Irlidiya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Melangkah dengan Basmalah

Tepat di bulan Juli 1995 kuputuskan untuk menerima Surat Keputusan Gubernur sebagai pegawai pelayan masyarakat. Dengan tekad bulat menggenggam kertas bermap biru tertanggal 1 Mei 1995 itu setelah melewati masa berkomtemplasi. Di samping itu mempertimbangkan desakan salah seorang temanku, Fahmawati (sekarang menjabat senagai Kepala SD Tanggul Patompo Makassar) yang terus membujukku untuk melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik. Beberapa bulan sudah SK itu tersimpan rapi di ruang Kepegawaian kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Sejak menyelesaikan kuliah pada program pencetak pelanjut Oemar Bakri Diploma Dua saya menyibukkan diri pada organisasi Hijau Hitam. Tenggelam dengan berbagai kesibukan pada kegiatan-kegiatan pencarian jati diri. Bergerilya menghadiri kajian-kajian di berbagai lembaga dakwah, sehingga tidak ada ruang di hati untuk menjadi seorang pegawai kala itu. “Coba aja dulu Lid! Nanti kalau tidak cocok boleh mengundurkan diri” yang penting ambil dulu SK nya, saran temanku kelas itu setiap kali saya bertemu dengannya.

Pikiran melayang pada orang tua di desa. Mengingat semua pengorbanannya menyekolahkan tiga orang anaknya dengan segala keterbatasan biaya. Bayangan kedua orang tua berkelebat bermain di pelupuk mata. Sang pejuang keluarga sering menghabiskan malam untuk meyelesaikan lipatan yang kain yang bertumpuk di lemari jahitannya. Vibrasi mesin jahit terus menggetarkan papan rumah kayu dengan hanya bermodal segelas kopi pahit. Kadang disertai sepiring pisang atau ubi goreng. Iramanya bagai musik yang memecah kesunyian malam. Belum lagi sosok sang malaikat tak bersayap dengan sekuat tenaga menceburkan dirinya bermandi keringat memanen hasil bumi. Berangkat pagi dan pulang di sore hari, tidak mengenal terik ataupun hujan.

Rasa perih menusuk hati mengingat perjuangan keduanya, membuat air mata menganak sungai di pipi. “Ahhh! Akan kubahagiakan mereka dengan profesi sebagai seorang guru”. Akan kucoba untuk melangkahkan kaki ke dunia yang akan mencerahkan generasi. Idealisme yang selama ini kupegang akan kupertahankan, meski mungkin berat. Salah satunya bagaimana menjaga “khittah” yang selama ini kupahami. “Ya Allah bantu hambamu ini” desahku sambil menerima lembaran SK yang kertasnya sangat tipis. Tulisannya agar kabur karena tinta pada pita mesin ketik yang digunakan sudah mengering. Tak henti-hentinya kutatap tulisan pada tiga lembar kertas tipis yang agak buram itu. Bersama seorang temanku yang berdomisili di Maros yang juga teman kuliah, Rahmaniar yang bertugas di SD Pannambungan Kecamatan Bontoa Maros).

“Bismillahirrahmairrahim, bismillahi tawakkaltu alallahi lahaula wal quwata illabillahil aliyyil adzim” dengan hati yang mantap melangkahkan kaki menuju tempat tugas sebagaimana yang tertera pada kertas sakti itu. Tertulis SD No. 8 Parasangan Beru Desa Pajukukang Kecamatan Maros Utara Kabupaten Maros. Tempat yang sama sekali asing bagiku. Letaknya hampir berbatasan dengan laut Kabupaten Pangkep. Dengan menumpang mobil angkutan umum (baca “Pete-Pete”) dan hanya akan berangkat jika tempat duduk semua terisi. Lokasinya sekira kurang lebih 10 km ke arah utara kota Maros. Sepanjang perjalanan menikmati pemandangan di kanan kiri jalan. Hamparan sawah dengan tanaman padi yang mulai menguning memanjakan mata. Setelah itu pemandangan berganti, sejauh mata memandang terlihat tambak yang di pingirnya ada tumpukan karung. Setelah hampir satu jam berkendara, akhirnya tiba di sekolah yang dituju. Bersyukur lokasinya berada di jalan poros. Melihat bangunan sekolahnya sepertinya peserta didiknya banyak. Di saat berada ke gerbang pintu masuk mata tertumbuk pada dua papan sekolah. Keduanya memiliki nama yang sama, hanya berbeda pada nomor sekolah. Satunya tertulis negeri, satunya lagi tertulis inpres. Rupanya ada dua sekolah dalam satu lokasi. Itu artinya ada dua orang kepala sekolah di tempat itu.

Tidak sulit menemui sang kepala sekolah, sebab di sekolah itu tidak banyak personilnya. Sedikit kaget mendengar penjelasan dan pengalaman pak Bahar Hanafi, kepala sekolah di SD Negeri No. 8 Parasangan Beru. Sosok pribadi yang ramah dan humoris bertubuh tinggi dan langsing. Dari beberapa bangunan di tempat itu, hanya ada dua bangunan milik SDN No. 8, yang satu kantor kepala sekolah, dan satunya ruang kelas Lima yang digabung dengan kelas Enam. Ruangan lainya ada dua lagi tapi di lokasi yang berbeda, untuk kelas satu sampai kelas Empat. Jaraknya sekitar 500 meter ke arah belakang. Di sekolah itu hanya ada dua orang guru PNS dengan jumlah peserta didik lebih dari 200 orang tersebar pada 6 kelas. Kedua orang guru tersebut selain guru kelas, juga bertugas sebagai guru bidang studi Agama dan guru Penjaskes. Wow...sebuah pengabdian luar biasa!

Berbincang tentang kebiasaan masyarakat di sekitar dan diajak berkeliling mengamati setiap sudut bangunan di area itu. Salah satu yang menjadi fokus perhatianku adalah bangunan berukuran 2x4 meter persegi. Bangunan kotak itu merupakan perumahan sekolah. Cukuplah untuk saya tempati dengan status masih sendiri kala itu. di tempat itu hanya mengandalkan air hujan untuk keperluan sehari-hari. Selebihnya harus menunggu mobil tangki yang menjual keliling kampung yang didatangkan dari sungai Bantimurung. Ada sumur masyarakat untuk mandi dan tidak layak untuk diminum karena rasanya seidikt asin. Beberapa informasi yang kudapatkan membuatku harus belajar menyesuaikan diri.

bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post