Bilqis (1)
Tantangan Hari Ke-240, #TantanganGurusiana
.
Namanya Bilqis. Wajahnya sungguh cantik, secantik Ratu Bilqis yang sering diceritakan guru ngajiku di Taman Pendidikan Al-Qur’an kampungku saat mengisahkan Nabi Sulaiman. Rambutnya hitam panjang, matanya bulat besar, kulitnya jauh lebih cerah daripada kulitku yang sawo kematangan ini. Usianya baru 5 tahun, usia cukup baginya untuk duduk di bangku PAUD.
Bilqis, kakak, dan mamanya baru saja pindah ke kampungku dari sebuah kota besar di provinsi ini. Semua orang heran saat melihat keluarga ini pindah ke kampungku. Memang, ayah Bilqis adalah orang asli kampung ini. Namun, mereka datang ke kampung ini tanpa ayahnya. Mereka tinggal di rumah orang tua ayah Bilqis yang sudah tua dan sakit-sakitan. Apalagi, kakek Bilqis yang sudah mulai pikun setiap saat.
“Mengapa semua orang jahat kepadaku? Tak ada satu pun yang memberiku makan! Tak ada satu pun!” teriak kakek Bilqis sambil bergulung-gulung di lantai rumah yang masih beralas plester.
Dari arah dapur, kakak Bilqis yang masih duduk di bangku SMP lari tergopoh mendengar teriakan kakeknya. Dia segera memapah kakeknya untuk duduk di sofa usang yang sudah penuh tambalan, tempat favorit kakeknya mendengarkan radio yang tak kalah butut. Setelah mendudukkan kakeknya, dinyalakannya radio sambil memutar antena yang sudah patah setengah bagiannya.
Sementara kakaknya selalu di rumah dan membantu ibunya untuk menjaga kakek dan nenek, si kecil Bilqis lebih suka mengeksplor rumah tetangga. Rumahku menjadi salah satu rumah yang selalu dikunjunginya setiap saat. Tak peduli pagi, siang, atau sore, Bilqis selalu tampak saat aku pulang ke rumah. Biasanya, Bilqis hanya duduk santai di ruang tamu, memandangi akuarium, menonton TV bersama kedua orang tuaku, atau sesekali meminta makan kepada ayah ibuku.
Sore ini, aku baru tiba di rumah. Aku tak melihat Bilqis di rumahku. Sengaja, aku bertanya kepada ibuku di mana bocah kecil itu.
“Barusan pulang. Kuberi ia cukup uang untuk membeli kue kesukaannya,” jelas ibuku.
“Tumben?” tanyaku heran.
Ibuku mulai bercerita. Bakda Asar, Bilqis sudah duduk manis di hadapan TV bersama ayah ibuku. Mereka menonton sebuah opera sabun yang menceritakan kisah anak kecil yang hidup bahagia bersama kedua orang tuanya. Tanpa sadar, Bilqis mengajukan pertanyaan retoris kepada kedua orang tuaku.
“Budhe, kenapa hanya Bilqis yang nggak hidup sama ayah, ya?”
Kedua orang tuaku, tanpa direncanakan, terhenyak. Air mata keduanya perlahan menetes. Tak ingin Bilqis melihat pemandangan itu, ibu segera mengusap pipinya. Dirogohnya saku pada dasternya, lalu disodorkan sejumlah uang kepada Bilqis yang cukup untuk membuatnya bersenang-senang dengan kue kesukaannya.
(bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar