Irwanto

Nama jawa, yang punya orang minang. Mengajar matematika, setiap hari mengarang. Irwanto, guru matematika asal Pariaman Sumatera Barat. Bagi saya masalah i...

Selengkapnya
Navigasi Web
Rasa yang Tak Bisa Kukendalikan
Tagur hari ke-1516

Rasa yang Tak Bisa Kukendalikan

Irwanto

Kamu pastinya tahu, dari sekian banyak manusia yang kau kenal, barangkali hanya aku lah yang tak akan pernah bisa mengendalikan perasaan. Perasaan yang berbeda terhadapmu, yang aku sendiri pun tidak tahu kapan munculnya rasa itu.

Rasa itu datang secara tetiba. Setelah mengisi penuh ruang besar di dalam dada, barulah aku tersadar. Kupastikan dan kuyakinkan, bahwa rasa itu adalah cinta, yang hanya akan kupersembahkan kepadamu saja.

Aku jatuh cinta padamu dan aku pun tidak bisa mengendalikannya. Rasa itu membuat hatiku berbunga-bunga. Setiap waktu, hanya wajahmu saja yang membekas dalam jiwa. Tidak bertemu sehari, aku rindu. Hingga bagaimanapun caranya, kuusahakan untuk mengetahui keadaannmu. Walau hanya sampai menatap dengan atap rumahmu.

Namun, karena sebuah pengkhianatan, rasa itu pun sirna.. Permainanmu membuat rasa itu hilang dalam kelam dan bersembunyi di bilik awan. Lakumu membuat rasa itu pergi begitu saja, tanpa meninggalkan kesan apa-apa. Rasa itu bersembunyi di langit yang paling sunyi, hingga aku sendiri tak bisa mencari, kemana hilangnya gairah rasa ini. Bahkan rasa cinta yang kuanggung-agungkan, berganti dengan kebencian.

Aku benci, bila harus mengingat kebersamaan yang hanya seperti tontonan sabun colek yang membosankan. Aku muak dengan drama-drama yang pernah kau lakonkan. Akupun merasa tidak ada gunanya, bila harus engkau yang akan menjadi buah pikiran. Setelah usainya pertemuan, rasa itu lagi-lagi tidak bisa kukendalikan, dan rasa itu seakan berpadu, bercokol antara membenci atau mencintaimu.

Cukup lama aku memendam perpaduaan rasa ini. Seiring waktu yang terus meraja, tiba-tiba saja rasa itu habis seketika. Lagi-lagi aku tidak bisa mengendalikannya. Rasa itu hilang seperti tak pernah ada, menguap menjadi udara dan mengembara jauh ke mana-mana. Setidaknya, begitulah rasa yang pernah ada, pulang dan pergi begitu saja.

Setelah cukup lama menyerukan kesedihan, tiba-tiba rasa itu kosong. Tak ada lagi perasaan yang membara. Aku seakan lupa, bagaimana rasanya genggamanmu, dekapanmu, manis senyummu, lembut suaramu. Semuanya seperti disulap ke dalam sebuah balon, lenyap dibawa angin lalu, tak muncul dimanapun. Sekeras apapun aku memaksa, bahkan ratusan foto wajahmu yang masih tersimpan di memori telepon genggamku, tak akan lagi memunculkan getaran apa-apa.

Pesan-pesan yang biasanya berulang kali kubaca, tak mampu lagi membangkitkan kenangan-kenangan tentang kita. Yang tersisa, hanya rasa hambar dan tawar. Padahal dulu, aku merasa tak sanggup menjalani hidup setelah tak bersamamu. Kini, entah mengapa, setelah aku menerima takdirku, aku merasa hidupku baik-baik saja. Apakah kau percaya rasa cinta dan benci bisa itu bisa hilang seketika?

Sepertinya, iya. Ketika aku melihatmu seorang diri ditepi jalan tepat di depan café yang baru saja kusinggahi, reaksiku biasa-biasa saja. Kau seperti orang kebanyakankan yang sedang menunggu seseorang atau tumpangan. Tak ada niat dihatiku untuk mendekat atau menawarkan jasa seperti dulu. Hanya sesekali saja pandangan kulayangkan.

Aku melihat, kau seperti dalam kepanikan. Mungkin karena sudah beberapa waktu, kau mulai bosan. Namun ketika ada seorang laki-laki menghampirimu, mengendap-endap dari belakangmu, aku merasa khawatir. Aku khawatir akan adanya bahaya yang mengancam. Kalau tidak jambret, pastilah penipu. Kupastikan saat itu, kau butuh pertolongan.

Tanpa berpikir panjang, kutinggalkan minuman yang belum habis kuseduh. Aku berlari kearahmu. Melihat tangan laki-laki itu sudah berhasil meraih beberapa barang bawaanmu, aku mulai bereaksi. Kuayun tangan yang terkepal dan tanpa ampun hinggap pada muka laki-laki itu. Hampir saja aku mengayunkan tanganku untuk kedua kalinya, kalau saja pegangan tanganmu tidak menghentikanku.

“Kau….?” katamu sambil melepaskan tanganku dengan kasar.

Seketika aku tersadar, kutatap laki-laki yang kini meringis kesakitan. Aku menjadi malu dan kehilangan kata-kata. Sementara itu, kau segera meraih tangannya dan berlalu dihadapanku. Kau hanya menatapku sejenak, kemudian bersama laki-laki itu, pergi tanpa menuntut atau minta penjelasan.

Barangkali inilah suatu isarat untukku yang tidak pernah bisa mengendalikan rasa. Tak perlu lagi bertemu, dan bila bertemu juga, kau tak akan menyadari keberadaanku, meski kita bersinggungan bahu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisah yang sangat menarik untuk di baca Pak Irwanto. Sebuah perjalanan hidup yang menarik untuk di ceritakan. Kren pak. Salam

28 Jul
Balas



search

New Post