irti mahmud

Seorang ibu dari 4 anak sekaligus guru madrasah di Kabupaten Semarang yang berkeinginan untuk menjadikan dunia tulis menulis sebagai bagian indah dari hidupnya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dari Juli ke Juni #bagian 7 (Tantangan Menulis Gurusiana #29)

Dari Juli ke Juni #bagian 7 (Tantangan Menulis Gurusiana #29)

April, 2019

Jingga sekali lagi menatap kertas ujian di hadapannya. Dengan mengulang bismillah ia mulai meneliti hasil pekerjaannya. Hari ini ia mengikuti ujian hari terakhir. Jingga tak ingin terlena. Ia betul-betul mencurahkan perhatiannya. Ini adalah bekal yang akan dibawanya untuk memasuki perguruan tinggi kelak. Bayangan tentang sebuah gerbang universitas membuat Jingga lebih bersemangat.

“Waktu tersisa lima menit,” kata pengawas ruang mengingatkan. Lalu tepat saat Jingga meneliti jawabannya yang terakhir, bel panjang tanda waktu ujian habis berbunyi. Jingga menggumamkan sebait doa, lalu meninggalkan meja ujiannya, keluar ruangan bersama peserta yang lain.

“Habis ini mau ke mana? Jadi cari Tere Liye?” Lena yang berbeda ruang ujian dengan Jingga menghampiri. Jingga mengangguk, “Boleh. Tapi cari makan dulu ya.”

"Tentu saja." Lena mengangguk setuju.

Mereka memang telah bersepakat, setelah ujian kelar, mereka akan memborong novel sebagai teman liburan. Beriringan mereka menuju tempat parkir. Bayangan tentang novel dan aneka camilan telah menari-nari di kepala keduanya

“Gustiii..!” Jingga memekik kesal mendapati ban motornya yang gembos. Padahal ia yakin tadi pagi masih normal-normal saja. “Tidak tahu diri amat, sih!” omelnya seraya menendang motornya kesal. Lena justru tertawa.

“Katanya sudah tobat dari segala jenis umpatan dan cacian?”

“Tapi kan tidak pada saat genting begini.”

Tawa Lena semakin lebar, “Jadi sabar itu perlu lihat situasi dan kondisi, ya?”

“Iya kalee… ayo dorong!” Jingga mulai menyetir motornya, sementara mau tak mau Lena menuruti perintah Jingga. Menyesal juga kenapa tadi pagi tidak membawa motornya. Ah ya, mereka memang berencana menghabiskan waktu dengan berboncengan keliling kota. Lalu malamnya membaca novel, makan camilan dan ngobrol apa saja. Mungkin tentang hari-hari akhir mereka di sekolah. Atau browsing tentang tempat-tempat liburan yang menarik. Atau..

“Mogok, Mbak?” suara datar itu membuat Jingga dan Lena menoleh. Setya menghentikan mobilnya. “Butuh bantuan?” tanyanya serius. Di kursi penumpang, Resnu ikut menatap ke arah motor Jingga.

“Ndak..” sahut Jingga ketus.

“Butuh!” ralat Lena. “Masih tanya juga. Apa ndak kasian liat tangan halus kami mendorong motor? Mana keringetan, lagi.”

“Lebay amat, lo!” gerutu Jingga.

“Biarin. Sekali ini saja. Capai tahu.”

“Jadi?” Setya mengulangi pertanyaannya.

Jingga melengos, bersikeras mendorong motornya sendiri. Ia memang pantang bersikap lemah di hadapan orang lain. Utamanya Setya, ketua kelas yang menurutnya akhir-akhir ini sering cari perhatian dan sok baik kepadanya.

“Biar aku yang bawa ke bengkel. Kalian ikut Setya saja!” Mendadak Resnu turun dari kursi penumpang.

“Res! Apaan lo? Tunggu!” buru-buru Setya melepas sabuk pengamannya. Fisik Resnu masih tidak fit. Kemarin malam dokter berpesan agar tidak beraktivitas yang menguras fisiknya. Ujian pun sebenarnya tidak boleh. Tapi Resnu bersikeras, daripada ikut ujian susulan. Lagi pula siapa yang bisa menjamin bahwa saat ujian susulan nanti kondisinya sudah lebih baik? Itu pula sebabnya Resnu terpaksa menurut ketika Setya mengajak pulang pergi bersamanya.

“Lo bawa mobil gue. Gue yang bawa motornya.” Setya menahan tangan Resnu.

“Bengkel terdekat kira-kira setengah kilo dari sini. Lo yakin mau dorong motornya?” kata Setya setengah berbisik.

Resnu menatap Setya. Ia paling tidak suka jika orang lain menganggap lemah fisiknya. Tapi bukankah Setya bukan orang lain? Maka Resnu tak bisa menolak ketika Setya mendorong masuk tubuhnya ke mobil Setya. Duduk di kursi pengemudi.

Beberapa saat kemudian, Jingga dan Lena masuk di kursi belakang. Setya harus terlebih dulu meyakinkan Jingga bahwa ia tidak akan membawa lari motor jelek itu. Tentu saja Jingga tidak terima dan nyaris menghabisi Setya dengan tas punggungnya. Beruntung Lena segera melerai keduanya. Heran, sejak Jingga bercerita kalau Setya suka ngode-ngode tak jelas ke Jingga, cewek itu jadi semakin galak pada Setya. Lena percaya dengan omongan Jingga. Sebab ia sendiri sering memergoki Setya mencuri pandang kepada Jingga.

“Sekali ini saja, Jingga. Lembut sedikitlah kepada ketua kelasmu!” goda Lena geli.

“Enak saja! Mau sebesar apa nanti kepalanya?”

“Munginkah sebesar kelapa?”

“Ndak lucu! Heran deh, lo jika mau nemeni cowok rese itu, turun saja!”

“Maksudmu..biar kalian bisa berduaan saja?” Lena mengedip-kedipkan matanya.

Shut up!” Jingga memiting Lena dengan cepat.

Lena menutup mulutnya agar suara tawanya tidak lepas. Ia juga tahu kalau Jingga suka salah tingkah di depan Resnu. Seapapun rapinya cewek itu menyembunyikannya.

“Jadi, mau di antar ke mana ni?” Resnu mulai menjalankan mobil.

“Ke ujung dunia!” sahut Jingga kesal. “Bengkel kali..pakai tanya lagi.”

Resnu menahan senyumnya. Sementara Lena memegang perutnya yang makin terasa mulas. Jarak beberapa meter di belakang mereka, Setya mendorong motor matic Jingga sambil ngomel-ngomel tak jelas. Mimpi apa ia semalam hingga dapat peran figuran semalang ini?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereen..Barakallah..

12 Feb
Balas

Aamiin.. terimakasih, Bu Iin..

13 Feb

Kisah yg seru, Buu...

13 Feb
Balas

Terimakasih, Bu Yossa..Ayuk kita bikin keseruan..haha

13 Feb



search

New Post