Irfan Syahrul

Guru Garis Depan Alumni Prodi Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar ...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENAPAKI JEJAK MASA LAMPAU MENUJU DANAU RANA

MENAPAKI JEJAK MASA LAMPAU MENUJU DANAU RANA

Sang surya telah muncul dari balik bukit, perlahan mengusik gelap dan mengantinya menjadi terang. Ada yang istimewa pada hari minggu kali ini. Hari ini, saya meyempatkan waktu untuk berkunjung ke kebun siswa. Sebelumnya, kami sudah sepakat untuk berangkat jam 8 pagi. Saya mulai mempersiapkan bekal. Sebetol air dan beberapa cemilan telah saya masukkan ke dalam tas. “Pak irfan, jadi berangkat kah?” ,tanya Pak Hasan. “Jadi pak”, jawabku sambil berjalan keluar halaman .

Dengan mengendarai motor, saya dan Pak Hasan melaju menuju sekolah. Tiba di sekolah, Pak Hasan langsung memarkirkan motornya di halaman sekolah. Tak berselang lama, Randi dan Filimon datang menjemput kami. Kami pun berangkat menuju Waraman dengan berjalan kaki, karena akses ke sana tidak bisa dilalui kendaraan bermotor. Meskipun letaknya sangat jauh dari desa Wasbaka, saya sangat bersemangat menuju ke sana. Karena menurut cerita beberapa siswa, pemandangan alam di sana sangat indah, ditambah saat musim durian seperti sekarang ini. Waraman termasuk daerah perkebunan warga yang banyak ditanami pohon durian.

Dalam perjalanan, kami bertemu dengan beberapa warga yang juga hendak menuju kebunnya.

“Pak guru mau kemana?” , tanya salah satu warga. “Mau ke kebun Rendi pak, di Waraman”, jawabku. “Jauh eee, pak guru kuat naik gunung kah?” , tanya dia kembali. “Semoga bisa pak”, jawabku sambil tersenyum.

Selama dalam perjalan, kami disuguhi pemandangan kebun-kebun milik warga. Mulai dari perkebunan kelapa, perkebunan cengkeh, dan perkebunan coklat. Semakin jauh kami melangkah, suasana juga semakin sunyi. Hanya terdengar suara burung-burung yang bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Setelah melewati beberapa anak sungai, mulai terdengar suara gemuruh air. “Pak guru, sebentar lagi kita menyebrang sungai”, ucap Rendi sambil menghalau alang-alang yang menghalagi langkah kami. Kami pun berjalan di tepi sungi dengan hati-hati. Kondisi batuan sungai yang licin kadang membuat langkah kami terhenti. Tampak di depan kami, sebatang pohon besar melintang di atas sungai. Seakan sudah menanti kehadiran kami. Pohon inilah yang dipakai warga untuk menyebrangi sungai menuju kebunnya di Waraman.

Setelah meniti pohon kayu, tibalah kami di kaki bukit Waraman. Bukit ini berdiri kokoh dan menjulang tinggi. Kebun Rendi yang letaknya di atas bukit Waraman, mengharuskan kami mendaki bukit ini. Lereng bukit yang terjal sangat menguras tenaga. Beberapa kali saya dan Pak Hasan harus singgah beristirahat, sekadar mengambil napas yang agak panjang. Randi dan Filimon tampak menertawai kami yang terlihat ngos-ngosan. “Ayo, semangat pak guru, sebentar lagi kita sampai di kebun”, ucap Rendi dengan tersenyum. Kami pun melanjutkan perjalanan sambil menikmati pemandangan sekitar. Tampak pohon coklat dan pohon cengkeh tumbuh subur di lereng-lereng bukit.

Akhirnya setelah perjuangan yang melelahkan selama dua jam, tibalah kami di kebun Rendi. Tampak tanaman kasbi (singkong) tumbuh subur di antara pohon-pohon durian yang menjulang tinggi. Terlihat juga rumah kebun yang dipakai warga untuk beristirahat atau menginap di kebunnya.

