Aku benar-benar kecewa. Marah juga.

Adu argumen secara sehat sudah kulakukan, namun tidak ada kesimpulan. Memberi kesempatan untuk berpikir dalam menimbang dan mengambil keputusan juga sudah kulakukan. Jika aku menginkan keputusan segera diambil, tidak ada kata "terserah". Bagiku ucapan "terserah" adalah bentuk keputusasaan, tindak lepas tangan, atau apapun yang artinya kurang tegas.

Akhirnya, aku marah. Marahku tanpa membentak. Protesku berupa ucapan dan sindiran. Tak cukup sampai di situ. Aku melanjutkan aksi diamku. Diam adalah kemarahan terbesarku. Marah terhadap diriku sendiri yang tak bisa merangkul rekan kerjaku demi tujuan yang baik. Marahku adalah refleksi ketidakmampuanku membuka dan menyelipkan satu pemikiran positif dalam otak mereka.

Beda pendapat, berselisih paham, bahkan adu mulut memang bisa terjadi antara sesama teman sebaya, orang tua dan anak, pasangan, antar rekan kerja, bahkan dengan pimpinan.

Namun, aku belajar banyak. Karena diamku banyak orang tak berani menggangguku. Memeriksa dan menikmati tulisan anak-anak selesai dengan cepat. Rekan kerja yang lebih tua dalam hal usia dan masa kerja belum tentu baik dan bijak seperti yang kita pikirkan. Bekerja dalam diam membantu kita menemukan ide kilat dan segar tentanga berbagai hal. Kecamuk dalam hati memicu otak bekerja cepat dan maksimal.

Cemerlang. Senyum pun bisa terkembang.