irfa Miswanti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku Ingin Kau Jujur

Tantangan menulis Ke-113

Rabu, 01 Juli 2020

#Tantangangurusiana

***

"Rusaknya hubungan tidak selalu karena lisan, terkadang diam memunculkan salah paham. Komunikasi terhenti berpotensi melukai." ucap @taris.

"Benarkah seperti itu adanya?" bisikku dalam hati.

Aku kembali teringat akan Mas Fajary ang bekerja di luar kota. Menjalin hubungan jarak jauh membuat kesetiaan benar-benar di uji. Aku dan Mas Fajar telah menjalani hubungan dua tahun lamanya.

Sekali tiga bulan Mas Fajar pulang. Seminggu di rumah kemudian kembali lagi ke luar kota. Semula terasa biasa, tetapi akhir-akhir ini entah kenapa sebabnya, Mas Fajar jarang sekali menghubungiku. Membuat perasaanku gelisah tidak menentu.

"Ayo dong, Mas. Angkat teleponku."kataku sambil bolak-balik di ruang tengah. Berharap ada jawaban dari seberang sama, tetapi tetap saja sama. "Sesibuk itukah kamu, Mas?" tanyaku dalam hati.

Sebulan, dua bulan, dan tiga bulan ku jalani hari-hari tanpa sapaan dari Mas Fajar. Aku berpikir positif saja, mungkin Mas Fajar lagi banyak kerjaan jadi tidak sempat menghubungiku. Sampai akhirnya aku mendengar dari sahabatku, kalau Mas Fajar pulang.

Seperti biasa, aku menunggu kedatangan Mas Fajar di rumahku. Hari ini penungguanku sia-sia. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk kembali meneleponnya. Tetapi tetap saja sama, di rumah pun Mas Fajar tidak menjawab teleponku. Aku memutuskan untuk menemuinya.

"Tok

Tok

Tok

Assalamualaikum."

"Wa alaikum salam, Eh ada, Nak Miranda. Silahkan masuk." Kata Ibu sedikit terkejut dengan kedatanganku.

Tanpa menunggu ibu mempersilahkan untuk kedua kalinya, aku langsung masuk dan duduk di kursi tamu.

"Sebentar, ya Nak. Ibu ke belakang dulu mengambil minum."

Tetapi aku raih tangan Ibu supaya tetap duduk di dekatku. "Nggak usah repot-repot, Bu. Aku hanya kesini menemui Mas Fajar. Akhir-akhir ini aku sulit sekali berkomunikasi dengannya, bahkan sudah tiga bulan Mas Fajar tidak pernah menghubungiku lagi." kataku seadanya.

"Sebentar ya, Nak. Ibu panggil Fajar dulu." kata Ibu sambil berlalu.

Tidak lama kemudian Mas Fajar keluar. Bagaikan terpisah setahun lamanya perasaan rinduku lebih besar dari sebelumnya. Hanya saja perasaan itu aku sembunyikan di kala aku melihat Mas Fajar melihatku tanpa ekspresi, tidak seperti biasanya. Tatapan matanya dingin. Seolah-olah aku bukan siapa-siapa lagi dihidupnya.

"Ada apa denganmu, Mas. Kenapa kamu berubah?" kataku memulai pembicaraan.

"Maafkan aku, dua bulan yang lalu aku telah menikah tanpa sepengetahuanmu."

Bagaikan petir disiang hari ketika Aku mendengar kabar itu. Rasanya tak percaya kalau Mas Fajar tega melakukan semua itu kepadaku. Air mata tak kuasa aku tahan. Hatiku benar-benar hancur lebur berkeping-keping.

"Kenapa kau Setega itu kepadaku, Mas? Apa salahku kepadamu, apa perhatianku tidak cukup selama ini kepadamu?" tanganku tidak berhenti meremas ujung baju , entah kemana aku lampiaskan rasa sakit ini.

"Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!" Kepalaku tiba-tiba sakit, perlahan ku pegang kepala dengan kedua tanganku, semakin lama rasa sakit itu semakin terasa. Mulutku tak berhenti mengatakan kalau Mas Fajar itu jahat. Pandangan mataku nanar, semakin lama pandanganku semakin gelap. Sehingga aku tidak merasakan apa-apa lagi.

Aku terkejut ketika berada di rumah sakit. Aku perhatikan orang yang ada di sekelilingku, ada Ibu Mas Fajar dan Mas Fajar menggenggam tanganku. Tetapi ketika aku menoleh ke samping kanan, ada seorang wanita yang tidak aku kenal.

"Ini siapa, Mas?"

"Dia Anisa, istri Mas."kata Fajar

"Kenalkan Mbak, Aku Anisa. Maafkan aku telah datang diantara kalian." Perasaan bersalah itu terlihat di wajah Anisa.

Adakah yang lebih menyakitkan dari ini semua. Di saat seperti ini kemana lagi akan kulebur semua rasa agar rasa sakitnya bisa berkurang. Andaikan Ibu masih ada, aku ingin menangis dibahunya. Ingin bercerita kepadanya tentang seberapa sakit hati ini menerima kenyataan, yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Ibu Mas Fajar mendekatiku, mengusap kepalaku lembut. Selama ini aku sudah menganggap Ibu Mas Fajar adalah Ibuku juga. Tetapi entah mengapa aku merasa dicurangi . Kenapa tidak satupun yang datang memberitahuku. Ibu dan Mas Fajar sama saja. Andaikan aku diberitahu, mungkin tidak akan sesakit ini.

Air mataku terus saja mengalir tiada henti. Di saat seperti itu dokter datang, disaat sunyi sedang mendominasi ruangan itu. Tiada suara apapun kecuali Isak tangisku.

"Mas Fajar, Mbaknya sudah boleh pulang." kata dokter.

"Terima kasih, Dok."

Aku duduk, tetapi masih sedikit pusing. Berharap pergi dari mereka yang menabur luka di hatiku. Tetapi tanganku di pegang oleh Anisa.

"Mbak, biar aku bantu pegang tangan mbak, ya?" kata Anisa.

"Nggak perlu! Aku bisa sendiri!"kataku ketus.

Aku terus keluar dan melambaikan tangan kepada bapak sopir taxi. Aku pun diantarkan ke rumahku. Terjawab sudah kenapa selama ini Mas Fajar, tidak lagi memperdulikanku. Hanya karena dia sudah memiliki istri.

Bukan diamnya saja yang melukai hatiku tetapi juga perlakuannya. Mungkin kejujuran itu pahit. Tetapi itu jauh lebih baik dari pada di simpan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Diam-diam.... dalam diam. Sadiah...

01 Jul
Balas

Mskadih uninda

01 Jul

Aduuuh....terasaaa deh sakitnya...selamat ya....

01 Jul
Balas

Terima kasih mbak

01 Jul

Keren bun

01 Jul
Balas

Terima kasih bu

01 Jul



search

New Post