Jagung vs Limbah
Jagung VS Limbah
Oleh : Masta Iriani Br Ginting,M.Pd.
( Pengawas SMK Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara )
Sore hari Desember 1994 saya sebagai guru kejuruan melangkahkan kaki di lahan praktek Sekolah Menengah Teknologi Pertanian Pematang Raya( sekarang namanya SMK Negeri 1 Pematang Raya) yang ditanami jagung seluas 4000 m2dari luas lahan keseluruhannya ± 45 ha dan memiliki ruangan praktek tempat alat dan bahan serta tempat hasil pertanian namanya bengkel Agronomi
Ketika saya berjalan ke lahan praktek dan melihat tanaman jagung sudah menguning dan ingin dipanen, saya tertegun dan, berpikir siapakah yang memanen jagung ini?, karena liburan semesters ganjil sudah dekat, biasanya siswalah yang memanen hasil tanaman, tetapi siswa sudah libur dan akan pulang ke kampung masing-masing.
Dimanakah akan saya cari tenaga kerja yang akan memanen jagung ini?, perasaan gelisah menghantui pikiran dan perasaan saya, kalau menunggu masuk sekolah di minggu kedua januari 1995 jagung mulai membusuk karena pada saat itu musim hujan. Kegelisahan saya terobati dengan adanya 4 orang siswa yang berasal dari Pulau Nias tidak pulang ke daerahnya.
Saya memanggil keempat siswa tersebut dan menayakan kesediaannya untuk memanen jagung tersebut, dengan raut wajah yang sedikit kecewa atau kurang semangat mereka mengatakan bersedia, tapi saya sebagai guru mereka tahu keinginan mereka. “Ibu akan memberikan uang jerih payah kelian” kata saya dengan sedikit senyum, mereka pun pergi dengan wajah gembira karena merasa mendapat tambahan uang jajan.
Keesokan harinya kami memulai panen jagung termasuk saya sebagai guru penaggung jawab mata pelajaran proteksi tanaman pangan dan hortikultura, ketika melihat keempat siswa itu bekerja saya merasa senang karena mereka begitu cepat dan cekatan, wah pasti mereka sering bertani kata hati saya, tetapi setelah saya bertanya kepada mereka hanya dua diantara mereka yang anak petani dua lainnya anak pegawai negeri di Gunung Sitoli. “Kenapa kamu kok begitu cepat bekerja ?”kata Saya kepada mereka “yah kerja keras bu supaya bisa cepat selesai” kami mau jalan-jalan kata salah satu dari mereka.
Berbicara mengenai kerja keras saya mengingat pendapat dari Thomas Alva Edison yaitu Kerja keras adalah sesuatu yang tidak ada penggantinya (There is no substitute for hard work). Jadi kesuksesan seseorangpun harus memilih kerja keras untuk mendapatkannya.
Sekolah kejuruan yang menghasilkan tenaga kerja yang dapat bersaing Di DU/DI harus memiliki salah satu karakter yaitu kerja keras yang membuat siswa tegar menghadapi era globalisasi.
Perhitungan saya satu hari sudah selesai, melihat cara kerja keempat siswa, tetapi keinginan saya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada tepat pukul 15.00 WIB hujan turun sangat lebat. Wah sebagian jagung yang sudah di panen kena hujan karena belum sempat diangkat ke ruangan Bengkel Agronomi basahlah sudah sebagian buah jagung yang dipanen, oleh karena terburu-buru antara buah jagung yang kering dan basah bercampur, kloplah sudah semua jagung menjadi basah.
Keesokan harinya kami meneruskan memanen jagung yang belum selesai hingga tengah hari, dan ketika kami ingin mengumpulkan jagung yang sudah dipanen tiba-tiba “tik, tik, tik” suara hujan mulai turun. Saya menatap langit yang belum begitu gelap sambil menarik napas, ah hujan akan turun lagi kata saya dengan perlahan.
“Ayo cepat” hujan akan turun ke empat siswa dengan sigap mengumpul semua tongkol jagung dan mengangkatnya ke tempat pengumpulan. Sayapun dengan perlahan-lahan ikut mengumpulkannya.
