Catatan Seorang Guru
CATATAN SEORANG GURU
Selasa, 30 Juli 2019
Hari ini, seandainya ada yang bertanya profesi apa yang paling menyenangkan bagiku maka jawabanku adalah guru. Menjadi guru yang pada awalnya merupakan profesi pilihanku tanpa menggunakan logika dan analisa. Karena yang tersimpan di memori kepalaku guru itu adalah orang yang menjadi nomor satu untuk menjadi contoh dan tempat bertanya. Hari ini aku mengajar fikih jam terakhir mengenai sujud sukur. Sujud yang jarang digunakan dalam kehidupan. Dengan memberikan motivasi mereka bersemangat untuk menghafal. Alhamdulillah mereka mampu untuk menghafalnya. Melihat mereka yang bersemangat menghafal dan memotifasi untuk mengamalkannya membuatku bersyukur. Seandainya mereka mengamalkan sujud syukur seumur hidup mereka, betapa berkahnya menjadi guru.
Menjadi guru jaman sekarang jauh berbeda dari jaman 70-80 han. Jaman dulu dimana semua masih sederhana, jaman guru adalah yang nomor satu. Kata-kata guru merupakan kata-kata yang sangat ditakuti dan dituruti. Beban untuk menghafal teori dan mempraktekkan. Beban untuk menghafal ayat dan hadis untuk diamalkan. Semua dilalui dengan senang hati dan tanpa beban. Bahkan jika kata guru berbeda dengan kata orang tua maka yang diyakini kebenarannya adalah kata guru.
Nah masih berlakukah hal diatas jaman sekarang? Dengan canggihnya teknologi jaman sekarang sudah dapat di pastikan semua sudah jauh berubah. Sekarang guru bukanlah satu-satunya sumber informasi. Informasi bisa di dapat dengan mengakses internet, lingkungan dan pergaulan yang selalu bisa terlaksana non stop 24 jam. Masihkah guru yang nomor satu? Menurut penulis guru tetap nomor satu. Hal itu didapat dari informasi wali murid yang mengatakan bahwa anak-anak mereka banyak tidak menuruti apapun yang disuruh. Anak-anak akan mengerjakan apapun yang disuruh oleh bapak atau ibu guru di sekolah. Bahkan wali murid juga memohon supaya program sekolah dilaksanakan sampai ke rumah. Mulai dari mengerjakan sholat sampai membantu orang tua.
Sekolah-sekolah modern yang di asramakan saat sekarang sudah menerapkannya. Seperti program membantu orang tua seperti mencuci, menyapu, membersihkan lingkungan dan lain sebagainya. Semua program apapun yang dilakukan dilaporkan dan dilampirkan foto untuk setiap kegiatan. Semua mereka lakukan dengan harapan untuk mendapatkan nilai yang baik. Kelihatannya memang pencitraan, jauh berbeda dengan jaman dahulu yang semuanya dikerjakan dengan ikhlas tanpa imbal jasa. Tapi itulah satu-satunya jalan untuk membuat mereka menyadari tanggung jawab dan kewajiban. Sekali lagi itu karena pengaruh perkembangan jaman dan lingkungan yang tidak mungkin lagi di terapkan seperti jaman dahulu. Mungkin pada awalnya prioritas mereka memang nilai seiring waktu dijelaskan kepada mereka tentang kewajiban dan keikhlasan.
Wajar sekali, jaman sekarang yang disebut sebagai jaman milenial. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan rentang kelahiran awal 1980-an hingga awal 2000-an. Disebut milenial karena tingginya tingkat kelahiran pada periode tersebut. Hal ini disebut juga dengan istilah “Echo Boomers”. Pada abad ke 20 tren menuju keluarga kecil dinegara-negara maju terus berkembang. Sehingga peningkatan kelahiran mulai berkurang.
Karakteristik milenial setiap wilayah berbeda-beda. Tergantung kondisi sosial dan budaya masyarakatnya. Namun secara umum kondisi milenial ditandai dengan peningkatan penggunaan teknologi digital dan internet. Mereka lebih suka dengan hal-hal yang praktis, tidak mau banyak berfikir, tidak mau berfikir rumit dan susah. Sehingga anak-anak ini banyak anak-anak yang lemah dan tidak siap pakai. Mereka lebih suka menggunakan teknologi internet dengan menggunakan untuk main game, mengakses hal yang negatif dan lain sebagainya. Dampaknya banyaknya pengangguran dan tingginya tingkat kriminal yang semakin canggih. Karena ingin menikmati materi tanpa perlu bersusah payah. Individu, materialistik dan tidak peduli sesama menjadi ciri khas anak-anak milenial. Disisi lain hal positif dari anak-anak milenial adalah mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi, terbuka dan dapat mengekspresikan perasaan mereka.
Memang sulit untuk menemukan anak-anak yang betul-betul ikhlas untuk membantu orang tuanya jaman sekarang. Tapi bukan tidak ada, profesor pendidikanpun ada yang gagal untuk membina anak-anaknya. Begitu juga ulama banyak yang memiliki anak-anak yang sulit untuk di arahkan. Semua karena pengaruh lingkungan dan teknologi yang terus berkembang. Penulis sendiri juga sangat menyadari, karena juga memiliki anak-anak yang sulit untuk diarahkan.