Ada banyak siswa yang saya temui di sekitaran kebun Rendi. Mereka juga tengah berjaga menanti durian jatuh dari pohonnya. Hari libur seperti ini mereka gunakan untuk jaga durian. Saya mendatangi mereka dan mengingatkan untuk hadir besok pagi di sekolah. Jangan sampai mereka kembali menginap di kebun.

“Pak Irfan dan Pak Hasan ke sini”, Randi memangil kami. Kami pun menuju ke arah Rendi. Tampak tumpukan durian sudah menanti kami. Kami pun membelah beberapa buah durian dan menyantapnya.

“Kasi habis pak guru eee”, ucap Rendi sambil membelah durian. Saya dan Pak Hasan hanya bisa tersenyum. Tidak mungkin kami bisa menghabiskan durian sebanyak itu. Setelah menyantap beberapa durian saya berkeliling dan melihat beberap pohon durian. Tampak ada yang aneh di salah satu pohon durian. Buahnya sudah banyak yang jatuh tapi tidak ada yang mengambil, bahkan tampak dibiarkan busuk begitu saja. “Rendi, kenapa buah pohon durian ini tidak diambil”, tanyaku sambil menunjuk salah satu pohon durian. “Itu ada sasi pak guru” jawabnya. Sasi merupakan suatu tradisi untuk tidak mengambil hasil (buah) pada tanaman tertentu. Jika suatu tanaman sudah diberi tanda sasi, maka tidak seorang pun yang bisa mengambil hasilnya. Barang siapa yang melanggar, maka akan mendapatkan kemalangan.

Suara durian jatuh silih berganti, baik di kebun Rendi maupun di kebun warga lainnya yang letaknya tidak jauh dari kebun Randi. Suara anak-anak yang berlarian menambah semarak suasana bukit, berlomba menemukan durian yang baru saja jatuh.

Konon banyaknya durian di bukit ini, karena menjadi tempat untuk beristirahat orang zaman dahulu ketika menuju danau rana. Biji durian yang mereka makan dia sebar begitu saja, dan akhirnya tumbuh dengan sendirinya.

Tidak jauh dari kebun Rendi, terdapat mata air yang keluar dari celah batu. Mata air itu dipasangi bambu oleh warga sehingga membentuk pancuran air. Airnya yang bersih dan sejuk mengalir dengan deras, membentuk aliran sungai yang menuruni bukit Waraman. Kami pun menyempatkan singgah untuk minum dan membasuh muka. Airnya sangat sejuk dan menyegarkan. Meredakan rasa panas di badan kami, yang baru saja menyantap durian.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Kami pun bersiap untuk turun. Saya meminta Rendi dan Filimon membawa beberapa buah durian untuk dibawa pulang. Perjalanan menuruni bukit juga bukan tanpa kendala. Sering kali saya harus berpegangan di batang pohon coklat, untuk menahan laju langkah kaki saya yang sulit dikendalikan.

Setelah tiba di tepi sungai, kami membuka bekal dan beristirahat. Tampak warga lain singgah untuk beristirahat. Wahalan (alat pikul) yang berisi puluhan durian dia letakkan di tepi sungai. Setelah mandi mereka pun melanjutkan perjalanan.

Waktu istirahat ini, juga saya sempatkan untuk mandi di sungai. Badan yang terasa panas setelah perjalanan yang panjang kembali terasa nyaman dan segar. Air sungai dari balik pegunungan sungguh jernih dan sejuk, membuat saya betah berlama-lama menikmatinya.

Setelah puas bermain air, kami pun pulang menuju desa adat Wasbaka. Perjalan panjang pun kembali dimulai hingga akhirnya kami tiba di sekolah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren menewen

17 May
Balas

ayo main ke Buru Pak Guru :)

17 May



search

New Post