Saya melangkah menuju bengkel dan melihat tumpukan tongkol jagung yang kuning dan ketika saya pegang “basah” kata saya dan melihat sekitar ruangan apakah bisa diserakkan agar kering dan tidak berjamur.
Cuaca tidak berpihak pada saya karena hujan terus turun dan keesokan harinya saya melihat cuaca sedikit cerah, saya berharap agar bisa menjemur tongkol jagung di terik matahari dan masih bisa dibantu oleh keempat siswa tersebut. Kenyataan dengan harapan tidak sesuai lagi, awan gelap mulai menyelimuti langit.
Ketika salah seorang dari siswa mengatakan “bu kami besok Tidak bisa membantu karena kami mau pergi” yah bagaimana ini ? siapa yang membantu ibu?. Dengan sedikit kecewa saya katakan “ya ngga apa-apa nanti saya cari yang membantu ibu” Dalam hati saya mengatakan inilah susahnya kalau lagi libur panen.
Pikiran saya kacau, kalau saya tinggal sayang sekali kata hati saya karena hasil kerja siswa dan lumayan tongkolnya besar-besar. tetapi yang jadi masalah adalah “siapa yang akan menjemur?”, saya teringat rumah sewaan saya yang memiliki garasi yang luas, jika jagung ini saya bawa ke rumah dan ditaruh di garasi tidak perlu diangkat-angkat untuk menjemurnya.
Saya menghampiri seorang siswa dan menyuruhnya untuk memesan mobil truk milik sekolah guna mengangkat jagung ke rumah saya. Siswa tersebut berlari-lari menyeberangi kolam ikan yang ada di sekitar areal sekolah. Dalam waktu satu jam sudah kembali bersama truk sekolah, saya menarik napas lega.
Setelah tongkol jagung berada di garasi rumah, sayapun mulai repot menggeser-gesernya, bukan saya saja, suami dan anak saya yang berumur 5 tahun pun ikut-ikutan.
Dikarenakan matahari enggan menampakkan dirinya saya berusaha memipil jagung dengan mesin, biar lebih mudah untuk menjemurnya. Setelah selesai dipipil, matahari tak kunjung memanasi bumi, yah apa boleh buat tetap tempat biji jagung di garasi untuk di jemur.
Ketika saya mau menjual biji jagung tersebut pembeli enggan membelinya dikarenakan belum kering betul, rentan untuk di serang jamur, siapakah yang mau beli?,kata hati saya, lalu bertanya-tanya kepada pemilik peternakan, kedai yang menjual makanan ternak, dan rata-rata mereka menjawab masih banyak. Saat itu tidak seperti sekarang ini, yang serba on line, jika kita memasarkan sesuatu cukup dengan mempublikasikan melalui akun media sosial.
Akhirnya saya menjumpai ketua jurusan peternakan yang berada satu atap dengan jurusan Agronomi, dan menawarkan hasil panen jagung yang kelihatannya sudah mulai berjamur karena kurang kering. Mereka setuju tapi “dana belum ada” kata mereka, yah bagaimana ini? di jual tapi uangnya tak ada, “sama saja dengan menolak”.kata saya, “bukan bu” kata mereka.
Pikir punya pikir lalu saya putuskan untuk barteran antara jagung dan kotoran sapi. Saya sampaikan pikiran saya tadi kepada ketua jurusan peternakan dan mendapat tanggapan yang positip, mereka setuju.
Setelah sepakat maka jagung diantar ke peternakan sedangkan limbah sapi alias pupuk kandang diantar ke Agronomi, pertukaran yang luar biasa limbah sapi untuk menambah kesuburan tanah sedangkan jagung untuk makanan sapi, terjadi pertukaran yang sangat menguntungkan tapi sedikit merugikan bagi siswa yang mempunyai panen jagung yang baik tetapi karena factor cuaca menyebabkan biji jagung tidak kering, sehingga tidak bisa dipasarkan dan mulai membusuk akhirnya tidak mendapatkan keuntungan. Keuntungannya hanya lahan menjadi subur dikarenakan limbah sapi vs jagung.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Brilian. Barter menjadi solusi. Keren bu.
pertukaran yang menguntungkan ya bu..keren
makasih pak yudha sukses selalu
Simbiose mutualisme bu