Irfan Syahrul

Guru Garis Depan Alumni Prodi Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar ...

Selengkapnya
Navigasi Web
IMPIAN MERI YANG KANDAS
Sumber Gambar : Fajar

IMPIAN MERI YANG KANDAS

Masih teringat kala pertama kali saya mengajar di kelas 9. Kembali kuperkenalkan diriku. Kuceritakan riwayat pendidikanku. Kupaparkan segala proses perjuangan yang saya jalani untuk menggapai cita-cita. Kukisahkan perjalanan seorang anak kampung menjemput impian untuk menjadi seorang guru. Ada sukanya dan banyak dukanya. Para siswa menyimak semua yang saya sampaikan. Ada pepatah yang mengatakan tak kenal maka tak sayang . Saya pun meminta para siswa untuk memperkenalkan diri. Kutanyakan cita-cita mereka satu persatu. Bayak dari mereka yang bercita-cita ingin jadi tentara, polisi, bidan,dan guru. Kala itu ada seorang anak bernama Meri. Gadis belia itu bercita-cita ingin menjadi polwan. Kutanyakan alasannya.

“Mengapa kamu ingin menjadi polwan?”

“Pak guru, saya mau menjadi polwan, karena polwan memiliki penampilan yang keren. Selain itu, di kampung belum ada polwan. Saya ingin menjadi polwan pertama di kampung ini”, jawab anak yang memiliki tinggi di atas rata-rata anak lainnya itu.

Setelah semua siswa memaparkan alasan memilih cita-cita, kuberikan sedikit wejangan.

“Apapun cita-cita kalian, kalian harus genggam erat-erat. Jangan pernah kalian lepaskan. Akan ada banyak ujian yang akan kalian hadapi. Tetapi jika kalian mampu bertahan dan berjuang, cita-cita kalian pasti tercapai. Ingat, syaratnya adalah giat belajar dan terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi”.

Tiba saatnya pengumuman kelulusan. Para siswa kelas 9 berkumpul di sekolah. Saat itu seluruh siswa dinyatakan lulus. Semuanya tampak senang. Mereka kemudian menemui guru-guru untuk bersalaman dan berterima kasih. Kami mulai menanyakan perihal sekolah yang akan mereka pilih untuk melanjutkan pendidikannya. Kebanyakan siswa memilih melanjutkan pendidikan di SMA yang letaknya di ibu kota kecamatan. Ada pula beberapa siswa yang berniat melanjutkan pendidikan di kota Namlea dan kota Ambon.

“Dimanapun kalian melanjutkan pendidikan, kami selaku guru sangat bangga pada kalian. Harapan kami, kalian dapat melanjutkan pendidikan. Jangan ada yang menganggur atau bahkan berhenti pada tingkat sekolah menengah pertama saja. Kalian ini masih muda. Peluang kalian untuk berhasil terbuka lebar”.

Beberapa hari telah berlalu. Saya merasa ada hal yang aneh, karena saya tidak pernah bertemu dengan Meri lagi. Rekan-rekannya yang lanjut bersekolah di SMA, sering saya jumpai di perjalanan. Sedangkan dia tidak pernah saya temui sekalipun. (Karena anak-anak tidak memiliki kendaraan, setiap hari mereka berjalan kaki menuju sekolah). Ketika tiba di sekolah, saya mulai menanyakan perihal keberadaan Meri. “Ada yang tahu di mana Meri melanjutkan sekolah?”. Anak-anak terdiam. “Tidak ada yang tahu?”, kembali saya bertanya untuk memastikan. Salah satu siswa akhirnya menjawab, “Pak guru, Meri sudah menikah”. “Loh kok bisa, bukannya dia sudah mendaftar untuk melanjutkan sekolah di SMA kecamatan?” Tayaku kembali. “Ia pak guru, sebenarnya dia sangat ingin bersekolah. Hanya saja dia harus menikah karena adanya urusan keluarga”.

Pertanyaan tidak saya lanjutkan. Kuputuskan untuk mengakhiri dan kembali fokus pada proses pembelajaran.

