Unggah-Ungguh Bahasa Jawa (1)
Tantangan Hari Ke-153, #TantanganGurusiana
.
Salah satu sebab yang menjadikan generasi muda “menjauhi” bahasa Jawa adalah karena adanya anggapan bahwa bahasa daerah dianggap kuno. Para penuturnya seringkali dianggap sebagai orang tradisional, orang terbelakang yang jauh dari kata modern. Namun, ada juga yang menjauhi penggunaan bahasa Jawa akibat anggapan bahwa mempelajari bahasa Jawa itu rumit dan sulit. Sebenarnya, apa yang disebut sebagai “belajar” tidak akan sulit jika dibarengi dengan niat yang sungguh-sungguh.
Jika dilihat dari sudut penuturnya, sebenarnya bahasa Jawa merupakan sebuah bahasa yang memiliki banyak sekali penutur. Hampir semua masyarakat Jawa, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, banyak yang menggunakan bahasa dalam tindak tuturnya sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah jenis dan tingkatan bahasa Jawa yang digunakan. Kebanyakan orang “hanya” menggunakan bahasa Jawa ngoko, karena hanya itulah yang mereka kuasai tanpa harus dipelajari terlebih dahulu sejak lahir. Namun, yang menjadikan bahasa Jawa “sulit” adalah karena adanya unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa itu sendiri.
Dalam buku Belajar Bahasa Jawa Krama Inggil, Poerwadarminta bahkan juga mengatakan bahwa unggah-ungguh bahasa memang sangat rumit, meskipun sebenarnya tataran pokok yang dibahasa di dalamnya hanya ada dua, yakni ngoko dan krama. Unggah-ungguh ini tidak dimiliki oleh semua bahasa, namun bukanlah sebuah kebetulan bila bahasa Jawa memiliki unggah-ungguh tersebut. Unggah-ungguh bahasa merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa Jawa.
Unggah-ungguh bahasa adalah sebuah tatanan yang mengatur layak tidaknya seseorang ketika berkomunikasi. Layak yang dimaksud di sini adalah pantas atau sesuai dengan kondisi penutur, situasi tutur, dan hal yang dituturkan. Dalam bahasa Jawa, kelayakan berbahasa ditandai dengan adanya empan papan, angon rasa, serta angon mangsa untuk menunjukkan unggah-ungguh seseorang. Ketiga kelayakan bahasa tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Empan papan yaitu memperhatikan tempat, maksudnya di mana kita berbicara, maka harus diperhatikan bahasa yang akan kita gunakan. Bahasa yang kita gunakan saat mengikuti pengajian di masjid tentu berbeda dengan bahasa yang kita gunakan saat kita berada di kantor atau yang lain.
2. Angon rasa, yaitu mengatur emosional saat bertutur. Saat berbicara dengan orang yang lebih tua—bagaimanapun juga keadaan yang dihadapi—meskipun suasananya sedang “panas”, tidak seharusnya menggunakan suara tinggi dan bahasa yang kasar. Berbeda dengan penggunaan bahasa saat berada di lapangan, misalnya, yang memang membutuhkan suara yang keras akibat luasnya tempat sehingga mempengaruhi tingkat pendengaran orang-orang yang kita ajak bicara.
3. Selain itu, angon mangsa atau memperhatikan waktu. Bahasa yang kita gunakan juga harus memperhatikan waktu penggunaannya. Tidak mungkin kita memakai ragam bahasa gaul atau alai saat berbicara kepada guru. Tidak akan terasa nyaman pula jika kita menggunakan bahasa yang dianggap terlalu “sopan” jika berbicara kepada teman sejawat.***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar