Dibawah Payung Hitam Kau Berlindung
Irwanto
“Yang, hujan turun lagi,” ucapmu sejenak dalam pikiranku.
Aku hanya bisa mengangankan, kau melefonku dengan mengatakan kau akan datang. Tapi nyatanya, tidak.
Sejak hujan turun pagi ini, kau tidak menghubungi aku sama sekali. Aku jadi ragu, apakah hujan yang tak kunjung reda, akan menjadi alasan bagimu untuk tak datang ke tempat janjian kita.
Dalam ragu, aku pasrah dan menunggumu dengan sabar. Meskipun kau punya alasan yang kuat untuk tak datang, tapi aku tetap berharap, hujan kan reda dan kau datang dengan segera. Kau menepati janjimu,, untuk berjumpa denganku.
Kini, hujan tidak hanya membawa kisah tentang pertemuan kita. Tapi lebih dari itu, hujan telah membawa cerita cinta suci kita. Cinta yang akan kupersembahkan padamu. Aku sangat menginginkanmu. Kalau perlu, kita menjadi halal tanpa pacaran terlebih dahulu. Kita akan dipersatukan oleh takdir tuhan, dalam ikatan pernikahan.
Tapi kini, aku was-was. Aku takut tepukku tak berbalas. Kau tak bersedia menjadikan aku sebagai imamku atau engkau sudah ada yang punya.
Engkau tidak datang, aku merasa sangat bimbang. Aku tidak ingin berlama-lama menyimpan semua rasa ini. Hari ini, ingin kutuntasakan dengan mengungkapkan rasa hati. Aku sangat berharap kau mau jadi kekasihku, dunia akhirat.
Hujan datang lagi, bahkan lebih deras dari yang tadi. Siangpun kin merangkak menjadi malam, sementara aku masih duduk terpaku sendirian.
Malam begitu sepi. Hatiku resah. Aku menanti cintamu dengan gelisah.
Dalam termenung, aku membayangkan, bila saja diri ini punya sayap, mungkin aku akan terbang ketempatmu dan kupastikan akan terjawab hati yang merinduimu.
Hujan yang tak kunjung reda, jarum detikpu terus bergerak tanpau mau berhenti seketika. Aku sudah merasa puutus asa karena kamu tak datang juga.
Dengan berat hati, aku berdiri dan bersiap untuk melangkah, meninggalkan meja yang sudah kusiapkun untuk kita berdua. Namun tiba-tiba saja, sebuah suara mengagetkanku.
“Bima… “
Alhamdulillah kamu datang dan suaramu mengalahkan kerasnya suara hujan.
Aku sangat senang sekali, tapi aku takut ini hanya ilusi. Aku tidak membalas panggilan suaramu. Sementara kamu masih tetap beridiri dibawah payung hitam kau berlindung.
“Maaf, aku terlambat,” katamu sekali lagi.
“Ayu? Benarkah kau itu?” tanyaku seakan tidak percaya.
“Woi… apa menurumu aku, Badarawuhi,” katamu dengan mata melotot, menirukan tokoh dalam kisah cerita KKN di Desa Penari. (Bersambung)
Pariaman, 27 Mei 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Syahdu
Tereimakasih
Maaf Pak Irwanto, penulisan kata 'Dibawah' pada judul seharusnya 'Di Bawah'. Sebab, 'di' pada kata tsb bukan merupakan 'awalan' tapi 'kata depan' sehingga penulisannya harus dipisah.
Benar, salah saya. Mks, Pak