Saat jam istirahat, saya ke ruang guru. Mulai membahas perihal Meri kepada rekan-rekan guru. Ternyata guru-guru juga baru mengetahui kalau Meri sudah menikah. Kebetulan ada kepala sekolah. Kami pun menanyakan perihal Meri. “Apa betul Meri sudah menikah pak?” “Ia, sudah bberapa hari yang lalu”, jawab kepala sekolah. “Kok bisa pak, bukannya dia sangat bersemangat untuk melanjutkan pendidikan?” kembali saya bertanya, berharap jawaban yang lebih utuh. Sungguh sulit bagi kami menerima kenyataan bahwa anak yang paling pintar di kelasnya itu benar-benar telah menikah.

Kepala sekolah pun membenarkan bahwa Meri harus terpaksa menikah karena ada urusan keluarga. Kepala sekolah menjelaskan bahwa Meri harus menikah untuk menebus mahar. Hal ini dilakukan karena karena kaka dari Meri telah menikahi seorang gadis tanpa memberikan mahar. Sebagai gantinya, Meri harus rela dinikahi oleh saudara laki-laki gadis itu.

“Seperti itulah di sini pak. Semua sudah menjadi aturan adat. Kadang ada juga anak yang baru lahir, karena orang tua tidak mampu membiayai, akhirnya ada orang yang siap membiayai hidupnya dengan jaminan ketika besar nanti anak gadis itu akan dijadikan istri”. Kembali kepala sekolah menjelaskan.

Saya jadi teringat dengan siswa saya yang lainnya. Namanya Rina. Dia duduk di bangku kelas 8. Sudah beberapa hari dia tidak pernah masuk sekolah. Akhirnya bapaknya datang menghadap kepada saya. “Pak guru, minta tolong saya dibantu. Tolong buatkan surat pindah buat anak saya“, ucapnya dengan penuh harap. Ada apa pak, kok minta pindah? Sekolah ini kan cukup bagus. Selain itu, juga tidak jauh dari rumah bapak”. “Ia pak, hanya saja ini demi kebaikan anak saya”, jawabnya kembali. “Bapak sudah bertemu kepala sekolah?” “Sudah pak, saya diminta menghadap bapak untuk dibuatkan surat keterangan pindah”. “Sebenarnya apa yang terjadi sehingga bapak bersikukuh untuk memindahkan Rina dari sekolah ini? “Begini pak, anak saya ini sering diganggu oleh pamannya. Pamannya sering datang dan meminta anak saya untuk menikah dengannya”. Jawabnya dengan muka tertunduk. Saya pun tidak melanjutkan pertanyaan. Hal ini sangat pribadi buat mereka. “Ambil suratnya besok saja ya pak, nanti malam baru saya buatkan”. ”Kalau bisa nanti malam pak, soalnya besok pagi sekali, saya diminta untuk membawanya ke sekolah yang baru”, pinta bapak Rina. “Kalau begitu, nanti malam bapak datang saja ke mess. Nanti bapak ambil surat keterangan pindahnya”. ( Hanya bisa malam hari karena listrik hanya tersedia di malam hari).

Malam harinya, kedua orang tua Rina datang ke mess menggunakan sepeda motor. “Selamat malam pak guru”, sapa kedua orang tua Rina. “Selamat malam”, jawabku dengan senyum. Saya masuk ke dalam mess, mengambil surat keterangan yang baru saja saya cetak. “ Ini suratnya pak. Surat ini nantinya bapak bawa ke kepala sekolah terlebih dahulu untuk ditandatangani. Setelah itu bisa bapak bawa ke sekolah tujuan”. “Semoga Rina bisa bersekolah dengan aman di sana. Tolong diperhatikan pendidikan Rina ya pak!” ucapku menutup pembicaraan malam itu. “Ia pak, terima kasih”, ucap kedua orang tua Rina. Selanjutnya kedua orang tua Rina pun pamit dan menuju rumah kepala sekolah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Bang...

18:19
Balas

Siip

22 May



search

New Post