Isma Latifah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Konsep Surga

Tantangan Hari Ke-110, #TantanganGurusiana

.

Aku pernah menjadi tentor di sebuah bimbingan belajar di Kota Pendidikan. Dipasrahi siswa-siswa sekolah dasar membuatku lebih banyak tertawa daripada memikirkan materi pelajaran. Apalagi jika menemui anak didik yang sangat aktif, kupastikan waktu belajar kami akan hilang karena habis untuk kucing-kucingan. Belum lagi jika menemui anak didik yang sungguh cerewet, rasa-rasanya waktu 1,5 jam berlalu sekejap mata: bukan untuk belajar, namun untuk mendengar curhat dan ocehannya.

Ah, ya. Terkadang posisiku dianggap sebagai “Mama” bagi anak didikku yang masih anak-anak itu. Mereka selalu menceritakan semua kegiatannya sehari-hari kepadaku. Bahkan, saat kesulitan mengerjakan sesuatu, mereka sering keceplosan memanggilku “Mama”. Mereka lupa siapa aku. Mungkin mereka sudah merasa nyaman denganku.

Dalam sehari mengajar, aku dipasrahi 3 sesi belajar. Mulai jam 13.00-15.00, sesi kedua jam 15.00-16.30, dan sesi terakhir jam 16.30-18.30. Kelompok belajar setiap sesi disesuaikan dengan kelas yang sama. Sering, aku mendapat siswa dari sekolah yang sama. Mereka merasa nyaman karena belajar dengan teman yang sudah dikenalnya.

Kebetulan di sesi pertama, anak didikku adalah kelompok siswa kelas 4 dari sekolah dasar Katolik. Sungguh menyenangkan belajar bersama kelompok ini. Mereka mengajarkanku arti toleransi yang sebenarnya. Mereka yang selalu mengingatkanku untuk segera menunaikan salat di tengah-tengah pembelajaran. Yah, mungkin memang mereka butuh istirahat di tengah pembelajaran. Namun, sungguh. Mereka menyuruhku untuk segera salat agar tidak terlambat karena muridku untuk sesi berikutnya akan segera datang.

Di sela jam istirahat, seorang gadis kecil mendekatiku. Namanya Glanny. Bertubuh cukup tambun dengan rambut khas Dora, mata sipit, dan pipi bakpao. Sungguh cantik. Ia selalu menceritakan kegiatan sekolah Minggunya di gereja yang didatanginya bersama keluarganya. Termasuk cerita yang akan diungkapkannya padaku kali ini.

Mendadak, dia menceritakan konsep surga dan neraka di hadapanku. Konsep surga dan neraka yang sama saja—menurutku—dalam semua agama. Neraka yang merepresentasikan kengerian dan surga dengan segala keindahannya. Satu lagi: kehidupan surga yang sangat menyenangkan dan mewah dengan segalanya yang menjadi hak milik penghuninya.

“Tapi, kok kayaknya surga nggak begitu menyenangkan ya, Miss,” katanya tiba-tiba sedih.

“Kok gitu? Kenapa?” tanyaku balik.

“Kata pendetaku, meski kita diberi segalanya dalam surga nantinya, tapi kita tidak akan mengenal siapa pun dalam surga itu. Kita hanya tahu Tuhan dan cinta kasih-Nya. Itu kan artinya kita nggak punya apa-apa, Miss. Kita nggak punya orang tua, teman, ataupun saudara. Kan percuma.”

Terhenyak. Hanya itu yang bisa kurasakan saat si kecil Glanny menceritakan konsep surga yang diperolehnya dari sekolah Minggunya. Bahkan, dia bisa menyimpulkan bahwa baginya keluarga dan orang terdekat lebih penting dibandingkan harta. Aku hanya menghela napas panjang tanpa jawaban apapun. Untungnya jam istirahat sudah berakhir.***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan inspiratif. Sukses selalu. Salam literasi

27 Aug
Balas

Terima kasih, Pak. Salam literasi :)

28 Aug

keren bu tulisannya sangat inspiratif. sukses selalu

27 Aug
Balas

Terima kasih, Pak. Salam literasi :)

28 Aug



search

New Post