Catatan ini kutulis setelah aku menamatkan terjemah surat Hud dan surat Yusuf, yang sekaligus kudengarkan lantunan ayat-ayat suci ini melalui Alqur’an digital. Pelajaran indah kita dapat dari sini. Selama membaca terjemah pun tak terasa air bening meleleh di pipi. Sungguh, pelajaran amat berharga dari kaum terdahulu. Kaum Tsamud, kaum ‘Aad, juga kisah Nabi Yusuf yang amat memukau.

Beliau begitu santun. Begitu pintar. Begitu memukau semuanya. Sampai isteri Abdul Aziz pun terpesona. Ingin menggodanya. Tapi, Yusuf tidak tergoda. Muncullah cercaan dari masyarakat bahwa isteri Abdul Aziz tertarik pada bujangnya. Muncul ide dari isteri Abdul Aziz untuk mengundang para wanita yang menghujatnya. Mereka diberi hidangan. Juga pisau untuk memotong hidangannya. Ternyata para wanita itu banyak yang ternganga. Pisau yang mereka pegang mengenai tangannya. Itu karena kekaguman mereka pada Yusuf.

Begitu indah pelajaran yang kita dapat. Juga dari cara Yusuf membalaskan apa yang telah dilakukan oleh para saudaranya yang iri kepadanya. Tidaklah dibalas sakit hatinya dengan kejahatan. Tapi, dengan kesantunan. Pelajaran ini betul-betul berharga. Apakah aku bisa meneladani beliau seperti itu? Bukankah cara yang paling enak membalaskan sakit hati dengan perbuatan yang setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat?

Aku harus bisa mengambil pelajaran. Apa yang telah dilakukan oleh orang lain, betapa menyakitkan pun jangan dibalas dengan kejahatan. Kalau ada peribahasa air susu dibalas dengan air tuba, bisakah dibalik air tuba dibalas dengan air susu?