Ciplukan
Tanaman langka ini tumbuh di tepi jalan di muka rumahku. Kaget. Heran juga. Biasanya pohon itu hanya ada di desa. Aku sempat berpikir jika buah itu tak kan bisa hidup di tanah borneo ini. Aku bersyukur. Nanti aku bisa kenalkan buah yang hampir punah ini ke anak-anak.
Hanya ada satu pohon. Pohonnya pun tak tinggi. Buahnya lumayan lebat. Terakhir aku melihat, buahnya masih muda. Kira-kira seminggu berselang, kesenanganku hilang seketika. Pohon itu tiba-tiba hilang tertebas saat bapak sebelah rumah membersihkan rumput.
Berkikihlah aku. Bahasa orang Banjar jika tahu aku membongkar tumpukan tebasan rumput di pojok halaman rumah tetangga sebelah. Aku tak bisa menemukannya. Ya, mungkin belum beruntung untuk menikmati buah manis itu.
Hari berlalu, minggu berganti bulan.
Tumbuhlah sebuah pohon ciplukan di halaman depan rumahku. Alhamdulillah. Aku yang girang bukan main. Anakku hanya melihat penuh tanya. Kubiarkan ciplukan itu bebas berkembang. Kuingatkan suamiku untuk membiarkan kelengkeng di sebelahnya berbagi pupuk dengan ciplukan.
Buah pun bermunculan. Banyak menurutku. Tapi aku harus sabar menunggu hingga buah bulat itu ranum. Pasti manis. Ciplukan itu buah sehat. Buahnya terbungkus oleh selaput tebal. Itu bukan kulit. Itu seperti daun, tapi aku tak tahu namanya. Buah yang sudah masak langsung bisa dimakan. Selaput yang membungkusnya berfungsi sebagai pelindung buah dari kotoran dan debu. Mungkin juga mempertahankan buah dari serangan serangga.
Seminggu sebelum aku berangkat ke Pangkalan Bun, aku ajak anak-anak memanennya. Meski tak bisa membuat mereka kenyang, mereka pasti akan senang bisa menikmati buah langka ini.
Manis.
Lagi.
Dua kata itu yang keluar dari mulut anak-anakku. Ekspresif.
Aku sisihkan satu buah yang paling masak dan aku letakkan di bawah pohon papaya di samping rumah. Aku sangat berharap buah yang tua itu akan bisa tumbuh menjadi pohon ciplukan yang baru.
Melihat si sulung mengulurkan tangannya meminta buah lagi, aku sangat senang. Aku juga sedih. Buah kecil dan manis dari pohon semak ciplukan itu membuatnya ketagihan.
Sabar. Aku mengajaknya menunggu hingga selaput yang hijau itu menguning, tanda menua dan matang. Aku akan mengajaknya memanen ciplukan lagi nanti.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Very touching and inspiring
Very touching and inspiring
Dahsyat
Wow, ciplukan ada di depan rumah dan di samping rumah. Ya bukan rumah yang kami tinggali memang, melainkan di rumah yang saat ini dikontrak sebuah perusahaan. Letaknya di Bumi Palapa Indah. Meski jenisnya berbeda denvan yanh kukenal di kampung halamanku di Purbalingga, buah itu tetap mirip. Biasanya yang tumbuh di sini membusuk sebelum masak kecuali tumbuh di sela rerumputan yang terpapar sinar matahari penuh.
Mari berkebun ciplukan. Tak ada ciplukan, terong pipit pun bisa..
keren...