Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web

Daster

"Masih tergantung di belakang pintu? Kemana ibu?" Tanyaku dalam hati. "Ah, mungkin mampir belanja sayur, atau langsung ke rumah Mbok Lah". Aku menghibur gundahku.

Tak biasanya ibuku pulang sore, kecuali dia harus hadir rapat dadakan di dinas pendidikan kecamatan. Jaraknya yang cukup jauh dari sekolah ibu, juga rumah, tentu akan menghabiskan banyak waktunya di jalan.

Daster yang biasa tergantung di belakang pintu kamarnya lah yang selalu memberitahuku kabar ibu. Jika daster itu tak ada, pasti ibu sudah berkutat di dapur atau di kebun belakang rumah. Setiap sore seperti biasa ibu akan memetik sayur bayam dan kangkung di sana. Malam selepas magrib aku tentu akan ikut bantu mengikatnya. Esok shubuh, bapak lah yang mengantar ke pasar dengan kerbaunya. Motor vespa yang beratnya minta ampun itu biasa disebut "kebo" oleh ibuku.

Daster juga memenuhi koleksi di lemariku sepanjang aku jadi ibu. Daster menjadi baju kebesaranku di rumah. Dengan daster pula aku ringan mengerjakan apapun tanpa ragu. Kencana wungu lah yang mendominasi. Corak bunga dari yang besar hingga yang kecil aku punya. Berbagai model pun ada, dari yang mini hingga mirip syar'i juga potongan atas bawah.

Akan tetapi, setahun terakhir ini daster-daster itu kumusiumkan. Aku cukup menyisakan satu. Tak mungkin pula tiap hari dia melekat di tubuhku. Kurela menanggalkannya karena seorang ibu. Bukan ibu kandungku. Ibu cantik di bumi Wira Andhang Pandega. Pesan singkatnya cukup membekas di hatiku. Teman perempuanku yang lain tentu sama. Perempuan yang sudah menyandang status istri dan ibu harus tampil cantik di depan suaminya. Jika dia pekerja, di rumah harus tampil lebih cantik daripada di kantor. Tidak pun, tetaplah sama.

Awalnya memang sulit mengubah kebiasaan itu. Daster memberi ruang leluasa bagi kulit tubuhku untuk bernapas bebas. Dengan daster itu pula aku leluasa menherjakan semua pekerjaan rumah tanpa merasa kepanasan. Bahkan dengan daster itu pula, anak balitaku bisa main petak umpet.

Tapi, Lama-kelamaan aku pun terbiasa. Aku menyadari bahwa memang benar pesan ibu cantik nan anggun itu tadi. Perempuan tentu lebih anggun dengan gamis atau blus daripada daster.

Satu-satunya dasterku kadang masih menghias gantungan baju di belakang pintu. Tak dapat dipungkiri, daster itu pula ciri khas seorang ibu.

Rindu#daster_dasterku

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post