Seiring waktu belajar dari pengalaman dan kesungguhan semoga anak-anak sebagai penerus masa depan, bisa menjadi pribadi yang bisa diandalkan. Jaman yang terus berkembang setiap detiknya. Anak-anak jaman sekarang masih menuruti kata bapak dan ibu gurunya. Hal itu dapat penulis sadari, ketika anak penulis mengatakan tentang suatu teori dia lebih memilih kata-kata ustadnya dan ustadzahnya. Meski sebetulnya muaranya sama.
Berbagai teori juga sudah banyak untuk menjadi guru yang ideal. Guru yang menjadi dambaan semua siswa. Intinya adalah jika guru memperlakukan siswa sebagai bagian dari diri guru yang butuh uluran tangan untuk membuat siswa tumbuh dan berkembang. Maka anak-anak didik akan menyegani guru, bukan menakuti. Sesuai dengan teori mendidik yang ideal adalah, “masuki dunia mereka lalu antarkan duniamu”.
Saat siswa sibuk dengan tiktok pelajari tiktok dan masukan materi pelajaran melalui tiktok. Saat anak-anak hoby main game ciptakan game yang mengasah otak siswa. Sehingga game mereka bermanfaat. Tidak semudah membalik telapak tangan setiap teori. Tapi butuh itikat dan kerja keras untuk bisa berkarya dan bermanfaat bagi sesama.
Pemerintah juga sudah berupaya untuk menciptakan pendidian ideal, meski terkadang beban berat tersebut terletak dipundak bapak dan ibu guru yang juga punya beban untuk membina anak-anak dan keluarganya.
Selasa, 30 November 2021
Solusi terbaik adalah dengan membina anak-anak secara islami dalam keluarga. Sebagai lembaga Pendidikan pertama keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai spiritual dan sosial. Karena secara teori anak-anak yang dididik dengan nilai-nilai dalam keluarga dimanapun berada akan memiliki filter saat hal negative ditemui di masyarakat.
Dengan mengikuti program BKKBN dua anak saja cukup juga merupakan solusi. Seandainya lebih dari dua tapi bisa dipertanggung jawabkan dan disempurnakan pendidikannya juga lebih baik. Karena inti dari pemerintah untuk menggalakan dua anak cukup adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Solusi selanjutnya adalah dengan menyekolahkan anak-anak di lembaga Pendidikan yang islami dengan sistem full day. Meski pesantren dan madrasah menjadi solusi tetap tidak terlepas dari permasalahan yang terdapat di dalamnya. Solusi terkhir saat usaha sudah maksimal adalah ikhtiar dan do’a kepada sang pemilik semesta. Semoga anak-anak penerus bangsa selalu dalam lindungan Allah SWT.
Terakhir bagi penulis yang juga berprofesi sebagai guru. Menjadi guru merupakan nikmat yang tiada terhingga karena penulis sangat menyadari hakikat manusia sebagai makhluk social. Makhluk social adalah makhluk yang sangat membutuhkan orang lain untuk berkembang. Membutuhkan orang lain untuk mendengarkan apa yang penulis bicarakan. Saat menjadi seorang guru pada hakikatnya penulis menyadari merasakan kondisi kejiwan dan pribadi yang seimbang dan sempurna. Karena tidak perlu lagi mencari orang lain untuk mendengarkan penulis. Siswa-siwa dengan setia menunggu bapak dan ibu gurunya untuk memberikan nasehat dan ilmu.
Bersyukurlah dan terpujilah setiap guru yang ikhlas dan sangat menyadari keberdaannya. Maka disaat covid-19 melanda, tatap muka terhenti selama 6 bulan lebih dan bertahap dengan tatap muka terbatas betul-betul menyiksa. Ada yang hilang dan berkurang saat kemampuan berkomunikasi terhenti. Saat pendengar setia tidak ditemui lagi. Maka keluarga dirumah yang menjadi sasaran sang ibu guru untuk tetap stabil menyeimbangkan kejiwaan. Dan menjadi penulis juga merupakan salah satu solusi saat covid-19 melanda.
Keberadaan teman-teman seprofesi juga sangat penting. Bagi seorang guru teman sesama mengajar sama pentingnya dengan kebutuhan rohani, kebutuhan social dan kebutuhan psikologis yang sangat diperlukan. Meski jaman sudah canggih dengan adanya group-group whatsap, face book, Instagram dan media social lainnya tapi saat bertemu teman melihat wajah, tawa, senyuman dan ceritanya secara langsung menjadi sesuatu yang tak tergantikan.
Saat salah seorang teman penulis menawarkan untuk menjadi dosen penulis hanya tersenyum. Tersenyum menjawab karena menjadi guru meski melelahkan tapi pahalanya tak terhingga jika ikhlas. Meski sama-sama dalam rangka mengembangkan ilmu menjadi guru atau dosen penulis kembali menyerahkan kepada takdir. Karena Allah lebih tau dimana posisi seorang hamba yang seharusnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar