ISNA AINA HIDAYANTI

Guru ndeso yang berasal dari ndeso yang bangga dengan ndesonya, bercita-cita dadi guru yang bermanfaat buat sesama. Dinantikan kehadirannya, diharapkan keb...

Selengkapnya
Navigasi Web
Catatan Naina

Catatan Naina

#tagur365_88 #Catatan_Naina40 Surya perlahan menampakkan dirinya. Dengan tersenyum memaknai arti sebuah kehidupan. Perlahan tapi pasti, semburat jingga terhampar, bersimponi dengan birunya langit dan awan yang berarak seperti salju. Indah, begitulah gambaran pagi ini. Celoteh burung yang bersanandung tentang rindu dan mimpi semalam yang belum tertuntaskan menambah pesona alam semesta. Alhamdulillah, sampai sekolah sesuai dengan waktu masuk. Kubergegas menuju ruangan. Ambil buku dan apa yang aku butuhkan. Ketika menuju ruang kelas, seperti biasa sambil ngobrol dengan teman yang sama-sama satu perjalanan. Tak terasa melangkah sudah sampai di kelas 8 C. Kurasa ada yang aneh, apa aku salah, ya? Begitulah yang dalam pikiranku saat itu. Aku berhenti, dan membuka jurnal. Meledaklah tawaku seketika. "Ada apa, Bu?" tanya Bu Farida, yang biasanya jamnya atas bawah denganku. "Ini, kebablasan," jawabku sambil menutup buku jurnal. "Kebablasan bagaimana?" tanya Bu Farida penasaran sambil menyipitkan kedua netranya, alisnya pun tertaut. Bu Harnikah yang ada di kelas 8 C pun memandang kami serius begitu mendengar tertawaku barusan. Dia juga ikut-ikutan lihat jadwal. Takut kalau dirinya salah juga. "Ini jamnya siapa?" tanyanya kepada kelas 8 C sambil melongok ke dalam kelas untuk memastikan. Maklumlah, jadwal sering gonta-ganti hingga terkadang kami gak hafal-hafal, sehingga sering harus buka dan buka lagi. "Bu Harnikah," jawab anak-anak 8C serempak. "Njenengan kelas mana?" tanya Bu Farida lagi. "Hehe, aku di kelas 8 A," jawabku sambil terkekeh dan menutup mulut dengan tangan kananku, sementara tangan kriku masih memegang buku-buku yang aku bawa tadi. Aku putar balik, begitu sampai di depan kelas 8 A langsung saja berseloroh pada mereka. "Maaf, Bu Isna kebablasan," ujarku sambil meletakkan tas hitam yang selalu menyertai langkahku. Tas yang teramat berat, sarat dengan muatan 😁. Aku letakkan bobot tubuh di kursi hitam. Lalu meminta ketua kelas untuk memimpin berdoa. Selanjutnya mengecek kehadiran para peserta didik sebelum pembelajaran. Hari ini adalah pembahasan tugas rumah yang aku berikan seminggu yang lalu. Tentang materi getaran, gelombang, dan bunyi. Mengajari mereka butuh kesabaran ekstra. Bagaimana pun mereka telah terpedaya dan terbuai oleh benda pipih yang telah mencengkeram selama dua tahun. Proses PJJ yang diharapkan menjadi solusi yang terbaik belum bisa sepenuhnya diandalkan untuk menigkatkan mutu pendidikan. Apalagi banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Namun, sebagai pendidik, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Jika hasilnya belum maksimal, ini akan menjadi PR buat kami selaku pionir dalam kegiatan pembelajaran. Ada hal yang terjadi hari ini. Tentang suatu hal yang tidak aku ceritakan, cukup sebagai catatan dalam hati saja. Semoga hari lain tak akan tejadi lagi. Ada hal yang aku petik dari kejadian tersebut, bahwa kedewasaan tidak bisa sepenuhnya diukur dari usia. Belum tentu usia yang matang, akan matang juga emosionalnya. Perbedaan pendapat dan pandangan, jelas sekali itu pasti terjadi dalam sebuah komunitas. Hanya mereka yang pandai beradaptasi dengan lingkungan yang akan bertahan. Nah, tentang hal itu, tentu saja jelas muaranya akan kemana. Inilah yang sedang menjadi pemikiranku saat ini. Bagiamana aku akan membawa badan ini, condong ke timur ataukah ke barat. Melihat ke atas ataukah ke bawah. Atau melirik ke utara ataukah ke selatan. Atau malahan diam saja, cuek, dan masa bodoh. Oh, entahlah. Saat ini, biarkan dulu aku berhiatus barang sejenak. Melepas apa yang perlu dilepas dan membiarkan apa yang perlu digenggam sekiranya itu harus digenggam. Karena apa yang sejatinya benar, belum tentu benar di mata mereka. Sebaliknya, apa yang kita ketahui salah, belum tentu salah dalam pandangan mereka. Untuk itulah, sejenak menarik diri dan bersembunyi dari gemerlapnya lampu jalanan yang terkadang menjebak kita dalam suatu masa yang tak kita mengerti. Satu lagi tentang sebuah kejujuran dalam perdagangan. Sungguh aku merasa kasihan kepada seorang pembeli yang mungkin karena keterbatasan waktu dan pemahaman, dia harus tertipu barang yang telah kadaluarsa. Moci, makanan khas daerah tertentu. Tentu saja jika ada yang berkunjung ke daerah sana, setelah mau pulang, mereka akan membeli oleh-oleh khas daerah yang dikunjungi tersebut. Alih-alih mengincipi makanan itu, ternyata setelah tiba di rumah, semua sudah berjamur. Satu pertanyaan yang belum bisa terjawab, ini yang salah penjualnya atau pembelinya. Menurut kacamata orang awam sepertiku, yang salah ya yang jualan. Masak makanan kadaluarsa kok ya tega-teganya dijual. Apa tidak takut azab dia? Namun, dari sisi penjual mungkin akan menjawab lain. "Salah siapa mau membeli. Kan aku tak meminta dia membelinya, karena aku sekadar meletakkan di etalase saja," jawab si penjual membela diri. Jika ini diperpanjang, ya gak akan ada habis-habisnya. Karena pembeli sudah terlanjur sampai di rumah, mereka meski kecewa ya pasrah saja. Berharap hanya dia saja yang menjadi korban moci berjamur. Purwodadi, 22 Maret 2022
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Gemes sama penjualnya ya...hmm..sering terjadi. Keren Bunda. Sukses selalu

23 Mar
Balas



search

New Post