakukan korespondensi. Jadi kami sudah saling mengadaptasi teknik.” Kata seorang Tehnisi perempuan yang sedang menghadapi obrolan Pak Sabdan.
“Lalu dengan ditambah barak kedua, lengkaplah sudah.”
“Sihir, mesin, dan listrik. Segitiga suci!” Tehnisi perempuan itu tersenyum.
“Kau beruntung sekali bisa tinggal dan kerja disini, Stefa.” Pak Sabdan memandang keliling barak keempat dengan takjub. Setiap sudutnya dipenuhi mekanisme rumit dan pajangan yang juga tak kalah ajaib.
“Sepakat. Aku sekarang beranggapan sama.”
“Sekarang?”
“Ya. Waktu kecil dulu, aku tidak datang kesini dengan suka rela.”
“Waktu kecil dulu?”
“Oh aku belum cerita ya? Aku salah satu dari sedikit penghuni asli barak keempat. Tumbuh dan besar disini. Sebenarnya itu pun tidak memenuhi syarat penduduk asli ya? Tapi karena tidak ada yang dilahirkan disini sebelum aku datang, kurasa itu cukup mendekati.”
“Waw.. Kau dibawa dari mana sebelum kesini?” Tiba-tiba dia terbelalak, seolah mendadak menyadari sesuatu secara terlambat. “Maaf. Maksudku bukan begitu.”
“Hahaha.. Santai saja. Aku bukan orang buangan, tahanan perang atau apapun. Pamanku sudah kerja disini sejak aku kecil. Dan ketika kedua ayah ibuku wafat di perang besar dunia sihir kedua, aku dia bawa kesini.”
“Oh… Begitu. Tetap saja, maaf. Mungkin itu bukan kenangan yang paling ingin kau ingat. Seiring bertambah umurku, kebijakanku malah terus terasa berkurang.”
“Sudahlah. Seperti yang kau katakan tadi. Aku beruntung bisa bekerja disini. Disini sangat menyenangkan! Kau belum melihat apa-apa, Sabdan!”
“Ngomong-ngomong, karena sepertinya kau memang baik-baik saja membicarakan ini, di kelompok kami juga ada seorang anak yang punya sejarah kurang lebih sama denganmu.” Pak Sabdan menoleh ke meja tempat anak-anak muridnya berkumpul.
“Pemain suling itu ya?” Pandangan Stefa sarat makna pada Kagiri yang tidak menyadari dia sedang ditatapi. Ada sesuatu dalam caranya memandang anak itu. Sebuah ikatan batin dan rasa simpati yang tidak bisa dijelaskan.
“Ya.” Tak pernah sebelumnya Pak Sabdan merasa begitu cemburu, dan alangkah anehnya, pada muridnya yang sepertinya tidak mencapai setengah dari seluruh umurnya yang dia jalani dalam kesendirian. “Ngomong-ngomong siapa pamanmu? Mungkin dia seorang ahli yang juga sangat menarik untuk ditempati belajar dan ditemani berbincang, seperti kau. Aku ingin menemuinya sekali-kali.”
“Oh, kau sudah menemuinya sebelum ini, di kunjungan pertama kalian. Sebelum bertemu denganku. Dan ya, dia juga pasti sedang menanti saat pertemuan kembali dengan kalian. Di kantornya.”
“Wah, seorang pejabat ya.” Sabdan berpikir “Tapi kami tidak menemui pejabat siapa-siapa di kedatangan pertama kami selain…….”
“Selain…….?”
“…..waw.”
“Yup, aku memang beruntung kan? Tapi sekarang rasanya aku semakin beruntung” Kali ini pandangan penuh artinya itu dia arahkan pada lawan bicaranya. Yang membalasnya dengan tertunduk salah tingkah.
Namun dia tersenyum. Pak Sabdan tersenyum.
.
75
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hehehe...salah tingkah! Keren, pak Iqbal!
Makasih bu.
Makasih bu.