Perjalanan Kisah Bunga
Tantangan Menulis Hari Ke- 151
Sabtu, 08 Agustus 2020
#Tantangangurusiana
***
Sambil berlari membawa kain perca, Anisa berlari menuju dapur. Darah di tangan Bunga semakin deras mengalir. Walau di ikat dengan kain sekalipun darah tidak kunjung berhenti.
"Kak Bunga, sudah berapa kali Anisa bilang, kakak jangan pernah ambil pisau dalam peti itu!" kata Anisa kepada kakaknya.
Bunga hanya senyum saja, tidak merasakan sakit sedikitpun. Bunga menjadi aneh dan banyak orang mengatakan kalau Bunga stres semenjak kecelakaan merengut nyawa suami dan tiga orang anaknya.
Bunga berhasil diselamatkan dalam kondisi yang tidak begitu parah, Allah masih sayang sama Bunga.
Hanya saja setelah kecelakaan itu, cara berpikir Bunga berubah. Keluarga sangat sedih melihat kondisinya. Jika tidak dalam pengawasan ada saja yang ingin dilakukannya. Ingin selalu bunuh diri menyusul suami dan anaknya. Kehilangan membuat bunga selalu ingin melukai dirinya sendiri.
"Mak, Anisa jadi sedih melihat kondisi Kak Bunga seperti ini," kata Anisa melihat ke arah bunga yang sedang tertidur pulas di ruang tengah.
"Iya, Anisa. Mak dan Ayah juga merasakan hal yang sama, setiap hari Mak selalu berdoa semoga Bunga bisa sehat seperti sedia kala."
"Ayah rasa, kita bawa Bunga ke tempat Kiyai yang ada di ujung desa. Banyak orang seperti Bunga ini sembuh di sana," kata ayah setengah berbisik, tetapi cukup jelas bagi kami yang ada didekat ayah.
"Maksud ayah tempat Kiyai Zainuddin itu? Apa ayah yakin itu akan berhasil?" kata Mak seperti kurang yakin.
"Kita coba dulu, Mak. Bukankah yang menyehatkan itu kuasanya Allah. Kita sebagai manusia hanya berusaha dan berdoa. Semoga Bunga bisa menerima kalau semua yang terjadi atas dirinya adalah takdir yang harus dijalani," kata Ayah. Mak hanya mengangguk, ikut setuju jika apa yang dikatakan ayah itu benar adanya.
"Anisa setuju, Ayah. Biar nanti selama disana Anisa yang menemani Kak Bunga," kata Anisa.
Pak Kiyai Zainuddin tinggal di asrama. Banyak santri yang menuntut ilmu di pondoknya. Sebenarnya mengelola pondok itu adalah pak Kiyai Abdullah. Tetapi semenjak Pak Kiyai Abdullah meninggal. Pengelolaan pondok diserahkan kepada adiknya, Pak Kiyai Zainuddin. Karena usaha keras dan sungguh-sungguh dan tidak mau mengecewakan pondok pesantren mengalami kemajuan.
Semua sepakat, sebelum Bunga di bawa, Ayah terlebih dahulu mendatangi Pak Kiyai untuk menyampaikan maksudnya. Keinginan ayah itu disambut baik oleh Pak Kiyai.
"Bawalah bunga ke sini. Insya'Allah disini Bunga akan di bimbing oleh para guru yang ada di asrama ini. Saya merasa penyebab Bunga ingin selalu bunuh diri karena tidak bisa terima atas apa yang menimpa dirinya. Hal itu terjadi karena keimanan yang kurang. kata Kiyai.
"Iya, Pak Kiyai. Besok sore kami akan bawa bunga ke sini. Sekarang saya mau pamit dulu," kata ayah dan bersalaman dengan Pak Kiyai.
"Iya, Pak. Tetap doakan yang terbaik untuk Bunga. Semoga nanti di sini Bunga bisa sehat seperti sedia kala." kata Kiyai Zainuddin.
"Aamiin. Terima kasih, Pak Kiyai. Besar harapan saya Bunga bisa sehat, Pak Kiyai," setelah mengucapkan salam ayah pun berlalu.
"Begitulah sejatinya diri, jika tidak ada landasan yang kuat sebagai tempat berpijak untuk menghadapi ujian yang datang. Maka bukan tidak mungkin hal yang di alami Bunga akan terjadi pada diri kita." kata Pak Kiyai kepada istrinya setelah kepergian Ayah Bunga.
Segala persiapan sudah dimasukkan ke dalam tas. Sore ini Anisa akan menemani kakaknya di asrama selama Kak Bunga berada di sana. Rasa sayang Anisa sangat besar, karena Bunga adalah kakak yang baik, saudara satu-satunya yang dimiliki Bunga.
Sebelum kecelakaan itu, rumah besar ini cukup ramai dengan tawa tiga orang keponakannya. Hati wanita yang mana, siap menerima kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya, empat orang sekaligus dalam waktu sekejap. Itu sangat berat. Bahkan lebih berat dari rasa rindu yang dimiliki oleh Dilan.
"Wajar saja, Kak Bunga seperti ini sekarang. Tetapi yang tidak bisa di terima adalah sikapnya yang ingin melukai dirinya sendiri." hati Anisa membathin.
Tiga hari pertama, Kak Bunga masih tetap sama. Meronta, berteriak histeris memanggil nama suami dan anaknya. Dan sampai seminggu, sedikit berubah. Bawaan Kak Bunga sudah mulai tenang. Hanya saja aku lebih sering melihat Kak Bunga menangis ketika sedang duduk seorang diri.
Setiap hari Pak Kiyai menasehati Kak Bunga dan berusaha membimbing Kak Bunga secara perlahan, tetapi pasti. Untuk kembali berada di jalan-Nya. Anisa terharu melihat perubahan kakaknya yang tidak lagi mencoba melukai dirinya. Sosok kakak yang selama ini hilang, telah kembali.
Sebulan sudah Anisa dan Bunga berada di asrama. Bahkan sekarang Anisa di bolehkan oleh Pak Kiyai menjadi guru ngaji untuk anak Iqra. Berkumpul dengan anak-anak seumuran anaknya yang telah meninggal membuat rindunya terobati. Senyuman itu kembali menghiasi bibirnya. Anisa bahagia sekali. Bahagia kalau kakaknya telah bisa keluar dari keterpurukan yang selama ini nyaris saja membuatnya hampir gila.
Bunga sudah dibolehkan pulang. Hal itu membuat Ayah dan Maknya bahagia. Dan perasaan mereka lebih bahagia lagi ketika Bunga memutuskan untuk menjadi guru di pesantren milik Pak Kiyai. Hal itu disambut baik oleh Pak Kiyai karena cocok dengan pendidikan yang di miliki oleh Bunga.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Alhamdulilah bunga sembuh
Alhamdulillah bunda. Terima kasih.
Puji Tuhan, kiranya Bunga bisa pulih. Memang berat penderitaan Bunga. Belum tentu tiap orang bisa menanggungnya. Salam sukses.
Terima kasih bu
Alhamdulillah bunga sembuh, keren bun
Alhamdulillah, Terima kasih bunda.