ADIL itu ROMANTIS ya?
“Hari ini adik bawa bekal, jadi sangunya cukup dua ribu. Kakak seperti biasa ga bawa sangu.” Ucapku suatu pagi. Mereka mengangguk setuju. Hari sebelumnya mereka sama-sama bawa uang saku lima ribu, karena si kakak berangkat sekolah sendiri naik sepeda. Meskipun demikian, si kakak kadang masih punya simpanan karena uang jajan yang diberikan hanya saat dia naik sepeda justru dia simpan. Bahkan, dia bisa kasih uang jajan tambahan buat adiknya.
Adil? Ya, menurutku sudah adil. Dua bersaudara ini belajar di sekolah swasta yang berbeda. Si kakak di SDIT. Dengan uang makan yang dibayarkan tiap bulan, si kakak sudah mendapatkan snack tiap istirahat pagi dan makan siang sebelum sholat Dhuhur. Di MI si adik tidak mendapat fasilitas seperti itu karena tidak ada uang makan yang perlu aku bayarkan.
Si adik sekarang duduk kelas empat. Jarak madrasahnya 1,5km dari rumah. Dia mengayuh sepeda setiap berangkat dan pulang. Uang saku lima ribu dibelikan jajanan yang agak berat dan segelas minuman. Tapi kadang cukup beli roti dan minum air yang dibawanya dari rumah. Alhasil, uangnya bersisa dua atau tiga ribu, dan cukup untuk dia beli mainan lego mini. Kadang disimpannya untuk besok.
Si kakak yang sudah duduk di kelas enam ini hanya akan mendapat tambahan uang saku jika berangkat dengan sepeda. Maklum jaraknya lumayan jauh. Jika dia ada kegiatan ekskul juga mendapat sangu tersendiri. Kadang mereka berdua masih berkelahi. Mereka bisa berdebat tentang uang jajan mereka. Di saat yang lain mereka bisa akur sendiri.
Usia mereka sudah di atas tujuh tahun. Saatnya mereka belajar disiplin. Maka, satu hentakan kecil untuk mengingatkan mereka perlu dihadirkan di saat mereka berdebat yang tak berujung. Ini bukan gertakan hukuman. Ini juga bukan kekerasan. Ini hanya sentilan kecil bahwa mereka berbeda. Mereka harus mengetahui perbedaan kebutuhan mereka. Mereka juga harus belajar memahami bagaimana ayah ibunya memperlakukan mereka adil sesuai usia dan kebutuhan mereka. Bukan sesuai keinginan mereka.
Belajar adil itu sulit sekali. Meski aku sudah belajar mendidik anak-anakku sejak mereka kecil, rasanya masih ada yang terasa kurang tepat. Kadang pula aku merasa bahwa aku tak adil terhadap diriku sendiri jika aku hanya menuntut hakku. Jika aku mengingat dan mementingkan kewajibanku, memang terkadang pilu hatiku. Aku merasa aku perlu waktu untuk mengistirahatkan otakku.
Namun inilah ibu. Inilah resiko ibu pekerja. Keadilan itu akan merasuk dalam hati, tatkala rasa senang itu mengembang dengan sendirinya melihat anak-anak riang gembira melakukan segala aktifitas positif di usia mereka. Keadilan itu menyeruak ke permukaan saat sang ayah rela memegang “serok dan sothil” saat aku lupa mengangkat “bakwan” dari wajan ketika bergegas mandi.
#ternyatasuamikuromantisjuga#
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar